Menuju konten utama

Pentingnya Pengawasan dan Batasan Wewenang TNI di Ranah Siber

Seharusnya definisi yang jelas soal konteks pertahanan siber tercantum dalam revisi Undang-Undang TNI.

Pentingnya Pengawasan dan Batasan Wewenang TNI di Ranah Siber
Ilustrasi Keamanan Digital. foto/istockphoto

tirto.id - Revisi Undang-Undang TNI memberi Tentara Nasional Indonesia tugas baru, salah satunya menanggulangi ancaman pertahanan siber. Hal ini kemudian mendapat banyak pro kontra dan menjadi perbincangan di publik.

Penambahan tugas TNI ini masuk dalam lingkup tambahan operasi militer selain perang (OMSP). Terdapat dua tambahan OMSP dalam Revisi UU TNI, dari sebelumnya 14 menjadi 16 bidang.

Dua tugas baru tersebut adalah membantu dalam upaya menanggulangi ancaman pertahanan siber, terutama yang menyerang sistem pertahanan; dan membantu dalam melindungi dan menyelamatkan warga negara serta kepentingan nasional di luar negeri.

Terkait tugas dalam ranah siber tercantum dalam draf dokumen final RUU TNI, tepatnya pasal 7 ayat 2b. Penjelasan mengenai pasal ini lebih lanjut menerangkan bahwa yang dimaksud dengan membantu dalam upaya menanggulangi ancaman pertahanan siber adalah TNI berperan serta dalam upaya menanggulangi ancaman siber pada sektor pertahanan (cyber defense).

Selain perluasan OMSP, Pasal 47 ayat 1 juga membuka peluang bagi prajurit TNI aktif untuk menduduki posisi sipil yang mengatur ruang siber. Hal ini membuka peluang bagi prajurit TNI aktif untuk menduduki posisi-posisi strategis di instansi sipil terkait misalnya di Badan Siber dan Sandi Nasional (BSSN) atau Kementerian Komunikasi dan Digital Republik Indonesia (Komdigi).

“Prajurit dapat menduduki jabatan pada kementerian/lembaga yang membidangi….siber dan/atau sandi negara,..”. tulis Pasal 47 ayat 1.

Ilustrasi Keamanan Digital

Ilustrasi Keamanan Digital. foto/istockphoto

Digital Democracy Resilience Network (DDRN) beranggapan, beleid yang telah disahkan mengandung ketentuan yang membuka peluang penggembosan demokrasi digital dan pelanggaran hak-hak digital, seperti hak atas kebebasan berekspresi, hak atas privasi, dan hak atas informasi.

Kekhawatiran ini berlandas pada tidak adanya definisi yang baku dan jelas soal ‘ancaman siber’ dan ‘pertahanan siber’.

Mengacu pada dokumen Pedoman Pertahanan Siber Nasional (2014), pemerintah menganggap perang informasi, kegiatan propaganda, dan manipulasi informasi sebagai ancaman siber.

Sementara itu, pertahanan siber didefinisikan sebagai suatu upaya untuk menanggulangi serangan siber yang menyebabkan terjadinya gangguan terhadap penyelenggaraan pertahanan negara. Pada dokumen yang sama, serangan siber didefinisikan sebagai “segala bentuk perbuatan, perkataan, pemikiran…yang disasarkan pada sistem elektronik atau muatannya (informasi) maupun peralatan yang sangat bergantung pada teknologi dan jaringan….yang mengancam kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa”.

Namun dalam dokumen Daftar Inventaris Masalah (DIM) pemerintah tahun lalu mengenai RUU TNI, pemerintah turut menganggap ancaman virtual dan kognitif seperti manipulasi sosial, polusi informasi, dan narasi dengan ekspresi berlebih sebagai bentuk ancaman siber.

“Meskipun sudah dihapus dan tidak disebutkan secara eksplisit dalam draf final, tapi hal ini menggambarkan konstruksi berpikir pemerintah yang mencampuradukkan antara cyber operations (serangan teknis yang menargetkan komputer/infrastruktur siber) dengan cyber-enabled information warfare (serangan sosial yang menargetkan pikiran manusia). Hal ini semakin terlihat dari dokumen Satuan Siber (Satsiber) TNI, yang mencampuradukkan dua jenis perang ini. Pada dokumen itu, Satsiber TNI juga terlihat sangat berambisi untuk menguasai kemampuan takedown konten dan akun hingga operasi kontra opini publik,” bunyi pernyataan Sikap DDRN pada 19 Maret 2025 lalu.

Koalisi DDRN adalah jejaring masyarakat sipil yang memiliki perhatian pada isu demokrasi digital di Indonesia. Koalisi ini terdiri dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet); Aliansi Jurnalis Independen (AJI); Aliansi Mahasiswa Papua (AMP); Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA); Serikat Sindikasi; INKLUSI; Remotivi; dan Kemitraan dan sejumlah organisasi sipil lainnya.

TNI Tidak akan Mata-matai Masyarakat Sipil

Menanggapi ramai-ramai kekhawatiran publik terkait keterlibatan TNI di ranah siber, Kementerian Pertahanan (Kemenhan) angkat bicara. Kepala Biro Humas Setjen Kemenhan, Brigjen TNI Frega Wenas Inkiriwang, menegaskan kalau peran TNI dalam pertahanan siber tidak akan mengganggu kebebasan individu dalam berpendapat.

"Yang dimaksudkan pertahanan siber ini lebih kepada operasi informasi dan disinformasi yang mengancam kedaulatan negara dan keselamatan bangsa," kata Frega di Kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta, mengutip Antara.

Dia juga menyebut kalau tugas pertahanan siber berdasar revisi UU TNI yang baru tidak akan memata-matai masyarakat sipil. Menurut Frega, pihaknya memahami bahwa dalam era demokrasi, pandangan berbeda dan mengkritisi instansi pertahanan atau pemerintah adalah salah satu bentuk ekspresi berpendapat yang wajar.

Frega juga mengatakan kalau operasi pihak luar di ranah siber memungkinkan pencipataan presepsi negatif lewat misinformasi, disinformasi, atau malinformasi.

“Jadi informasi-informasi yang tidak benar, yang disebarkan ke masyarakat, ini juga bisa menimbulkan kekhawatiran. Apalagi dengan adanya algoritma ya, ketika sudah viral, itu walaupun tidak benar, sudah susah untuk diperbaiki,” tambahnya.

Selain itu tugas pertahanan siber akan fokus ke konteks yang lebih besar. Contohnya serangan siber yang mengancam kedaulatan dan keselamatan negara. Misal, serangan terhadap fasilitas data milik negara, yang bisa mengganggu sektor energi dan sektor transportasi.

Frega Wenas Inkiriwang

Karo Infohan Setjen Kementerian Pertahanan (Kemhan) Brigjen TNI Frega Wenas Inkiriwang di Kantor Kemhan, Jakarta Pusat, Senin (10/3/2025). (ANTARA/Walda Marison)

Terkait penjelasan dari Kemenhan tersebut, Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Nenden Sekar Arum, masih skeptis.

“Meskipun pejabat Kemenhan menegaskan bahwa revisi Undang-Undang TNI tidak bertujuan untuk memata-matai masyarakat sipil, tetap ada potensi pelanggaran hak digital jika mekanisme pengawasan siber tidak memiliki batasan yang jelas,” ujarnya kepada Tirto, Jumat (28/3/2025).

Dia juga mengatakan istilah dan definisi dari, 'ancaman terhadap kedaulatan negara' yang dipaparkan Frega masih sangat luas. Jika kriteria ini ditentukan sepihak oleh pemerintah atau militer, akan tetap ada potensi besar bahwa kritik terhadap kebijakan pemerintah dapat dianggap sebagai ancaman, yang pada akhirnya membatasi kebebasan berekspresi.

Sependapat Wakil Direktur Imparsial, Husein Ahmad juga punya kekhawatiran serupa. “Nah, pertanyaannya adalah apakah kemudian misalnya aspirasi atau pendapat yang dilakukan oleh masyarakat itu, warga negara Indonesia itu menyerang pertahanan negara atau tidak?” Tuturnya kepada Tirto, Sabtu (29/3/2025).

Menurut Husein, seharusnya definisi yang jelas soal konteks pertahanan siber itu tercantum dalam revisi Undang-Undang TNI. Sayangnya definisi tersebut masih tidak ada dalam revisi undang-undang tersebut.

"Seharusnya sebelum ngomong peran TNI di dalam ranah sipil itu ngapain, ya roadmap-nya dulu kementerian pertahanan harus bikin. Kan ini jadi simpang siur apa sih bedanya pertahanan sipil dan keamanan sipil,” tambahnya.

Dia juga menyebut sejauh ini memang peran TNI dibatasi dengan keterlibatan dalam cyber defense. Namun soal cyber defense ini yang belum jelas pelaksanaan di lapangannya, SOP, serta akuntabilitasnya. “Siapa yang mengawasi, anggarannya seperti apa, bagaimana pertanggungjawaban terhadap publik, minimal terhadap komisi satu di DPR misalnya. Mestinya itu yang kemudian mestinya dibahas,” tuturnya lagi.

Senada, Nenden juga menyebut tanpa pengawasan yang ketat, kewenangan TNI memungkinkan militerisasi ruang siber akan berdampak negatif terhadap kebebasan internet.

“Jadi tetap saja, tanpa kejelasan mekanisme pengawasan dan batasan wewenang, serta transparansi dan akuntabilitas, hal ini tetap berpotensi melanggar hak digital warga, termasuk privasi dan kebebasan berekspresi,” tuturnya.

Dia menambahkan idealnya peran TNI di ranah siber hanya hanya menangani ancaman eksternal yang bersifat strategis. Misalnya serangan siber dari aktor negara asing atau kelompok teroris internasional. “Dan tidak ada pengawasan terhadap masyarakat sipil, termasuk kritik terhadap pemerintah yang bukan ancaman nasional,” ujar Nenden menutup percakapan.

Baca juga artikel terkait REVISI UU TNI atau tulisan lainnya dari Alfons Yoshio Hartanto

tirto.id - News
Reporter: Alfons Yoshio Hartanto
Penulis: Alfons Yoshio Hartanto
Editor: Anggun P Situmorang