tirto.id - Apa yang lebih membuat stres: jaringan internet lemot (lambat) atau mengantre panjang saat mau membayar barang belanjaan di toko swalayan?
“Tentu saja internet lemot!” jawab Afdi Alfian, mahasiswa Filsafat UGM, kepada Tirto. Ia sedang dalam fase penghabisan masa kuliah dan siang-malam selalu setia menggeluti naskah skripsi. Data pendukungnya ia dapatkan dari beragam jurnal penelitian dan artikel ilmiah lain, untuk dibaca maupun diunduh. Kupingnya juga rutin disumpal earphone kala memutar lagu-lagu kesayangan di kanal Youtube. Sambil menyelam minum air, ia juga kerap mengunduh serial favorit atau flm terbaru untuk ditonton jika bosan berhadapan dengan tugas akhir.
Afdi tak menyangkal jika dirinya adalah satu dari sekian generasi milenial yang memiliki ketergantungan tinggi pada jaringan internet yang memadai. Ada begitu banyak kebutuhan dan sumber hiburan yang bisa didapat dari dunia maya, sehingga kendala sedikit saja bisa berbuah hilangnya mood sampai caci maki. Saat sedang diwawancarai, kebetulan muncul masalah pada jaringan internet di laptop Afdi. Video musik terbaru dari musisi pujaan yang sedang diputarnya mendadak terhenti dan unduhannya juga terputus.
Dengan fasihnya ia kemudian memaki, “A&%$#g!”
Apakah Anda pernah mengalami momen yang sama?
Bukan hanya saat menonton Youtube, tapi juga gagal mengunduh file, kesusahan membuka situsweb akibat tampilannya yang terlalu “berat”, terlalu lama memuat ulang sebuah laman penting yang sedang jadi rujukan dalam pekerjaan, atau terlalu lama mengunggah maupun mengirim hasil pekerjaan padahal sedang ditunggu-tunggu.
Tahun lalu Ericsson melalui ConsumerLab-nya mempublikasikan sebuah riset bertajuk “The Stress of Streaming Delays”. Para responden dibagi menjadi tiga kelompok yang diberi gawai dan sebuah pekerjaan dengan modal jaringan internet tanpa gangguan, dengan gangguan jaringan tingkat menengah, dan gangguan jaringan tingkat tinggi.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui respons responden dari ketiga situasi di atas. Pendekatan yang dipakai adalah studi neurosains sehingga peneliti memantau aktivitas otak, gerakan mata, dan nadi responden selama mereka berselancar ke beberapa situsweb dan menonton video klip. Mereka juga mengukur persepsi responden operator jaringan internet yang dipakai sebelum dan sesudah dilaksanakannya penelitian.
Hasilnya menunjukkan, penundaan dalam memuat sebuah laman dan video meningkatkan level detak jantung dan stres responden. Rata rata dalam sekali penundaan akan menghasilkan 38 persen peningkatan detak jantung. Sedangkan untuk stres, partisipan telah menunjukkan stres sejak awal memegang gawai sebab salah satu perintahnya yakni menuntaskan sebuah pekerjaan dengan waktu yang terbatas. Dalam pelaksanaannya, penundaan-penundaan dalam akses internet membuat tingkat stresnya lebih tinggi lagi.
Stres sebesar 13 persen bahkan tetap ada pada kelompok responden yang jaringan internetnya lancar jaya. Untuk kelompok kedua dengan penundaan tingkat menengah, tingkat stres di awal penelitian sudah mencapai 16 persen. Setelah penundaan-penundaan selama dua detik di sisa penelitian tingkat stresnya naik menjadi 31 persen. Sementara itu di kelompok dengan tingkat penundaan paling tinggi sudah merasakan kenaikan tingkat stres sebesar 19 persen di awal riset. Di sisa riset dengan penundaan-penundaan hingga 6 detik, tingkat stresnya sudah mencapai 34 persen.
Pertanyaan Tirto pada Afdi di awal tulisan didasarkan pada bagian lain riset ConsumerLab yang menyatakan bahwa tingkat stres akibat jaringan internet lambat memang masuk menempati posisi kedua tertinggi. Faktor penyebab stres pertama ditempati penyelesaian soal matematika, bidang pelajaran yang jadi momok pelajar sedunia. Di tempat kedua ada jaringan internet buruk, lalu ketiga dan berturut-turut setelahnya ada menonton film horor, berdiri di tepi tebing, menonton acara melodrama di televisi, dan mengantre panjang saat membayar di toko ritel.
Perkara stres pernah disebutkan juga pada riset ConsumerLab di tahun 2015 yang fokus utamanya adalah pada fenomena pemakaian produk wereable pada respondennya. Ada sejumlah faktor yang melatarbelakangi mengapa mereka suka dengan produk canggih itu. Faktor utamanya rupanya agar memperpanjang usia harapan hidup. Dan memakai produk wereable yang bisa dipakai untuk memantau dan mengatur kadar stres dipercaya menjadi produk wereable yang paling manjur dengan perpanjangan usia hidup hingga dua tahun atau yang terlama di antara motif lainnya.
Dalam rentang 0 hingga 2 tahun untuk perpanjangan usia hidup, motif-motif lain selain mengatur level stres bermacam-macam, mulai dari produk peralatan makan canggih yang bisa dipakai untuk mengatur asupan kalori, garam, atau alergi, yang bisa dipakai untuk memantau kesehatan fisik, yang berbentuk botol obat untuk mengatur konsumsi obat, hingga yang bisa dipakai untuk membuat tidur lebih berkualitas. Terakhir, yakni produk wearable yang bisa dipakai untuk mengatur lalu lintas jaringan internet dengan baik, diyakini bisa memperpanjang usia hingga 0,5 tahun.
Stres Akibat Konten dan Konsumsi Tingkat Tinggi
Stres dan kaitannya dengan internet tak hanya berkaitan dengan masalah pada jaringannya tapi juga konten dan bagaimana ketergantungan pemakaiannya Pew Research pada 2015 lalu pernah mempublikasikan riset yang berkenaan dengan fenomena tersebut, bermodal dengan sebait pertanyaan pokok “Apakah konsumsi medsos yang tinggi juga berkontribusi terhadap naik-turunnya level stres seseorang?”
Secara umum analisis Pew Research menunjukkan bahwa tak ada kaitan langsung. Namun penggunaan medsos yang berlebihan berarti akan menerima lebih banyak informasi tentang peristiwa yang membuat stres orang lain. Situasi ini, menurut Pew Research, menuntun si pengguna medsos untuk lebih mudah terserang stres. Dibandingkan dengan laki-laki, perempuan menjadi pihak yang lebih rentan untuk mengalami kondisi tersebut.
Dalam menjalankan penelitiannya, Pew Research menanyakan 12 jenis peristiwa pemicu stres kepada responden untuk mengetahui mana yang pernah mereka dengar/lihat dan yang belum. Peristiwanya bermacam-macam, mulai dari kematian orang terdekat sampai masalah finansial.
Hasilnya, secara rata-rata, responden perempuan memiliki pengetahuan yang lebih besar tentang 12 peristiwa pemicu stres tersebut di antara orang-orang yang responden kenal atau berteman di medsos. Masih dalam angka rata-rata, tingkat pengetahuan responden pria tentang peristiwa pemicu stres yang dialami orang-orang terdekatnya di medsos sebanyak 7 persen lebih sedikit dibanding responden perempuan.
Lebih khusus lagi untuk kasus bagi pengguna Facebook, responden perempuan dengan jaringan pertemanan normal memiliki pengetahuan atas peristiwa pemicu stres 13 persen lebih tinggi ketimbang perempuan yang tak main Facebook. Sementara bagi responden laki-laki persentasenya hanya 6 persen. Pengetahuan responden perempuan atas peristiwa pemicu oleh orang-orang spesialnya di Facebook juga mencapai 14 persen, lebih tinggi daripada persentase pengetahuan responden laki-laki yang hanya sebesar 6 persen.
Stres barangkali akan selalu jadi harga yang mesti dibayar mereka yang tak bisa hidup tanpa internet. Hidup tanpa internet? Apakah bisa? Nielsen, lembaga riset media dan ekonomi asal Inggris, pernah merilis laporan yang menyebutkan bahwa kebanyakan konsumen di dunia merasa gelisah jika berada jauh dari gawainya, dari medsosnya, dari dunia sekundernya.
Dalam laporan yang dirilis pada Oktober 2016 tersebut, Nielsen menyatakan bahwa 56 persen konsumen global tidak dapat membayangkan hidup tanpa perangkat ponsel pintarnya. Kemudian, dijelaskan pula bahwa 53 persen konsumen global merasa tidak tenang jika berada jauh dari perangkat mobile mereka. Bahkan, 70 persen konsumen global merasa perangkat mobile membuat hidup mereka menjadi lebih baik.
Ada harga ada rupa. Ada akses internet, ada juga stresnya.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti