tirto.id - Apa kesamaan antara Albert Einstein, Margaret Thatcher, Tariq Ali, dan Aung Suu Kyi? Mereka semua memang terkenal di bidangnya masing-masing, hidup di generasi yang berbeda, dan mungkin saling bertolak belakang. Adakah kesamaannya?
Mereka semua dari almamater perguruan tinggi yang sama, Universitas Oxford.
Sejak berdiri sekitar awal abad ke-12 di Kota Oxford, Inggris, kampus tertua di tanah Britania Raya ini mencetak lulusan yang banyak menjadi orang-orang terkenal di berbagai bidang. Dari seniman, filsuf, olahragawan, agamawan, akademisi, hingga pemimpin dunia.
Situs resmi Oxford mencatat sejak abad ke-13 kampus ini telah mencetak banyak tokoh penting di berbagai bidang. Hingga saat ini, ada 27 perdana menteri Inggris, 30 kepala negara/pemerintahan dari negeri lain, 50 pemenang hadiah Nobel, dan 120 pemenang medali Olimpiade yang pernah belajar di Oxford. Tentu saja ini belum termasuk para alumni ternama di bidang lainnya.
Ini termasuk perdana menteri Inggris saat ini, Theresa May dari Partai Konservatif yang adalah lulusan Oxford. Dua kandidat politikus Partai Konservatif yang bertarung memperebutkan kursi pemimpin partai pada 7 Juni 2019, Boris Johnson dan Jeremy Hunt, juga lulusan Oxford.
Universitas Oxford terdiri dari 38 kampus (constituent college). Dari sederet jurusan yang tersedia di masing-masing kampus, jurusan Filsafat, Politik dan Ekonomi atau yang akrab disingkat PPE yang berada di kolese Lady Margaret Hall adalah salah satu yang mencolok. Pasalnya, jurusan yang berdiri sejak 1920 ini kerap menghasilkan lulusan yang sukses menduduki level jabatan perdana menteri atau presiden.
Sebut saja tiga perdana menteri Inggris, Edward Heath, Harold Wilson dan David Cameron. Empat perdana menteri Australia, Tonny Abbot, Malcolm Fraser dan Bob Hawke. Empat perdana menteri dan empat presiden Pakistan, Liaqat Ali Khan, Zulfiqar Ali Bhutto, Benazir Bhutto, Imran Khan dan Farooq Leghari.
Di benua Afrika, ada dua perdana menteri Ghana, Kofi Abrefa Busia dan John Kufuor. Di Asia Tenggara ada dua perdana menteri Thailand Kukrit Pramoj dan Abhisit Vejjajiva, serta penasihat negara Myanmar Aung San Suu Kyi. Di Amerika Latin, ada Pedro Pablo Kuczynski yang pernah menjadi perdana menteri Peru.
Semuanya alumni PPE Oxford.
PPE Menguasai Inggris
Meski tak semua perdana menteri Inggris alumni Oxford berasal dari PPE, tetapi sulit untuk dipungkiri bahwa alumni jurusan ini sangat mendominasi jabatan-jabatan penting di Inggris.
Andy Beckett dalam esai panjang untuk Guardian pada 2017 menguraikan jaringan alumni PPE di berbagai sektor. Mulai dari pemimpin Partai Buruh Ed Miliband, petinggi Partai Liberal Demokrat Danny Alexander, editor BBC di kanal politik Nick Robinson, redaktur ekonomi Robert Peston dan pembawa acara Evan Davies, editor majalah Economist Zanny Minton-Beddoes, koresponden Channel 4 News Michael Crick, hingga ahli statistik Financial Times Tim Harford.
"Dari kiri sampai kanan, dari pusat sampai pinggiran, dari analis sampai protagonis, pencari konsensus sampai aktivis revolusioner, pencinta lingkungan sampai ultra-kapitalis, gila negara sampai anti-negara, elitis sampai populis, birokrat sampai tukang pelintir, perisak sampai pemikat, jaringan PPE bekerja di semua tingkatan politik Inggris—kadang menonjol, kadang anteng," tulis Beckett.
Menurut David Willetts, alumni PPE yang sempat duduk di kursi menteri pendidikan tinggi Inggris (2010-2014) dari Partai Konservatif, para jebolan PPE mendapatkan pengetahuan luas tentang sejarah politik modern, bergelut dengan pemikiran politik, logika, hingga teori-teori ekonomi. Tugas kuliah seperti membikin 16 esai per semester kelak dianggap sangat berguna ketika si alumni harus menulis pidato nantinya saat jadi pejabat tinggi.
"Sebagai seorang menteri, kadang-kadang Anda berpikir bahwa kehidupan politik Inggris adalah rekreasi tanpa akhir dari ruwetnya menggarap esai PPE," ujar Willetts.
Selain PPE, ada pula sebuah kelompok debat yang terkenal di kalangan mahasiswa Oxford. Namanya Oxford Union.
Mengangkat berbagai macam topik kekinian, debat dilaksanakan setiap kamis malam. Hasil debat ditentukan oleh berapa banyak siswa peserta yang berjalan keluar ke pintu yang bertanda "Ayes" ("Ya") dan "Noes" ("Tidak"). Cara yang sama seperti yang dilakukan di Majelis Rendah Parlemen Inggris (House of Commons).
Ketika masih kuliah di Oxford, Benazir Bhutto, Theresa May, Bill Clinton, Harold Macmillan, dan Boris Johnson bergabung dengan klub debat paling bergengsi di Inggris ini.
Selain mengadakan debat internal, mereka juga kerap mengundang tamu internasional dari lintas latar belakang pekerjaan untuk ikut berbicara di forum. Dari Morgan Freeman sampai Dalai Lama pernah ke gedung Oxford Union di Frewin Court.
"Orang-orang tahu jika Anda datang ke Oxford dan moncer di kelompok debat tersebut, Anda akan bertemu dengan orang yang bisa membantu karier Anda di politik" ujar Profesor Geoffrey Evans, dari Oxford's Nuffield College. Meski begitu, tak semua mahasiswa Oxford berminat gabung di kelompok debat ini.
Hanya untuk Kalangan Elite?
Dilansir dari BBC, pada 2017 lalu, David Lammy, anggota parlemen Britania Raya dari Partai Buruh mengungkap data yang menunjukkan bahwa para mahasiswa di dua kampus paling bergengsi di Inggris, Universitas Oxford dan Universitas Cambridge—atau populer disingkat Oxbridge—didominasi mahasiswa dari latar belakang keluarga elite.
Data Lammy menunjukkan bahwa antara 2010 sampai 2015, empat per lima siswa dari Inggris dan Wales yang diterima di Oxbridge lahir dari orangtua dengan pekerjaan paling mentereng dan berpenghasilan tinggi.
Selain itu, ada bias daerah dalam penerimaan mahasiswa di Oxbridge. Calon mahasiswa dari London dan sekitarnya lebih sering ditawari masuk ketimbang calon mahasiswa dari seantero Inggris utara. Wilayah selatan Inggris memang dikenal lebih makmur dibanding penduduk di Inggris utara.
Kesenjangan itu disadari oleh Oxford. "Secara keseluruhan, daerah yang mengirimkan sedikit siswanya ke Oxford juga cenderung menjadi daerah yang tak beruntung secara ekonomi dan pencapaian (akademik) yang rendah di sekolah," ujar salah seorang juru bicara Oxford.
Lammy menuduh Oxbridge gagal memenuhi tanggung jawab sebagai kampus negeri. Pasalnya, kedua kampus menerima dana pemerintah sebesar £800 milyar per tahun yang berasal dari pajak seluruh warganegara.
Jika dilihat ke belakang, fenomena ini agak bertolakbelakang dengan sejarah awal berdirinya kampus Oxford. Dikutip dari Encyclopaedia Britannica, Oxford awalnya tidak punya gedung. Kegiatan perkuliahannya diadakan di aula atau gedung gereja yang disewa. Perguruan tinggi di kompleks Oxford awalnya bahkan menyediakan asrama untuk menampung mahasiswa miskin dan sarjana yang ingin melanjutkan pendidikan tinggi.
Editor: Windu Jusuf