tirto.id - Upaya menempatkan personel TNI dalam jabatan sipil atau lembaga-lembaga negara untuk mengurusi urusan publik bukanlah solusi dalam mengatasi perwira tinggi yang menganggur. Apalagi, dengan merevisi UU TNI Nomor 34 Tahun 2004.
Pada pasal 47 beleid itu mengatur, prajurit TNI bisa menduduki jabatan di Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Kementerian Pertahanan, Sekretariat Militer Presiden, Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan, Badan Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.
Teranyar, Anggota Komisi I DPR RI, Yoyok Riyo Sudibyo, menyinggung ratusan jenderal TNI yang menganggur. Hal ini diutarakan Yoyok saat rapat kerja Komisi I DPR RI bersama Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsoeddin, dan Panglima TNI, Jenderal Agus Subiyanto, Senin (25/11/2024).
Yoyok mengatakan banyak anggota TNI berpangkat jenderal justru ditempatkan di tempat yang kurang strategis. Alhasil, para jenderal itu terkesan menganggur lantaran tak bekerja secara maksimal.
"Perlu diketahui bahwa di jajaran TNI sekarang itu kalau 200 mungkin lebih Jenderal yang nganggur, yang namanya stafsus, kemudian di TNI AL, di AU, beliau beliau yang bintang satu bahkan ada bintang 3 jadi stafsus," kata Yoyok.
Padahal, kata dia, para jenderal itu memiliki kemampuan yang tak perlu diragukan lagi karena memiliki sederet pengalaman dalam berbagai bidang. Yoyok menilai pengalaman-pengalaman tersebut sangat disayangkan bila hanya menjadi staf khusus.
"Namanya perwira tinggi pengalamannya sudah tidak bisa diragukan lagi secara administrasi, memimpin personel, memimpin satuan, memimpin bidang atau departemen bahkan di tempat pertempuran," tutur Yoyok.
Yoyok lantas menyarankan agar para jenderal menganggur itu bisa segera dipurnatugaskan. Pasalnya, kata dia, Kemenhan hingga banyak jajaran lembaga pemerintahan yang masih membutuhkan pengalaman para jenderal.
Yoyok pun mendorong agar revisi Undang-Undang (UU) TNI benar-benar bisa direalisasikan agar para jenderal dapat diberdayakan di kementerian/lembaga lain.
"Maka saya rasa ini perlu perhatian khusus dari Menhan dan Panglima TNI. Kalau memang sudah tidak ada job, ya keluarkan beliau-beliau ini. Kemenhan atau di luar Kemenhan masih butuh banyak tenaga-tenaga beliau," kata Yoyok.
"Oleh karenanya tadi yang disampaikan Pak Menhan tentang pembinaan personel, dikaitkan lagi UU TNI pak, mohonlah di Komisi I semuanya juga yang terkait UU ini. Ini harus menjadi prioritas, pak," kata Yoyok.
Solusi Keliru DPR
Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, memandang usulan mengakomodir para jenderal TNI ke lembaga sipil lewat revisi UU TNI, keliru. Ia melihat dua aspek yang perlu dilakukan TNI ke depan sebagai solusi yang tepat.
Pertama, dari sisi keorganisasian. Struktur organisasi TNI saat ini, kata dia, perlu ditinjau ulang, khususnya terkait dengan posisi-posisi atau jabatan-jabatan yang perlu atau dapat diisi oleh prajurit-prajurit TNI.
Ia mempertanyakan jabatan-jabatan yang diisi prajurit aktif saat ini melalui satu mekanisme yang sudah tepat atau tidak.
"Sudah tepat artinya dengan sistem merit. Nah, jadi tidak ada jabatan-jabatan yang diisi secara melompat atau melompati angkatan tidak secara runut, berjenjang," kata Ardi saat dihubungi Tirto, Selasa (26/11/2024).
Ia juga menawarkan adanya pembatasan promosi pendidikan. Ardi khawatir promosi pendidikan yang tidak diberikan secara proporsional berakibat pada munculnya atau banyaknya perwira non-job di institusi TNI. Menurut Ardi, tata kelola organisasi perlu ditinjau ulang di institusi TNI.
Kelirunya, kata dia, selama ini persoalan internal TNI itu dicarikan solusinya di luar dari institusi, yaitu dengan menempatkan mereka di jabatan-jabatan sipil.
"Padahal kompetensi, kemudian juga keahlian mereka belum tentu fit atau cocok dengan jabatan atau institusi sipil yang ingin diduduki tersebut," tutur Ardi.
Bila dipaksakan untuk menempatkan TNI ke jabatan sipil, tentu akan mengganggu internal dari organisasi atau institusi yang ingin diduduki tersebut. Tentu, jelas Ardi, sudah ada jenjang karier yang secara baik diatur tentang individu-individu yang berkarier di lembaga atau institusi tersebut.
"Dengan maksudnya anggota TNI tentu ini akan menjadi terganggu," jelas Ardi.
Ardi mewanti-wanti bila menempatkan TNI di jabatan sipil akan membawa kultur militeristik ke institusi yang akan ditempati.
"Solusinya adalah tidak bisa dicarikan jalan keluarnya itu melalui penempatan di luar institusi TNI," tegas Ardi.
Sementara itu, Koordinator Badan Pekerja KontraS, Dimas Bagus Arya, memandang usulan agar mengakomodir para jenderal yang menganggur ini ke lembaga-lembaga sipil, bentuk pengkhianatan terhadap amanat reformasi. Menurut Bagus, usulan tersebut ahistoris.
"KontraS melihat itu sebagai sebuah bentuk pembangkangan terhadap amanat reformasi," kata Dimas saat dihubungi Tirto, Selasa (26/11/2024).
Dimas berkata prajurit TNI ditugaskan melakukan upaya-upaya penanggulangan pertahanan yang sifatnya eksternal. Ia khawatir jika menempatkan prajurit TNI pada jabatan sipil untuk mengurangi para jenderal yang menganggur, apalagi solusi tunggal akan sangat berbahaya.
KontraS mendorong adanya evaluasi total pola rekrutmen pendidikan, alur kepangkatan, jalur promosi, demosi. Termasuk, proses-proses yang harus dilakukan oleh TNI sebagai institusi dalam melakukan pemberhentian kepada setiap anggota yang melakukan tindakan-tindakan pidana dan etika berat.
"Itu sebenarnya bisa mengelola atau sebagai sebuah mekanisme tata kelola SDM yang baik di tubuh TNI," tutur Dimas.
Dipicu Promosi dan Regenerasi yang Tidak Proporsional
Pengamat militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, memandang fenomena jenderal menganggur di internal TNI dipicu promosi dan regenerasi yang tidak proporsional. Dalam banyak kasus, kata dia, promosi cenderung didasarkan pada kedekatan politis atau kepentingan tertentu, bukan semata-mata pada meritokrasi dan kompetensi profesional.
"Ini menciptakan kelebihan jenderal yang tidak diimbangi dengan kebutuhan operasional atau struktural TNI," kata Khairul saat dihubungi Tirto, Selasa (26/11/2024).
Menurut Khairul, kesalahan promosi dan regenerasi berujung terhadap adanya kecenderungan jenderal dengan pangkat tinggi berada di posisi-posisi yang tidak strategis, bahkan di luar formasi utama TNI.
Masalah ini bisa makin buruk jika tidak ada upaya nyata menata ulang sistem promosi dan pembinaan karier secara transparan dan berbasis kinerja.
Khairul berkata, usulan revisi UU TNI yang memungkinkan penempatan perwira tinggi di kementerian/lembaga pemerintahan terkesan sebagai cepat serta menambah kompleksitas masalah yang ada.
Ia khawatir memberikan peluang kepada jenderal untuk masuk ke sektor sipil atau lembaga pemerintah, membuka peluang baru bagi praktik nepotisme atau politisasi dalam penempatan pejabat. Padahal, sektor sipil juga sudah memiliki personelnya sendiri yang telah berkompetisi secara ketat dalam sistem yang jelas dan terukur.
Di sisi lain, tambah dia, revisi UU TNI dilakukan dengan tujuan menyelamatkan jenderal yang menganggur dengan cara memasukkan mereka ke dalam kementerian/lembaga, berisiko memperburuk situasi. Sebab, kementerian dan lembaga sudah memiliki pengembangan karier yang sangat kompetitif, dengan sistem yang diatur oleh regulasi yang ketat.
Selain iu, lanjut dia, penempatan perwira TNI dalam posisi-posisi sipil tanpa batasan yang jelas, membuka peluang untuk penyalahgunaan wewenang dan ketidaksesuaian dalam penerapan tugas.
Oleh karena itu, menurut dia, berpotensi menciptakan lebih banyak ketegangan antara sipil dan militer, serta menciptakan kesan bahwa TNI kembali berfungsi ganda.
"Setiap revisi yang memberikan ruang lebih besar bagi peran TNI di luar struktur militer harus dibahas dengan sangat hati-hati. Kembalinya dwifungsi ABRI bisa menimbulkan kekhawatiran di kalangan publik dan memperburuk citra TNI," kata Khairul.
Khairul pun mendorong untuk melakukan restrukturisasi organisasi TNI agar jumlah perwira tinggi sesuai dengan kebutuhan jabatan yang relevan. Hal ini mencakup pengurangan jabatan yang tidak strategis dan penataan ulang agar jalur karier lebih jelas dan berbasis pada kompetensi, bukan kedekatan politik.
Lalu, rotasi dan penugasan internasional bisa menjadi solusi untuk memperkaya pengalaman perwira tinggi. Penempatan mereka dalam misi internasional atau organisasi multilateral akan meningkatkan profil TNI di kancah global dan memperkuat diplomasi pertahanan Indonesia.
Untuk perwira yang mendekati masa pensiun, tambah dia, program pensiun dini yang dilengkapi dengan pelatihan keterampilan baru dapat membantu mereka tetap produktif.
Program transisi ini, kata dia, bisa melibatkan mereka dalam bidang keamanan, pengajaran di akademi militer, atau bahkan sektor sipil, memastikan mereka tetap memberikan kontribusi untuk negara.
Di sisi lain, menurut Khairul, modernisasi militer dengan mengembangkan kapabilitas dalam bidang pertahanan siber, ruang angkasa, dan teknologi canggih lainnya sangat diperlukan. Menurut Khairul, hal ini bisa menciptakan posisi strategis yang lebih relevan dengan tantangan pertahanan modern, sebab perwira tinggi bisa berperan dalam mengatasi ancaman nontradisional dan non-konvensional.
"Dengan langkah-langkah ini, TNI dapat terus beradaptasi dengan perkembangan zaman, mengoptimalkan potensi perwira tinggi, dan memastikan efektivitas serta efisiensi dalam menjalankan tugasnya," kata Khairul.
Penambahan Usia Pensiun Lewat Revisi UU TNI Tak Lagi Relevan
Revisi UU TNI sendiri masuk ke RUU Prolegnas jangka menengah tahun 2025-2029 yang diusulkan Komisi I DPR RI. Salah satu perubahan yang santer akan diubah dalam beleid itu ihwal perpanjangan batas usia pensiun prajurit TNI menjadi 60 tahun bagi perwira dan 58 tahun bagi bintara dan tamtama.
Peneliti sektor keamanan SETARA Institute, Ikhsan Yosarie, mengatakan banyaknya jenderal yang menganggur membuat wacana perpanjangan usia pensiun bagi prajurit TNI dalam sejumlah usulan perubahan UU TNI semakin tidak relevan.
Dengan memperpanjang usia pensiun, kata dia, perwira yang sebelumnya non-job akan bertambah lama menunggu antrian dan/atau penempatan terhadap jabatan tertentu.
"Kondisi ini tidak efektif untuk regenerasi dan alokasi anggaran di tubuh TNI," kata Ikhsan saat dihubungi Tirto, Selasa (26/11/2024).
Di sisi lain, kata dia, eksistensi perwira non-job di tubuh TNI semestinya menjadi sinyal untuk mendorong kepatuhan terhadap ketentuan penempatan prajurit TNI pada jabatan sipil, sebagaimana ketentuan Pasal 47 Ayat (1) UU TNI.
Ikhsan mendorong pendataan dan evaluasi agar prajurit TNI yang menempati jabatan sipil, terutama di luar ketentuan Pasal 47 Ayat (2) UU TNI, guna kepatuhan implementasi beleid tersebut. Upaya ini, kata dia, dapat berkontribusi secara proporsional dalam mengurai problematika keberadaan perwira non-job, serta tetap dalam kerangka reformasi TNI.
Ikhsan mengatakan penambahan ketentuan jabatan sipil bagi prajurit TNI melalui usulan revisi UU TNI tidak menjadi jawaban atas keberadaan perwira non-job. Selain mengendurkan profesionalitas, jelas dia, penempatan prajurit pada jabatan-jabatan sipil tersebut belum tentu relevan dengan fungsi pertahanan negara. Serta berpotensi memicu efek domino yang berdampak kepada jenjang karir birokrat sipil.
"Oleh karena itu, pembatasan dan penegasan ketentuan Pasal 47 Ayat (1) UU TNI dapat menjadi salah satu upaya meminimalkan kondisi perwira non-job tersebut" tutup Ikhsan.
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Bayu Septianto