tirto.id - Ketika mengunjungi Kedai Tjikini di Jakarta Pusat, mata Teddy Kusuma dan Maesy Ang tersedot pada satu buku mungil bersampul bocah perempuan naik di keranjang depan sepeda, dibonceng perempuan dewasa; berwajah gembira selagi mengejar layangan.
Itu buku cerita anak berjudul Na Willa: Serial Catatan Kemarin, yang ditulis Reda Gaudiamo, penulis sekaligus musisi. Teddy dan Maesy membaca buku itu dan seketika suka.
“Buku anak yang bagus itu biasanya disukai orang dewasa. Kami berdua suka buku ini. Bagusnya Na Willa ini ... sebagai cerita anak, tidak menempatkan dunia anak dalam gelembung yang terpisah dengan orang dewasa,” kata Teddy dalam percakapan via telepon.
Na Willa memang bukan tipikal buku cerita anak Indonesia yang melulu ceria, penuh petuah bijak, ataupun pesan moral. Buku yang pertama kali diterbitkan secara urunan (crowdfunding) pada 2012 ini menempatkan peristiwa sehari-hari dari kacamata seorang gadis berusia lima tahun.
Persis seperti yang dibilang Teddy, Na Willa tidak menempatkan dunia anak dalam bagian yang terpisah dengan orang dewasa. Dunia Na Willa kerap kali bersinggungan dengan masalah orang dewasa, yang kerap tanpa sadar mencemari dunia anak. Ini membuat kisah Na Willa kadang terasa gelap.
Contoh paling terlihat: rasisme.
Na Willa dikisahkan sebagai anak dari seorang Bapak keturunan Cina dan Mak keturunan "pribumi". Ini membuat posisi Na Willa serba salah. Dia sering dimaki “Cino asu!” oleh Warno, kawannya. Namun, kawannya yang lain, Ida, menganggap Willa bukan Cino karena “...ireng, matamu tidak sipit.”
Contoh lain: tragedi.
Dul, kawan Willa yang lain, dikenal hobi main kelereng, main layangan, dan mengejar kereta. Kampung tempat tinggal Willa di pinggir rel kereta api. Suatu hari, warga kampung geger. “Ada yang ketabrak kereta!” kata Lik Watno.
Suasana heboh. Orang panik. Mak memaksa Na Willa masuk tapi emoh. Pak Warno lewat, membawa sesuatu dipenuhi bercak darah dibungkus daun pisang. Itu kaki, pekik Na Willa. Lalu Dul, kawan baik Na Willa itu, lewat sembari dibopong. Dia teriak-teriak, “Sikilku! Sikilku!”
“Aku menjerit keras. Mak memelukku. Erat. Malam itu kami berdua duduk berpelukan di kursi rotan, di ruang tamu. Kami tidak bicara apa-apa. Kami tak makan malam itu,” kata Na Willa.
Reda sebagai penulis memang sengaja menciptakan dunia anak yang tak melulu cerah ataupun berisi pesan moral.
“Saya merasa, kenapa sih buku anak-anak di Indonesia itu harus baik-baik saja? Kesedihan enggak boleh masuk, tragedi enggak boleh masuk? Anak-anak juga manusia. Mereka juga mengalami kesedihan. Dan banyak anak mengalami masalah yang buruk. Dan tidak apa-apa lho memasukkan itu ke buku anak,” ujarnya.
Kisah Teddy dan Maesy yang jatuh cinta pada Na Willa bak botol bertemu tutup. Dua orang ini punya toko buku independen Post Bookshop di Pasar Santa, Jakarta Selatan.
Hanya menjual buku-buku yang mereka suka, Teddy dan Maesy lantas mempromosikan Na Willa di toko mereka. Buku itu sebelumnya kurang bagus dalam penjualan, menurut Reda. Perlahan, di tangan orang yang tepat, buku ini menemui banyak pembaca dan ludes.
Selain itu, Post Bookshop kemudian merambah lini bisnis baru: penerbit.
Sama seperti tokonya yang hanya menjual buku yang disukai Teddy dan Maesy, begitu pula penerbitan yang diberi nama Post Press ini. Mereka kemudian menerbitkan rilisan perdana: Aku, Meps, dan Beps, buku yang ditulis Reda bersama anaknya, Soca Sobhita.
Senapas Na Willa, buku Aku, Meps, dan Beps memakai sudut pandang “aku” yang adalah bocah perempuan. Karakter lain adalah Beps, panggilan untuk ayah Soca, Eddie Prabu, dan Meps alias Reda. Sama pula dengan Na Willa, buku cerita anak ini tidak dimaksudkan untuk memberikan pesan moral atau gambaran keluarga ideal.
Buku ini disambut dengan baik, sama seperti Na Willa.
Di komunitas pembaca GoodReads, buku bersampul oranye yang menampilkan bocah perempuan berponi ini mendapat rating bintang 4. Satu pembaca menyebutnya, “... bacaan yang menggemaskan.” Lainnya menyebut buku ini ditulis dengan “... polos, lugu, natural, dan bersahaja.” Walau ada pula kritik yang menyebut celetukan tokoh Aku terlalu kaku dan kurang playful.
Usai menerbitkan Aku... Post Press menerbitkan ulang Na Willa yang dicetak 1.000 eksemplar dan ludes dalam waktu singkat. Post juga merilis sekuel Na Willa dan Rumah dalam Gang serta akan dilanjutkan seri ketiga yang saat ini digarap Reda.
Meski tidak dimaksudkan sebagai penerbit buku cerita anak, tapi hingga saat ini, katalog Post Press tampak bergerak dalam ceruk pasar buku cerita anak yang memang menggiurkan.
“Sebenarnya pertimbangan awal kami bukan bisnis, sih, melainkan kami ingin mempromosikan buku cerita anak yang bagus dan beda. Apalagi kami penerbit kecil, jadi pertimbangan bisnis bukan pertimbangan utama,” kata Teddy.
Ceruk Pasar Terbesar
Pada 2015, Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) merilis serba-serbi angka industri buku Indonesia tahun 2013 dan 2014. Dari laporan itu, publik bisa melihat industri buku adalah pasar bernilai amat besar.
Pada 2013, nilai penjualan buku di Indonesia mencapai Rp7,3 triliun. Jumlah ini meningkat jadi Rp8,5 triliun setahun berikutnya.
Dan, siapa penguasa pasar buku Indonesia? Tak lain tak bukan adalah buku cerita anak.
Pada 2013, pangsa pasar buku anak adalah 22,31 persen dari total penjualan buku di Indonesia. Setahun kemudian, jumlahnya jadi 22,64 persen.
IKAPI mengambil data penjualan buku dari Gramedia, toko buku terbesar di Indonesia. Peringkat 1 penjualan mereka adalah buku anak. Pada 2014, sekitar 10,1 juta eksemplar buku cerita anak berhasil dijual oleh Gramedia. Mengalahkan buku religi dan spiritual, fiksi dan sastra, bahkan buku pelajaran sekolah.
Menurut IKAPI, larisnya buku anak karena harga rata-rata yang murah, yakni Rp30 ribu. Meski sekilas harganya murah, dengan banyaknya buku yang terjual, buku anak berhasil menyumbangkan Rp304 miliar bagi kocek Gramedia. Ini kira-kira 22,64 persen dari total penjualan buku di Gramedia pada 2014.
Selama ini penerbit buku anak didominasi oleh nama-nama besar, seperti Noura Books, Bentang Pustaka Erlangga, AgroMedia, dan Kompas Gramedia. Ada pula penerbit skala menengah semacam Cikal Aksara, atau Kautsar yang menerbitkan buku-buku agama Islam.
Selain itu, ada nama penerbit baru seperti Litara yang menyabet satu grand prize dan tujuh runner up pada kompetisi Samsung KidsTime Authors Award pada 2015 dan 2016. Lewat terbitan Taman Bermain Dalam Lemari, Litara mendapatkanHonorary Mention to Publisher pada acara 26th Biennal of Illustration Bratislava, Slovakia.
Meski sudah cukup sesak oleh penerbit skala besar dan menengah, ceruk pasar buku anak toh dianggap masih cukup besar bagi para penerbit baru, apalagi bagi mereka yang memakai strategi berbeda.
Alasan semacam itu pula yang mendorong Nody Arizona, Rifqi Muhammad, dan Audian Laily mendirikan Uwuwu, sebuah penerbitan buku khusus .
Menurut penerbit yang bermarkas di Yogyakarta ini, meski angka penjualan buku anak amat besar, masuknya buku anak di toko buku masih terbatas. Hal ini salah satunya karena marjin distribusi menyedot 60 persen dari tiap satu buku.
“Jadi kalau masuk toko buku, 60 persen harga jual itu untuk toko buku dan distributornya. Penerbit hanya dapat 40 persen,” ujar Audian.
Maka Uwuwu sadar lahan jualan mereka bukanlah toko buku. Penerbit Uwuwu berencana menjual terbitannya via media sosial dan reseller. Ketiadaan pihak ketiga dan potongannya ini membuat harga jual buku jadi lebih murah, juga marjin keuntungan bisa lebih besar.
Uwuwu bergerak di penerbitan cerita anak bukan hanya didorong perkara bisnis. Menurut Audian, ada banyak buku anak impor yang masuk ke Indonesia tapi tidak membawa konteks anak Indonesia atau tidak memiliki kedekatan dengan anak Indonesia. Mereka berencana menggarap cerita anak dari tokoh-tokoh nasional yang inspiratif. Ini peluang yang menarik.
Tentu saja, di era digital, tantangan buku cerita anak akan makin besar. Ia harus berhadapan dengan kanal-kanal visual, semisal YouTube. Namun, bukan berarti bisnis buku cerita anak akan surut dan mati.
Tantangan jelas ada, tapi dunia digital juga memberikan peluang lain semisal buku interaktif (interactive books) yang bisa merangsang saraf motorik anak. Pangsa pembaca juga besar karena jumlah anak-anak Indonesia usia 0-14 tahun sekitar 70,4 juta jiwa.
"Selama masih banyak orang tua yang merasa bersalah karena tidak punya cukup waktu untuk anaknya, maka industri buku anak tak akan mati," kata Reda, tertawa.
Menurut Teddy, tantangan industri buku cerita anak adalah tren yang selalu bergeser. Misalkan, dulu pernah ada tren buku petualangan. Sekarang, sedang tren buku anak yang berkelindan dengan religi ataupun buku cerita anak yang mencekoki pembaca dengan petuah moral.
Tren seperti ini, menurut Teddy, bisa membuat pasar jadi seragam dan membuat anak terpapar bacaan yang monoton. Maka, kisah-kisah dalam buku cerita anak yang diterbitkan Post bersama Reda itu jadi penting dan relevan.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Fahri Salam