tirto.id - “Binatang besar itu berdiri seperti patung yang tak begitu kokoh. Kulitnya hitam legam di bawah sinar matahari. Dia terlihat apa adanya: seekor monster yang masih bertahan hidup dari masa lalu, sejak binatang-binatang buas berlari melawan kekuatan di luar diri mereka, sebelum akhirnya manusia tumbuh dengan otak liciknya dan tangan untuk menguasai mereka.”
Theodore Roosevelt, presiden Amerika Serikat ke-26, menulis sepenggal catatan itu sebagai deskripsi atas seekor badak raksasa yang ia temui di Afrika. Kumpulan pengalamannya terangkum dalam buku “African Game Trails: An Account of The African Wanderings of an American Hunter-Naturalist” yang ditulis pada 1910.
Badak itu tak hanya kebetulan melewati Roosevelt yang sedang mengikuti safari di Afrika bagian timur--yang saat itu masih dikuasai Inggris hingga ke Kongo pada 1909-1910. Berbekal senapan api laras panjang, Roosevelt membunuh badak itu.
“Peluru menembus kedua paru-parunya lalu masuk di antara leher dan bahu sebelum akhirnya mengoyak hatinya,” demikian tulisnya.
Ia mengambil foto sang binatang yang tengah meregang nyawa. Roosevelt berdiri di sampingnya sambil menenteng senapan. Sebuah pose standar bagi pemburu binatang di alam liar sebelum mereka memotong sebagian bagian tubuh binatang buruan, dibawa pulang, dan dijadikan trofi kemenangan untuk gantungan di dinding rumah.
Perburuan binatang liar masih dilakukan manusia hingga 100 tahun kemudian. Setiap tahun para pemburu dari wilayah Amerika Utara, Eropa, dan penjuru dunia liannya terbang ke Afrika untuk mengikuti turnamen berburu dengan hadiah besar, termasuk spesies yang terancam punah seperti singa dan gajah. Kurang lebih ada 9.000 pemburu trofi datang ke Afrika Selatan setiap tahunnya, demikian catatan Time.
Menurut catatan Pauline Albenda di Bulletin of the American Schools of Oriental Research, perburuan hewan liar sudah dilakukan umat manusia sejak era peradaban Asiria. Kerajaan ini tercatat sebagai salah satu peradaban tertua di dunia yang berjaya pada 2.500 SM. Mereka menempati wilayah Mesopotamia (sekarang Irak) yang subur dan masih dipadati oleh segala jenis binatang termasuk yang masih liar.
Perburuan di era Kerajaan Asiria didesain sedemikian rupa untuk hiburan sang raja yang menjadi pemburu maupun melihat aksi perburuan, demikian kata profesor sosiologi Michigan State University Linda Kalof kepada LiveScience. Perburuan hewan liar semacam ini panggung pertunjukan dominasi kekuasaan manusia atas makhluk lain yang ada di alam. Tujuannya bukan untuk mencari makan atau bertahan hidup.
Dalam konteks sosial-budaya, Kalof menambahkan, bahwa perburuan di Afrika oleh orang-orang kulit putih adalah bentuk hiburan mahal yang berakar pada ideologi patriarki dan kolonialisme. Para pemburu itu didominasi oleh laki-laki, dan praktiknya dilaksanakan saat mereka sukses menguasai wilayah koloni yang kini menjadi negara-negara merdeka di Afrika. Praktik itu kemudian menjadi semacam tradisi yang mengasyikkan, liburan yang terasa menantang.
Motivasi untuk mendominasi dan merasa berkuasa itu, kata Kalof, masih diteruskan hingga hari ini. Sehingga tak mengherankan aksi foto bersama hasil buruan maupun foto koleksi trofi adalah elemen paling penting yang kerap dipamerkan para pemburu ke khalayak termasuk di media sosial,
Salah satu pemburu yang memamerkan hasil buruannya namun segera terjebak pada kontroversi dan kecaman adalah Walter Palmer. Pada 2015, dokter gigi asal Minesota, AS, itu membunuh singa bernama Cicil yang tinggal di Taman Nasioal Hwange, Zimbabwe. Singa malang itu terkena anak panah yang dilepaskan Walter, dan mati.
- Baca juga: Lapak Hewan Langka di Dunia Maya
Warga dunia marah, namun Palmer berdalih tidak melakukan pelanggaran hukum. Ia mengaku telah membayar 50 ribu dolar AS atau sebesar Rp672,8 juta kepada Thoe Bronkhorst dan Honest Ndlovu, dua orang pemandu sekaligus penanggung jawab dalam wisata berburu. Menteri Lingkungan Zimbabwe, Oppah Muchinguri, mengungkapkan Palmer tidak bisa diadili karena semua dokumennya memenuhi syarat.
Dunia selalu terbagi antara mereka yang mendukung perburuan binatang liar karena sesuai aturan seperti yang dilakukan Palmer dan mereka yang menentang keras atas nama keseimbangan ekosistem. Debat terus menerus bergulir, para pemburu berdalih kegiatannya punya manfaat positif sebab hanya membunuh binatang yang berpotensi mengacaukan ekosistem lingkungan.
Alasan tersebut tentu saja tak bisa diterima oleh mereka yang kontra. Perburuan yang masuk akal bagi mereka adalah yang melibatkan hewan untuk keperluan mengisi perut dan bukan menyasar binatang yang sedang terancam populasinya. Mereka kemudian menuduh bahwa hobi para pemburu sesungguhnya hanya digerakkan oleh motivasi yang 'menyimpang': senang jika melihat binatang luka atau terbunuh. Benarkah demikian?
Phillip S.Kavanagh, psikolog dari University of South Australia, memperkenalkan teori “tiga serangkai kegelapan” dalam hasil riset yang dipublikasikan di Jurnal Personality and Individual Differences pada 2013. Teori tersebut menyinggung sifat-sifat yang dimiliki oleh orang-orang yang merasa gembira dengan melukai binatang, berarti termasuk para pemburu.
Sifat pokok pertama sesuai teori tersebut adalah narsisme atau kagum berlebih pada diri sendiri, egois atas atribut orang lain dan kurangnya rasa welas asih. Kedua, Machiavellianisme--yang berasal dari pemikiran filsuf Italia Niccolo Machiavelli alias idealisme seseorang yang suka menipu, licik, dan manipulatif. Ketiga, psikopati, yang menunjukkan kurangnya rasa empati dan suka bertindak impulsif dari orang yang bersangkutan.
Analisis serupa diberikan Judith C. Oleson, psikolog Metropolitan State College of Denver. Sebagaimana dikutip oleh Xanthe Mallet di The Conversation, kekejaman pada binatang dorongan rasa ingin mendominasi orang atau pihak lain. Hasil risetnya menunjukkan ada peningkatan rasa permusuhan sekaligus kebutuhan akan kekuasaan (kontrol) pada seseorang yang punya perilaku buruk pada binatang, khususnya dalam diri laki-laki.
Tentu saja hasrat ingin mendominasi ini membawa konsekuensi buruk, terutama ketika zaman memasuki era perdagangan gelap yang marak oleh penjualan bagian tubuh binatang langka. Populasi mereka kian menipis. Mereka kalah bersaing di alam dengan hukum rimbanya yang keras. Di sisi lain segolongan manusia masih ada yang memburu demi kepentingan materil.
Gajah Afrika Terancam Punah
Salah satu korban dari hasrat memburu adalah Gajah Afrika. Dalam catatan Serikat Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN), populasi gajah Afrika menurun sekitar 20 persen sepanjang 2006-2015 akibat maraknya perburuan gading. Pada 2006 populasinya mencapai 500.000, tapi pada pada 2016 jumlahnya hanya sekitar 415.000 ekor. Penurunan ini terus berlangsung dan semakin mengkhawatirkan, demikian menurut laporan yang diterima Antara.
"Maraknya perburuan gading gajah dimulai sekitar satu dasawarsa yang lalu sebagai pengalaman terburuk Afrika sejak era 1970-an hingga 1980-an masih akan terus menurunkan populasi," demikian pernyataan IUCN.
Gajah Hutan Afrika yang langka dan berperan penting menyeimbangkan ekosistem hutan hujan tropis Afrika Tengah memerlukan waktu sekitar seabad untuk pulih dari serangan pemburu gading, demikian hasil suatu kajian Masyarakat Konservasi Satwa Liar (WCS) yang berpusat di New York, AS.
Medan sulit hutan hujan tropis di kawasan tempat tinggal sang gajah tak membuat pemburu gentar. Aksi mereka telah mengurangi populasi Gajah Hutan ini hingga 65 persen dari 2012 sampai 2013.
Persoalannya isu ini tak hanya mengancam gajah maupun keseimbangan ekosistem di wilayah tempat tinggalnya, tapi juga merugikan warga Afrika. Menurut sebuah penelitian yang diunggah di Jurnal Nature Communications pada November tahun lalu, perburuan gajah untuk diambil gadingnya menyebabkan kerugian sekitar 25 juta dolar AS atau setara Rp326 miliar per tahun bagi sektor pariwisata Afrika. Namun di sisi lain, perburuan juga jadi sumber pendapatan bagi negara yang melegalkan perburuan.
Baca juga: Pundi-Pundi Uang Para Pemburu
Menurut hasil riset tersebut, populasi Gajah Afrika merosot sekitar 30 persen hanya dalam kurun waktu dari 2007 hingga 2014. Konservasi dan perlindungan gajah merupakan keputusan yang terbaik bagi investasi di negara-negara kawasan savana Afrika. Demi masa depan yang lebih baik, kebijakan tersebut mesti dilakukan, meski di sisi lain, ada kendala terkait pendanaan konservasi gajah.
"Kami menemukan kerugian ekonomi yang semestinya dapat menjadi keuntungan yang diperoleh dari gajah bagi pariwisata negara-negara Afrika sangat besar, dan jumlahnya melampaui biaya yang diperlukan untuk menghentikan penurunan populasi gajah di Afrika timur, selatan, dan barat,” demikian laporan AFP dan dikutip Antara.
Perburuan hewan di Afrika tak hanya terjadi secara ilegal dan memang harus diperangi. Namun, perburuan legal yang terjadi karena campur tangan pemerintah di beberapa negara Afrika juga mengambil peran memanjakan hasrat dari para orang yang haus kepuasan dengan membunuh hewan buruan.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Suhendra