tirto.id - Sebulan terakhir, diwarnai langit gelap yang menitikkan air hujan hampir setiap hari, koneksi internet saya kembang kempis.
Gelombang yang menyatukan penghala (router) dengan BTS terdekat untuk terhubung ke dunia maya, mungkin terganggu akibat cuaca buruk. Akhirnya saya hanya mengandalkan sambungan seluler.
Ditambah dengan seringnya mati listrik, buruknya koneksi internet kian menjadi-jadi. Ponsel dan penghala harus mencari BTS yang lebih jauh yang tak terganggu pemadaman listrik.
Mempertahankan koneksi 4G di tengah-tengah cuaca buruk sangat susah. Akibatnya segala pekerjaan yang harus saya lakukan secara daring jadi terganggu.
Namun, di tengah buruknya koneksi internet itu, ada satu situs web atau aplikasi yang dapat bekerja dengan baik di saat yang lain kesukaran terhubung. Dialah YouTube. Situs web yang berpredikat sebagai "kanal hiburan nomor satu di dunia".
Memahami "Tube" dalam YouTube
Pada awal 2005, setelah mendengar keluhan seorang teman yang kesukaran membagi video dari sebuah pesta yang mereka gelar di San Francisco setahun sebelumnya, Chad Hurley dan Steven Chen--mantan perancang grafik serta pemrogram PayPal--mendirikan YouTube.
Menurut Hurley, situs web ini ditujukan sebagai sarana untuk "membagikan klip pribadi yang diambil oleh mereka, orang-orang biasa, secara nyata." Mirip seperti Flickr, situs web berbagi foto milik Yahoo, tetapi ini tentang video.
Pendiri ketiga, Jawed Karim--namanya terhapus dari catatan sejarah resmi YouTube setelah memilih mengejar pendidikan daripada operasional keseharian YouTube--memberi bumbu lain dari visi itu.
Ia menginginkan YouTube menjadi tempat video-video lawas berkumpul, usai tak dapat menyaksikan klip bertajuk "wardrobe malfunction" dalam siaran Super Bowl yang ditayangkan CBS.
Bekerja siang malam dalam garasi milik Hurley, pada April 2005 YouTube akhirnya mengudara untuk pertama kalinya di dunia maya. Video bikinan Karim berjudul "Me at the Zoo" tampil sebagai video pertamanya.
Dengan malu-malu nan kaku, Karim menceritakan seekor gajah yang ditemuinya di kebun binatang San Diego.
"Hal keren tentang hewan ini adalah mereka memiliki belalai yang sangat, sangat, sangat panjang," ujarnya.
Ia lantas mengakhirinya dengan, "Dan hanya itu yang bisa [saya] katakan."
Video super pendek yang berdurasi hanya 19 detik ini menurut John Seabrook, penulis buku The Song Machine: Inside the Hit Factory (2015), berhasil menjadi "penanda utama perubahan zaman."
Sebulan kemudian, setelah versi beta diperkenalkan, ratusan video lain menyusul. Karena belum dikenal masyarakat secara luas, video-video itu hanya video buatan para pendiri dan teman-temannya. Artinya, bukan video yang diunggah pengguna asli, masyarakat biasa, seperti kehendak Hurley, Chen, dan Karim.
Untuk membanjiri YouTube dengan video yang tidak mereka buat, Chen sempat membuat iklan di Craiglist guna meminta masyarakat, khususnya perempuan, mengunggah video di YouTube dengan bayaran $100 per 10 video. Namun tak ada yang menanggapi iklan tersebut.
Pada 20 Juni 2005, Karim memiliki ide brilian. Lewat email yang dikirim kepada Chen dan Hurley, ia menyebut, "Jika kita menginginkan banyak pengguna terus-terusan datang, kita harus menargetkan orang-orang yang tidak akan mengunggah video."
"Merekalah orang-orang berharga. Dan apa yang mereka inginkan untuk ditonton adalah video musik, klip dari Saturday Night Live, serta potongan-potongan South Park. Jika mereka tahu di YouTube tersedia konten-konten tersebut, mereka akan memperlakukan [YouTube] selayaknya TV," tambah Karim.
Ide ini bukan hanya membuat YouTube akhirnya digandrungi masyarakat, tapi juga menggiring dua masalah besar, yakni gugatan hukum dan infrastruktur.
Dipenuhi koten-konten yang memiliki hak-cipta, platform ini sempat dijuluki "user-generated anarchy". YouTube digugat Viacom, NBCUniversal, dan pemilik hak cipta lainnya tak lama setelah populer.
Tak ingin membuat para penggunanya kehilangan konten yang mereka inginkan, YouTube merespon gugatan-gugatan tersebut dengan santai. Awalnya mereka hanya menurunkan konten ketika ada keberatan. Jika tak terdeteksi pemilik konten, YouTube tak melakukan aksi apapun untuk melindungi hak cipta.
Sementara soal infrastruktur yang terus-menerus membutuhkan pengembangan atas lonjakan super tinggi pengakses, YouTube mengakali dengan cara sederhana: memeras kartu kredit milik Chen.
Dua solusi atas dua masalah ini nyatanya tak bisa terus-terusan diandalkan. Gugatan hukum yang datang silih berganti dan kebutuhan infrastruktur yang kian tinggi akhirnya tak bisa diselesaikan secara santai dan dengan kartu kredit Chen semata.
Pada Oktober 2006, Google mengakuisisi YouTube dengan mahar sebesar $1,65 miliar. Google perlahan dapat meredam kemarahan pemilik hak cipta dengan merilis "Content ID" guna memperingatkan pemegang hak cipta secara otomatis setiap kali ada bagian dari konten mereka yang diunggah di YouTube.
Melalui "Content ID" pemilik dapat memilih untuk menghapus konten, mengomersialkannya melalui iklan, atau menggunakannya sebagai alat promosi.
Sementara soal infrastruktur, Google melakukan reformasi besar-besaran tentang bagaimana video dapat disaksikan penggunanya.
Bukan hanya meminjamkan kekuatan infrastruktur yang telah dimiliki Google, tapi sebagaimana diutarakan blog resmi Youtube pada 2009, juga "membangun infrastruktur [sendiri] dari dasar."
Vijay Kumar Adhikari, peneliti komputer pada University of Minnesota, dalam "Where Do You 'Tube?' Uncovering YouTube Server Selection Strategy" (2011), menyebutkan bahwa tak lama usai diakuisisi, Google mendelegasikan enam pusat data miliknya yang ada di Amerika Serikat bagi YouTube.
Namun, karena dibanjiri pengunjung, baik yang hanya menyaksikan konten maupun yang mengunggah konten, jumlah tersebut tak cukup. Kala itu, tak kurang dari 500 juta video mendekam dalam server-server YouTube. Bukan hanya menggerogoti media penyimpanan, tetapi juga bandwidth.
Untuk menanggulangi masalah ini, Google bersiasat lebih jauh yang secara teknis diimplementasikan melalui satu tindakan: distribusi video.
Di bawah kendali Google, video-video di YouTube diduplikasi, di-cache, untuk disebarkan di seluruh dunia, yakni di dalam pusat data milik Google di 45 kota di 25 negara (dan jumlahnya terus meningkat), dalam bentuk CDN atau Content Delivery Network (jaringan pengirim konten).
Sebelum konten-konten tersebut diduplikasi, Google lebih dulu memotong-motong setiap video. Misalnya pada sebuah video berdurasi 3 menit, video tersebut dipotong dalam 100 bagian hingga membuat per bagian hanya berdurasi 1,8 detik. Dan pada tiap-tiap potongan kecil itu Google membuat duplikasi lain.
Ini bukan tentang ukuran, tetapi tentang kualitas, yang merentang dari resolusi 144p, 240p, hingga HD, serta 4K. Untuk menyatukan video-video yang telah dipotong-potong agar bisa dinikmati masyarakat, ada tiga hal yang dilakukan Google, yakni "static load sharing using hash based mechanism," "semi-dynamic approach using location aware DNS resolution," dan "dynamic load-sharing using HTTP redirection".
Atau dalam bahasa sederhana, menyatukan dengan "Content ID" dan proses penyatuan ini ditentukan oleh tempat di mana pengguna mengakses YouTube, serta seberapa cepat koneksi internet yang mereka miliki.
Menurut A. Fimore dalam "YouTube Everywhere: Impact of Device and Infrastructure Synergies on User Experience", ketika pengunjung YouTube mengeklik sebuah video untuk ditonton, sebuah proses bernama "generate204" yang tertanam di situs web maupun aplikasi YouTube bergerak.
Ia memberi perintah bagi situs web/aplikasi YouTube yang tengah diakses pengguna untuk pergi ke CDN terdekat, pertama-tama, berdasarkan IP (lokal). Misalnya, jika pengguna terdeteksi berada di Indonesia, proses ini menggiring duplikasi video yang ada di CDN milik Google di Indonesia disajikan.
Jika pengguna menonton di jam-jam sibuk, proses ini mengarahkan YouTube untuk menyuplai video dari CDN kawasan atau langsung menembak dari pusat data di AS.
Tentu proses ini tak ujug-ujug menyajikan potongan-potongan video. Namun terlebih dahulu mendeteksi seberapa cepat koneksi yang dimiliki. Proses ini juga menentukan kualitas seperti apa yang disajikan.
Jika pengguna mengakses dengan koneksi lemot, beberapa potongan pertama beresolusi 144p atau 220p diminta tersebih dahulu untuk disajikan. Ini berubah secara dinamis dan otomatis sesuai dengan naik turun kualitas koneksi internet milik pengguna.
Hal ini bisa dilakukan karena selain video telah terpotong-potong, juga karena Google melakukan rendering semua video yang diunggah pengguna ke YouTube dengan memanfaatkan teknologi bernama DASH atau Dynamic Adaptive Streaming over HTTP.
Untuk membuat penggunanya dapat menyaksikan konten secara lancar sekaligus tak membebani pusat data karena konten-konten telah disebar di seluruh dunia, Google menerapkan kebijakan "just in time mechanism".
Sadar bahwa strategi ini tak dapat 100 persen diandalkan, maka proses cache konten-konten di YouTube tak hanya dilakukan Google, melainkan mengajak Internet Service Provider (ISP) untuk turut serta menduplikasi konten-konten YouTube.
Inilah alasan mengapa terdapat provider selular yang memiliki "Paket YouTube" atau tak segan memberi kesempatan penggunanya untuk mengakses YouTube tanpa batas. Dan hal ini pula yang membuat saya dapat lancar menonton YouTube di tengah lemotnya koneksi internet.
Editor: Irfan Teguh Pribadi