tirto.id - Ketika bertemu dengan Reda Gaudiamo, tak bisa tidak, isi kepala mengembang oleh suaranya yang menyejukkan saat berkiprah dalam AriReda, proyek musikalisasi puisi bersama Ari Malibu, teman duetnya sejak 1982.
Duet itu menyenandungkan secara apik puisi-puisi Sapardi Djoko Damono macam “Aku Ingin”, “Hujan di Bulan Juni”, maupun “Gadis Kecil”, atau puisi-puisi Goenawan Mohamad dalam album Suara Dari Jauh (2017). Itu sekaligus proyek terakhirnya bersama Ari, sebab setahun setelahnya, tepatnya pada 14 Juni 2018, Ari meninggal dunia.
“Itu kehilangan besar. Dan sekarang harus mulai lagi adaptasi dengan format musik baru,” kata Reda, tersenyum.
Saya bertemu Reda di Ke:Kini, sebuah ruang kerja bersama (coworking space) di kawasan Cikini, Jakarta Pusat. Obrolan kami tidak membahas tentang proyek musik terbarunya, melainkan kiprah dia sebagai penulis cerita anak. Reda mengawali kariernya sebagai penulis ketika pada 2012 menggalang urunan (crowdfunding) untuk mencetak buku Na Willa.
Na Willa adalah cerita anak yang unik. Bocah perempuan usia 5 tahun yang tinggal di rumah pinggir rel kereta di Surabaya ini berinteraksi dengan dunianya. Tidak terpisah dari dunia nyata dan segala masalahnya.
Dunia Na Willa penuh warna dan tidak selalu baik-baik saja. Ada kedukaan (semisal kaki temannya yang putus ditabrak kereta); atau pengalaman Na Willa bersinggungan dengan rasisme (dipanggil "Cino Asu").
Buku Reda itu diterbitkan ulang oleh Post Press, kolektif penerbitan yang digarap Teddy Kusuma dan Maesy Ang bersama koleganya. Teddy dan Maesy adalah pemilik Toko Buku Post di Pasar Santa, Jakarta Selatan. Mereka juga menerbitkan beberapa buku anak lain karya Reda, yakni Na Willa dan Rumah Dalam Gang dan Aku, Mep, dan Beps.
Selain menulis cerita anak, Reda mengampu kelas penulisan cerita anak, termasuk yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta pada 2017 dan 2018. Kepada saya, Reda berkisah tentang pengalaman residensi di Inggris dan kagum terhadap industri buku anak di sana, kepusingannya menulis cerita anak dari kacamata orang dewasa, hingga kekhawatirannya terhadap buku anak yang monoton.
Jadi sebenarnya seperti apa masa kecil Reda?
Seperti Na Willa (tertawa).
Bisa dibilang Na Willa adalah representasi seorang Reda kecil, ya?
Mungkin 80 persen cerita Na Willa itu ya cerita saya. Termasuk kaki Dul (kawan Na Willa) yang putus ditabrak kereta api, termasuk dipanggil Cina.
Berarti Mbak Reda besar di Surabaya?
Sampai umur 6 tahun, kemudian pindah ke Jakarta.
Apa yang menarik dari masa kecil seorang Reda?
Sebenarnya adalah bagaimana ibu saya begitu menganggap saya penting. Saya suka gemas melihat ibu-ibu sekarang tidak menganggap anaknya penting. Saya suka ngobrol dengan anak saya, bagaimana guru di sekolah, gurunya tidak memandang murid-muridnya. Murid dipukul rata, misal sekali tidak bisa membaca akan selamanya tidak bisa membaca.
Sekali anak itu gagap, berarti lain kali dilewati saja. Ini pendidikan, juga orangtua, yang tidak menganggap anak sebagai sosok penting dan perlu dapat perhatian yang besar.
Jadi, saya menulis Na Willa lebih ingin menggugah ayah dan ibu. Saya tidak berpikir ini akan jadi buku anak. Awalnya ada di blog dulu, terus iseng saya pindah ke notes Facebook. Dari sana banyak teman yang suka, tertarik, dan bilang kisah itu harus dibukukan. Baru dari sana ditambahkan unsur lain.
Tapi, sebetulnya saya ingin sekali ibu dan ayah mengutamakan anak. Dan ibu serta ayah itu adalah sumber dari segala hal bagi anak. Kalau ayah dan ibu mendidik anaknya dengan pandangan rasis, maka anaknya akan terbentuk seperti itu. Ketika ayah dan ibu melihat keberagaman itu tidak penting, maka anak akan mengikutinya.
Saya merasa saya baik-baik saja. Ibu saya baik-baik saja. Ibu saya tidak masalah melihat perbedaan agama. Ada cerita saya diajak Farida mengaji, ibu saya rileks saja. Dia tahu saya tidak akan serta merta masuk Islam.
Ibu sering mendongengi Mbak Reda?
Dia membacakan cerita. Berbeda dengan ayah saya, dia suka mendongeng. Dia sangat suka mendongeng dan menggambar. Ceritanya entah dari mana. Tapi ibu harus membaca, ada buku di tangannya. Intonasinya ekspresif. Saya suka sekali.
Kemudian, saya punya adik, yang kebetulan kurang sehat. Jadi ibu saya kewalahan mengurusi adik sekaligus membacakan saya cerita. Jadi, yang dia lakukan mengajari saya membaca. Kadang-kadang saya baca cerita keras-keras di samping ibu yang sedang mengurus adik saya.
Seperti apa kesusahan orang dewasa yang menulis cerita anak dari sudut pandang anak kecil?
Aduh, susah sekali! (tertawa kecil).
Karena ketika jadi dewasa, kita sudah sangat kompleks. Cara berpikirnya kompleks sekali. Kenangannya mungkin baik-baik saja, kita tetap ingat. Tapi menceritakan ulang ke anak-anak itu yang susah.
Pilihan kata, pilihan kalimat, menyadari rasa-rasa tertentu adalah hal baru kita rasakan. Excitement anak-anak itu yang susah ditiru.
Saya harus mengenang lagi ketika pertama kali mencoba rawon. Melihat radio pertama kali, girangnya seperti apa. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul di kepala, itu seperti apa. Butuh alat bantu, sih. Misalnya saya baca buku How Things Work… Itu pertanyaan anak-anak. Mereka itu ingin tahu sekali.
Untuk referensi penulisan cerita, siapa penulis yang karyanya dibaca oleh Mbak Reda?
Saya baca Roald Dahl. Mathilda, The BFG, dan lain-lain. Le Petit Nicolas karya (Rene) Goscinny dan (Jean-Jacques) Sempe. Mereka yang membuat saya yakin cerita anak-anak itu enggak apa-apa lho enggak punya pesan moral. Isinya ya anak bandel aja, ya enggak apa-apa. Enggak harus menyisipkan pesan moral.
Sempat ada diskusi tentang nilai moral waktu buku mau diterbitkan?
Oh ada. Sebenarnya Na Willa itu rencananya mau diterbitkan sebuah penerbit besar. Di situlah pesan moral dituntut. Saya ndak mau, saya maunya ya begitu saja. Mereka ingin kata pengantar ditulis oleh psikolog anak. Saya malas tuh. Saya pikir Mathilda bukan cerita yang penuh petuah moral. Enggak ada pengantar juga dari psikolog anak. Dahl juga enggak cerita soal itu.
Mereka lantas bilang kalau ini, kan, buku anak-anak. Saya bilang kalau saya tak menulis untuk anak-anak. Kata mereka, “Ini kan tokohnya anak-anak.” Akhirnya saya putuskan untuk membatalkan diterbitkan oleh mereka. Ribet.
Mbak Reda melihat ini sebagai “konservatisme” dongeng anak di industri buku Indonesia?
Saya merasa, kenapa sih buku anak-anak di Indonesia itu harus baik-baik saja? Kesedihan enggak boleh masuk, tragedi enggak boleh masuk? Anak-anak juga manusia. Mereka juga mengalami kesedihan. Dan banyak anak mengalami masalah yang buruk, dan tidak apa-apa lho memasukkan itu ke buku anak.
Saya tidak punya latar belakang pendidikan psikologi, apalagi pendidikan anak. Tapi, saya ingin menulis sesuatu yang menggugah orangtua untuk memberi kesempatan anak-anak bicara, melakukan hal yang “bodoh”. Kayak kalian enggak pernah kecil saja (tertawa).
Ketika buku Na Willa terbit, seperti apa reaksinya?
Baik-baik saja, sih. Karena sebagian besar yang beli sudah pernah lihat satu-dua cerita di Facebook. Mereka sudah tahu. Meskipun saya sempat dapat tanggapan dari sesama penulis, tahun 2015 waktu kami pergi ke Frankfurt Book Fair.
Dia bilang: Saya mesti bilang ini bukan buku anak-anak, kami mengajarkan guru itu bukan sosok yang baik, dan anak-anak melawan pada sosok guru.
Saya menjawab: Kalau gurunya memang seperti itu, gimana? Kalau anak-anak mengalami hal seperti itu, mau bilang apa? Enggak semua guru itu oke, lho.
Dan itu PR orangtua untuk mendengarkan cerita anaknya, dan mempercayai cerita anak. Ketika seorang anak tidak dipercaya, mereka bisa kecewa, dan kecewa itu luka yang paling besar dan dalam.
Tahun 2017, DKJ bikin kelas penulisan cerita anak, dan Mbak Reda menjadi pengampu kelasnya. Apa yang Mbak Reda ajarkan di kelas itu?
Teknik bercerita, teknik menulis sedikit. Cara membuat karakter. Masalahnya, dari kelas 2017 dan kelas 2018 adalah: bagaimana menulis cerita dari kacamata anak-anak? Misalkan mau buat dongeng, akan seperti apa.
Mereka sudah ada yang menulis buku, malah ada yang banyak menulis buku. Tapi mereka bercerita tidak dari kacamata anak-anak. Itu PR besar.
Bagaimana mengatasi masalah seperti itu?
Kalau menurut saya, pertama harus banyak baca buku anak. Kemudian, menggali kembali pengalaman dia sebagai anak. Karena itu penting untuk merasakan kembali hal-hal yang pertama kali dia rasakan. Kebahagiaan, kekecewaan, pengalaman-pengalaman pertama itu.
Saya sebetulnya cukup terkejut melihat banyak dari mereka tidak ingat masa kanak-kanaknya. Yang mereka ingat ketika sudah kelas 3 atau 4 SD. Buat saya itu mengherankan. Kok bisa lupa, ya?
Dari kelas pertama itu, ada 3 orang yang menulis dengan sangat baik. Meski satu di antara mereka ada cerita yang gelap dan sedih banget, sampai sekarang belum selesai, bingung mau dibawa ke mana. Kalau dari kelas sekarang, saya baru menemukan satu yang bagus banget ceritanya.
Selain masalah kacamata anak, ada hal-hal teknis seperti pilihan kata. Misalnya, "merupakan". Kata sesederhana "merupakan". Kayaknya anak kecil enggak ngomong kata "merupakan".
Sebagai penulis cerita anak, dan pengampu kelas penulisan cerita anak, menurut Mbak Reda seperti apa sih cerita anak yang baik atau ideal itu?
Hmmm. Cerita yang membuat pembacanya merasa dia adalah tokoh itu. Atau, ceritanya membuat dia didengar, atau sangat related dengan cerita itu.
Soal proses kreatif, banyak berdiskusi dengan siapa?
Yang pasti sama Maesy Angelina dan Teddy Kusuma (pemilik toko buku dan penerbitan Post Santa). Saya sering menulis, banyak calon-calon bab. Saya kirim ke mereka. Ada yang masuk, ada yang enggak, ada yang harus diubah. Mereka bahkan membantu saya mengatur alur.
Kapan Mbak Reda menyadari Na Willa itu karakternya berkembang?
(Tertawa) Waktu ngobrol dengan Maesy sebenarnya. Saya merasa Na Willa itu selesai ketika buku itu sudah jadi. Apalagi ketika perjalanannya sebagai barang dagangan itu tidak terlalu lancar. Buku ini sempat masuk ke Gramedia, tapi setelah enam minggu tidak “bergerak”, ya digudangin.
Agak berharap ketika sebuah bank di Yogyakarta itu menjadikan buku itu sebagai hadiah bagi ayah dan ibu yang membuka tabungan buat sang anak. Tapi setelah itu ya sudah.
Nah, setelah ketemu Maesy, dia beranggapan bahwa ending-nya gantung. “Kamu harus menyelesaikannya, Mbak,” kata Maesy.
Saya sih bilang ke dia waktu itu, kalau sudah ada ending-nya. Padahal bikin sekalimat aja enggak (tertawa).
Sejak ketemu mereka, saya menyusun kembali seperti membuat tulisan di buku pertama. Chapter itu cerita pendek. Lebih teratur pembuatan yang kedua ketimbang yang pertama. Saya mencoba membuat outline. Saya juga membaca buku pertama lagi, dan merasa bahwa masih ada kekurangan, merasa, 'Oh... bagian ini enggak bener."
Kemarin residensi di Inggris seperti apa? Mbak Reda belajar soal apa?
Di Inggris itu saya sadar: satu-satunya buku yang enggak akan mati ya buku anak. Di manapun itu. Dalam format apa pun. Saya masuk ke berbagai toko buku, dari yang kecil sekali sampai yang besar kayak Waterstones, isinya orangtua yang membawa anak ke sana.
Memang masih ada orang dewasa yang ke toko buku, atau mahasiswa yang cari buku kuliah. Tapi, selebihnya anak-anak. Bahkan ada orang yang bikin toko buku khusus buku anak. Itu sangat sangat laku.
Saya merasa, selama orangtua masih merasa bersalah tidak punya cukup banyak waktu untuk bareng anak, penjualan buku anak pasti masih oke (tertawa).
Dari semua museum yang saya datangi, pasti ada toko bukunya, dan terbanyaknya pasti buku anak. Selain itu, buku anak di museum juga amat tematik.
Misalkan Museum di Greenwich yang titik 0 Greenwich Mean Time (GMT), ada toko bukunya isinya buku-buku anak tentang waktu. Di museum maritim, semua buku anak temanya laut. Dari sejarah sampai isi laut. Buanyak banget buku untuk anak!
Di Victoria and Albert Museum of Childhood, apalagi itu, namanya aja sudah childhood. Isinya mainaaaaan semua! Bukunya, haduuuh, banyaaaak banget! Di museum desain, juga toko bukunya berisi buku desain untuk anak. Jadi, ya buku anak itu enggak akan habis.
Indonesia bakal bisa seperti itu?
Hmmm… Sebagai komoditas, industri, buku anak di Indonesia itu jalan, dan secara persentase paling besar pangsa pasarnya.
Tetapi, saya khawatir dengan mutu. Seberapa banyak ya penulis buku anak kita yang peduli dengan anak? Jadi mengajari anak itu enggak hanya soal agama, misalkan. Tapi hal-hal yang membuat imajinasi mereka tumbuh, jadi anak yang kuat, jadi anak yang kritis.
Di Inggris, saya sempat melihat serial buku Little People, Big Dreams yang berisi tentang riwayat hidup orang-orang besar, yang ditulis untuk pembaca anak-anak. Misalkan ada yang edisi Frida Kahlo. Sebagian besar tokoh yang ditulis adalah perempuan.
Ada yang bercerita tentang diversity, empat anak yang selalu bermain di bawah pohon. Ada yang kulit hitam, ada yang India, dan dua kulit putih. Ketika besar, ada yang jadi peneliti, ada yang jadi dokter, aktris, dan aktivis sosial. Dari mereka ini ada yang menikah, tidak menikah, gay. Menurut saya itu ya enggak apa-apa. Itu bukunya besar, bergambar, bagus banget.
Atau, ada juga buku besar yang saya beli. Yang pertama buku Why is Art Full of Naked People? Isinya ratusan pertanyaan anak-anak tentang seni. Misal, kenapa sih di museum enggak boleh berisik? Kenapa sih enggak boleh pegang barang di museum? Itu khas anak-anak.
Yang satu lagi buku penulisan kreatif untuk pembaca anak-anak, judulnya Creative Writing: How to. Judulnya gitu, tapi isinya bagus banget, bahkan cocok untuk orang dewasa sekalipun. Dari menulis catatan harian, puisi, bikin esai. Semua ada di situ.
Jadi sebenarnya yang perlu ditingkatkan di Indonesia adalah kualitas buku anak, ya?
Iya. Kemarin saya itu ngobrol dengan seorang teman yang jadi editor di sebuah penerbitan buku anak. Salah satu buku berkisah tentang kakek-kakek yang hidup susah. Lalu ada anak yang bertanya: Kenapa hidupmu susah? Lalu si kakek menjawab: Oh ini karena semasa dulu saya tidak pernah sembahyang.
Ckck! (mendecak).
Seolah hidup hanya harus sembahyang. Padahal hidup ya harus belajar, harus bekerja, harus berbuat baik, harus melakukan banyak hal. Dan enggak sesederhana itu, kan.
Dan sekarang makin banyak buku anak yang seperti itu, ya?
Iya, buat saya itu seram, ya. Semua-semua jadi agama. Padahal enggak semua masalah bisa diselesaikan dengan rajin berdoa. Hhhh (menarik napas).
Orang-orang sering lupa bahwa anak-anak itu adalah makhluk yang penting dan pendidikannya harus prima dan hati-hati sekali. Enggak bisa sembarangan.
Adik saya sekarang jadi guru Taman Kanak-kanak di Jerman. Dia sering cerita bahwa guru TK di sana akan memberi pengertian pada orangtua bahwa calistung (baca, tulis, hitung) itu dipelajari nanti saja, dan tidak semua anak punya kecepatan yang sama. Di TK waktunya bermain. Masa bermain anak-anak itu penting.
Anak-anak itu makhluk yang unik. Dan itu harus dipahami oleh semua orangtua.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Fahri Salam