tirto.id - Dari punggung bukit kawasan penyangga Taman Nasional Manusela, Nason Sapulete berdiri mengamati kawanan burung paruh bengkok yang hilir mudik di depannya. Pemandangan ini, lazim bagi Sony, sapaan karib mantan pemburu tersebut. Berselang 20 menit, awan lembab perlahan-lahan membungkus hutan Negeri Masihulan, Kecamatan Seram Utara, Kabupaten Maluku Tengah, di suatu sore awal Juli 2022.
Sony belum beranjak walaupun pandangannya ikut terhalang. Berjarak 2 Meter, terlihat menjulur kepala melewati pagar pembatas beranda home stay. Ternyata, ia menguping kicauan burung bersahutan dalam kabut pekat.
Kepada Tirto, sontak Sony menyebut jenis-jenis paruh bengkok: suara kicauan Percici Hijau, Kakatua Maluku, dan Percici Merah. Tebakan tak meleset. Tiba-tiba, 2 Percici Merah yang disebut terakhir mendarat sempurna pada ranting pohon Matoa Merah. Hanya berjarak 4 meter, dari tempat ia berdiri.”Itu pohon sarang Percici Merah,” jelasnya.
”Daging pohonnya lembut, biasa dijadikan sarang dan makanan bagi semua burung paruh bengkok.” Total 12 pohon yang direhablitasi oleh Sony, berjenis Matoa Merah, Male-Male, Ulisane dan Kenari.
Pohon jenis itu, sarang bagi burung paroh bengkok. Menjulang 40-70 meter dan diameter berkisar antara 30-50 centimeter. Masing-masing pohon, tercantum nama satwa. Berlokasi dalam lahan keluarga seluas 12 hektar, di perbukitan Morite–kawasan peyangga Taman Nasional Manusela.
Di lokasi itu pula dibangun 2 home stay. Dijadikan Ekowisata; pengamatan burung, sarang parrot, kupu-kupu dan pendidikan alam.
Awalnya, ide lelaki 52 tahun ini dianggap “gila”, diremehkan dan jadi bahan gunjingan. Ia tetap berkeras hati.”Melanjutkan observasi pola perilaku burung,” ceritanya.
Bagi Sony, jalan yang dipilih saat itu ialah jalan menebus keserakahan dan tamak terhadap alam di masa lalu.
Bertobat Setelah Keluar Terungku
Sebelumnya, Sony dan mantan para pemburu bekerja di Pusat Rehabilitasi Satwa atau PRS Masihulan, kini ditutup. Tapi ia tak fokus dan keluar setelah mengabdi selama 2003-2004.
Saat bersamaan, turis asing kerap kali datang amati si paruh bengkok. Kedatangan turis, tak lepas dari pendekatan Ekowisata Birdwatching, digagas Ceisar Riupassa, ketua Yayasan Wallacea Maluku. Tujuannya, mengalihkan mata pencarian para pemburu.
Meski telah mendapat fulus tambahan atas jasa mengantar tamu, sesekali Sony masih berburu.
Titik baliknya 2005, rasa bersalah bercampur aduk terus menghantuinya. Memuncak setelah keluar terungku Rumah Tahanan Negara Kelas II b Masohi, terkait kasus pembalakan di kawasan konservasi. 4 bulan, menjalani hukuman akhirnya Sony jerah.
Serentak pikirannya melompat balik mengenai tindak-tanduk di tahun 1980-an sampai 1999-an.
Sepanjang tahun itu, masif memburu burung paruh bengkok. Kepiawaian berburu, diturunkan oleh ayah dan almarhum kakaknya. Karena Keasyikan berburu, Sony akhirnya berhenti sekolah pada jenjang SMP.
Ditambah pengalaman di selama PRS, membuat Sony merasa lebih bersalah. Analogi baginya, burung yang terkurung dalam sangkar mirip dirinya sewaktu di bui. Maka timbul ide, membuat pengamatan burung liar.
“Di bui saja beta [saya] jenuh, apalagi burung yang terkurung menahun. Terkadang buluh burung rontok, tersisa hanya kulit,” kata Sony menjelaskan pengalamannya.
Seiring waktu ia rutin mengobservasi lahan keluarga, dimulai tahun 2015. Pertama-tama, mengamati sarang burung paruh bengkok. Setelah itu, menandai pohon yang biasa disinggahi.
Kala Jasa Sony Dipakai Peneliti asal Jerman
Sony menggebu-gebu kala peniliti asal Jerman, Mr Olaf Snayder meminta bantuannya memantau siklus burung paruh bengkok saat bertelur hingga menetas termasuk meniliti pola perilaku sehari-hari.
Berdasarkan pengamatan, kata Sony burung paruh bengkok keluar dari sarang untuk mencari pakan pada jam 6 pagi dan kembali jam 6 sore.
Makanannya buah durian, kelapa, ulat pohon, pisang, kulit kayu, kenari, manggis hutan dan bunga. Selain mengandalkan pakan alam, Sony juga menanam pohon pisang agar burung tak pergi jauh.
Untuk musim burung bertelur, awal Juni hingga akhir September. Dalam rentang itu, Kakatua Maluku cenderung meninggalkan telurnya dalam sarang. Berbeda dengan Nuri Bayan, bersiaga menunggu sampai telur menetas dan anaknya terbang.
Perbedaan lain, Nuri Bayan setia pada satu pohon sarang sementara Kakatua Maluku berpindah-pindah pohon membuat sarang baru.
Namun terkadang, satu pohon ditempati Kakatua Maluku, Nuri Bayan dan Betet sekaligus.”Apabila pohon sekitar hutan tak layak dijadikan sarang. Walau begitu, tiga satwa itu tetap rukun,” jelas Sony.
”Untuk satwa predator, salah satunya rengkong, pemakan telur Kakatua Maluku. Ukuran sarang yang besar sehingga mudah diterobos.”
Menurut Sony, diantara jenis burung baruh bengkok, Kakatua Maluku pintar dan bersih. Terlihat ketika membuat sarang, pohon dipilih harus tinggi dan ranting pohon lain tidak bisa mepet. Tujuannya, agar mudah memantau predator.
Dari kerja keras lelaki bergaya parlente ini, turis mancanegara sering mengunjungi tempatnya, meniliti atau sekedar foto burung. Bahkan dijadikan pendidikan alam bagi mahasiswa.
Meski begitu, duit hasil kerja kerasnya tidak dimikmati sendiri. Sony ikut berbagi.”Bila tamu datang, diarahkan ke lahan warga melihat burung sekaligus difoto. Sehari dibayar Rp 100 ribu,” ungkapnya.
Dukungan terhadap Sony, terus mengalir. Bantuan finansial dari Balai Taman Nasional Manusela dan Perusahan Listrik Negara. Dipakai membangun 2 unit Home Stay dan infrastruktur penunjang lainnya. Harapan terakhirnya, lokasi ekowisata dijadikan kawasan ekosistem essensial.
***
’Sebut saja katong (kita) penjahat,’ tegas Buce Makatita, nada suaranya melengking mengulang 3 kali kalimat tersebut.
Lelaki semampai itu, pemanjat dan pemburu ulung pada masanya. Ia leader dikala berburu. Pohon menjulang setinggi 30-40 meter, dipanjat. Terkadang tanpa menggunakan alat bantu.
Target utama perburuan, Kakatua Maluku dan Nuri Kepala Hitam. Seminggu di hutan bersama komplotannya, bisa 50 ekor burung terjerat. Tapi, kata Buce, mendapat burung sebanyak itu jika kawasan hutan baru pertama kali di jelajah.
Hutan Taman Nasional Manusela, medan perburuan si paruh bengkok. Populasi burung, tersebar di kawasan Ili. Lokasi berburu juga berpindah-pindah hingga Hulu Sungai Sapalewa dan Nua termasuk di Soulia, hutan Ibu Kota Kecamatan Seram Utara, Maluku Tengah.
Buce melakoni aktivitas sepanjang 1991-1996. Ia berhenti lantaran dorongan Stewart Metz dan Bonie Zemerna, yang sering datang di Masihulan, tempat Buce dan Sony bermukim untuk mengamati buruh paruh bengkok di kawasan konservasi. Melalui bule itu pula PRS Masihulan, didirikan.
Akibat kerusahan melanda Maluku 1999, turis pernah datang lagi.”Karena kesulitan keuangan, maka saya berburu lagi,” ujarnya.
Bucek mengatakan, setop total tahun 2003. Kemudian masuk mengabdi menjaga burung di PRS.”Kini melihat burung, seperti anak sendiri,” jelasnya.
Bersama para pemburu, Buce membangun pos pemantauan burung paruh bengkok di Negeri tersebut. Plafonnya, dibuat di atas pohon menjulang setinggi 40 meter, banyak digandrungi wisatan lokal maupun mancanegara.
Dulu Memburu, Kini Mengejar Pemburu
Buce kini, berstatus pegawai kontrak Balai Taman Nasional Manusela. Meski begitu, ia masih tergabung dalam mitra polisi kehutanan.
Selain Buce, ada juga Jimmy Souhaly dan David David Suakalune. Bertugas menjaga kawasan Taman Nasional Manusela dari para pemburu burung.
David bercerita, pernah mengejar seorang warga di kawasan karena kedapatan berburu burung Kakatua Maluku dan Nuri Kepala Hitam.
”Waktu itu saya, Om Buce, Sony dan Jemmy, sementara berpatroli dalam kawasan,” ujarnya. Tiba-tiba, melihat pemburu sementara menangkap burung di Ili, kawasan konservasi.
“Pemburu kita ditangkap dan 3 ekor burung langsung di lepas liar.”
Berbeda dengan Jimy, ia memilih berhenti berburu karena khawatir generasi berikut tak lagi melihat si paruh bengkok. Baginya, jika terus berburu populasi akan habis dan hanya menjadi cerita rakyat.”Bahwa di Masihulan dulu banyak burung Kakatua Maluku dan jenis burung lainnya,” katanya.
Setelah bergabung di Mitra Polisi Kehutanan, perlahan-perlahan Jimy mengerti betapa penting burung paruh bengkok untuk alam.
Olehnya itu, Jimmy berkomitmen menjaga polulasi burung paruh bengkok.”Saya menyampaikan ke generasi berikutnya jangan pernah berburu, tidak baik,” tandasnya.
Artikel ini merupakan kolaborasi antara Tirto.id, Jaring.id, Mongabay Indonesia, Mayung.id dan BandungBergerak.id dalam program Bela Satwa Project, diinisiasi Garda Animalia serta Auriga Nusantara.
Penulis: Muhammad Jaya
Editor: Adi Renaldi