tirto.id - "Kita semua menyukai bau perpustakaan besar. Kita bisa mencium pengetahuan, sejarah, aroma warisan, dan jiwa-jiwa masa lalu."
Kalimat dalam sebuah Katedral St. Paul Dean tersebut barangkali bersepakat dengan kesenangan sejumlah orang terhadap bau dan aroma buku. Hal ini juga yang membuat beberapa pembaca enggan beralih dari buku cetak ke e-book lengkap dengan gawainya.
Terkait hal ini, Unesco juga telah menetapkan bau buku sebagai aroma warisan tak benda. Hal ini dilaporkan dalam makalah yang berjudul Smell of heritage: a framework for the identification, analysis and archival of historic odours.
Aroma buku yang khas tersebut berasal dari kombinasi berbagai senyawa. Bau ini adalah campuran dari ratusan bahan, yang disebut senyawa organik volatil (VOC) yang dilepaskan ke udara dari kertas.
Beberapa senyawa itu adalah asam asetat, benzaldehida, butanol, furfural, atau methoxyphenyloxime dan lain sebagainya. Selain berbagai campuran senyawa tersebut, hidung juga memegang peranan yang penting kenapa seseorang menyukai bau buku.
Hidung terikat langsung ke sistem limbik yang bertanggung jawab atas emosi kita. Hal ini juga yang menyebabkan bau merupakan salah satu cara terkuat untuk memicu ingatan. Sehingga kenangan seperti rasa senang untuk membaca datang kembali dari masa lalu kita.
Penelitian berjudul Recognizing odors associated with meaningful places mengatakan bahwa bau sangat penting untuk menempelkan makna pada ruang dan pengalaman. Penelitian yang dipublikasikan oleh The American Journal of Psychology,mengutip sebuah pengalaman menarik dalam buku Swann's Way karya Marcel Proust terkait bau dan pemaknaan pada ruangan.
“Proust ingat dapur nenek tercintanya, ia menggambarkan bagaimana kue Madeleine yang direndam dalam teh linden membuat getaran yang berjalan di seluruh tubuhnya,” tulis Gerald C. Cupchik, penulis penelitian.
Para ilmuwan mencoba mengukur sejauh mana aroma mempengaruhi persepsi kita tentang suatu tempat. Sebagaimana dilansir Jstor Daily, para peneliti melibatkan beberapa partisipan untuk mencium aroma dan melihat suatu pemandangan. Kemudian para partisipan diminta untuk menulis cerita sebagai respons.
Hasilnya, jauh lebih mudah bagi peserta untuk menciptakan skenario yang meyakinkan dan terperinci dalam suasana hangat dengan aroma yang menyenangkan.
Namun, jika ruangan yang hangat dipasangkan dengan bau yang tidak menyenangkan, para peserta menciptakan detail yang kurang baik dan memiliki masalah dalam mengingat detail jika aroma tidak sesuai dengan pemandangan.
Kesimpulannya, ketika seseorang sedang membaca sebuah cerita atau sedang membayangkan garis besar sebuah episode yang digambarkan dalam latar novel, bau buku tersebut berfungsi sebagai lem yang mengikat adegan dan mempertahankan memori implisit dari detail kejadiannya.
Editor: Yulaika Ramadhani