tirto.id - UsaiRaja Shahryar mendapati istrinya tak setia, penguasa jazirah Arab hingga Cina itu membunuh istrinya. Sejak itu dia tak percaya lagi wanita. Untuk memuaskan nafsu balas dendam, Shahryar menikahi perawan setiap malam hanya untuk membunuhnya. Begitu terus hingga tinggal satu perawan yang bisa dinikahi oleh sang raja: Scheherazade.
Scheherazade adalah perempuan cerdik. Pada malam pertama, anak pejabat kerajaan ini mengisahkan dongeng untuk sang raja tapi menggantungkan akhirnya begitu saja. Hal ini membuat sang raja penasaran. Cerita itu terus bersambung hingga malam ke 1.001. Pada malam itu segala kemarahan sang raja sudah lenyap tak berbekas.
Kisah itu kelak dikenal 1.001 Malam yang setidaknya sudah berkembang di Persia sejak abad 10. Dalam “Alfu Lela Ulela: The Thousand and One Nights in Swahili-Speaking East Africa”, penulis Thomas Geider menyebut kisah 1.001 Malam berasal dari jazirah Arab tapi juga menerabas segala batasan negara maupun budaya.
“Kisah-kisahnya memang berasal dari India, Yunani, Yahudi, Iran, juga Turki,” tulisnya.
Dongeng memang tak pernah diam; terus bergerak dan berkembang. Satu versi di sebuah tempat bisa punya inti sama tapi jalan cerita berbeda di tempat yang lain.
Pada 2013, ada penelitian menarik dari Jamie Tehrani, associate profesor di Departemen Antropologi Universitas Durham, yang membuat semacam bagan dari 58 cerita berbeda untuk dongeng Gadis Berkerudung Merah.
Dongeng ini punya banyak versi, tapi intinya sama: gadis kecil berkerudung merah yang diteror oleh serigala jahat. Di sejumlah versi, nenek sang gadis kecil mati dimakan serigala. Di versi lain, si nenek masih hidup. Ada pula yang mengisahkan seorang pemburu menyelamatkan gadis kecil. Di versi lain, sang gadis cilik cukup cerdik untuk menyelamatkan diri.
Penelitian Tehrani menyebut akar dari kisah ini bisa dilacak hingga 2.000 tahun lalu. Hasil studinya itu mematahkan teori bahwa kisah gadis kecil dan serigala berasal dari dongeng Asia Timur yang berkisah tentang gadis kecil dan harimau.
“Hasil temuanku membalik teori sebelumnya, bahwa dongeng dari Asia itu berasal dari sumber dongeng Barat, bukan sebaliknya,” tulis Tehrani, menyebut dongeng mengalami evolusi, seperti spesies biologis.
Pencarian akar dongeng ini kemudian menghasilkan hipotesis sementara bahwa dongeng tertua di dunia adalah kisah tentang pandai besi dan setan.
Alkisah, si pandai besi menjual jiwanya pada iblis agar bisa menjadi pandai besi terhebat di dunia sekaligus memiliki kekuatan supernatural. Diperkirakan kisah ini sudah dituturkan sejak 6.000 tahun lalu, atau pada Zaman Perunggu.
Dongeng ini terus berkembang dan melahirkan banyak sekali versi, termasuk versi di dunia musik: Robert Johnson menjual jiwanya pada iblis agar bisa menciptakan musik terdahsyat di dunia. Mereka bersepakat, dan lahirlah musik blues.
Bagaimana dengan dongeng di Nusantara?
Belum ada catatan tertulis tentang apa dongeng tertua di Nusantara, dan berapa umurnya. Kesulitan melacak akar dongeng di Nusantara juga disebabkan oleh kultur sastra lisan yang begitu kuat di kawasan-kawasan yang kini disebut "Indonesia." Satu yang pasti, dongeng-dongeng di Nusantara punya banyak kemiripan struktur dengan dongeng di kawasan lain, bahkan negara lain.
Untuk tema fabel, misalkan. Di Sulawesi ada dongeng tentang keturunan puak tertentu yang tak boleh menyantap ikan hiu (mangiwang) karena leluhurnya dulu diselamatkan oleh hiu. Sedangkan di suku Banjar, inti ceritanya sama, hanya saja ikan hiu diganti oleh ikan pari.
Selain itu, dua peneliti dari Sumatera Selatan, Ratu Wardarita dan Guruh Puspo Negoro, pernah membandingkan kesamaan tema dan struktur antara dongeng Jaka Tarub dan Tanabata dari Jepang. Kesamaan tema itu, antara lain, ada di pernikahan manusia dan bidadari. Tentu saja ada perbedaan semisal tentang sistem sosial maupun kepercayaan.
Nasib Dongeng di Era Digital
Salah satu kekhawatiran yang muncul seiring dunia yang makin digital adalah dongeng bakal punah. Kekhawatiran ini bisa jadi sedikit tak beralasan. Karena dongeng ternyata bisa bertransformasi lebih mudah di dunia digital. Ia lebih mudah menemukan pembacanya —atau pemirsa dan pendengarnya.
Ed Yong, penulis kanal ilmu pengetahuan di The Atlantic, punya analogi menarik tentang dongeng yang ditulis. Pada dasarnya, dongeng tertulis sudah ada sejak manusia mempunyai sistem huruf dan mengenal baca-tulis. Cara penyampaian dongeng itu lantas mengalami evolusi. Dari lisan hingga tertulis: di batu, papirus, daun lontar, hingga kertas.
Di era digital, dongeng hadir tak hanya lewat huruf yang dirajah tapi melalui situs. Di Indonesia, salah satu situs cerita rakyat yang punya cukup banyak koleksi adalah Cerita Rakyat Nusantara yang menghadirkan cerita rakyat dari Aceh hingga Papua Barat.
Dongeng juga bisa hadir dalam bentuk lain: audio dan visual.
Buku dongeng anak yang dulu tak jarang hanya mengandalkan teks, kini bisa berkelindan dengan gambar dan suara. Di YouTube, ada akun dongeng seperti Indonesian Fairy Tales (punya 557.905 pengikut) yang menghadirkan aneka macam dongeng dalam bentuk video. Isinya merentang dari dongeng Nusantara hingga dongeng dari luar negeri macam Sinbad.
Malahan kini dongeng makin dekat dengan pemirsanya seiring marak aplikasi di ponsel pintar.
Jika kamu mengetik kata 'dongeng' di penyedia aplikasi, ada ratusan aplikasi berisi dongeng, dari yang gratis hingga berbayar. Dari yang tampilannya sederhana hingga yang ceria dan penuh warna menarik.
Tantangannya memang bukan lagi tentang pengarsipan dongeng, melainkan cara pengemasan.
Dina Dyah Kusumayanti lewat “Peran Sastra Anak Terjemahan dalam Pengembangan Sastra Anak Indonesia: Upaya Revitalisasi Sastra Anak Indonesia”, menulis jika dibandingkan dengan sastra anak dari luar negeri, buku cerita bergambar Indonesia belum berani bereksperimen pada hal-hal artistik.
Selain itu, staf pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember yang menyelesaikan studi doktoral di jurusan Sastra Anak Universitas Gadjah Mada ini berpendapat tema yang dipakai pada cerita anak Indonesia masih seragam.
Beberapa malah dicurigai menjiplak cerita anak dari luar negeri. Namun, yang paling patut diberi catatan: pengemasan dongeng atau cerita anak Indonesia berupaya menjejalkan pesan moral kepada pembacanya.
“Cara mengemukakan pesan sering terkesan menggurui, terbuka, langsung, dan vulgar, yang membuat cerita cenderung membosankan," tulis Dina.
Editor: Fahri Salam