tirto.id - Terlalu banyak jenis eksploitasi lingkungan yang berbenturan dengan keberlanjutan sumber daya alam.
Sekelompok pria mengarahkan moncong senjata api ke sudut bangunan berdinding putih kusam. Dor! Satu peluru berhasil menembus target buruan. Seekor bebek menggelepar sebelum akhirnya mati dan diangkut pemburunya.
Mobil 4x4 itu kembali melaju mencari target lain di sisi lahan seluas 30 hektar itu. Tak butuh waktu lama, peluru kedua sudah bersarang pada seekor kelinci yang sembunyi di balik semak. Malam itu mereka makan besar, daging bebek dan kelinci di bak mobil siap dimasak begitu sampai di penginapan.
Aktivitas berburu tadi adalah cuplikan rekam gambar dari salah satu paket wisata di Cikidang Hunting Resort. Resor di Jawab Barat ini mengiklankan diri sebagai satu-satunya lokasi wisata berburu di Indonesia sejak 2007. Selain berburu, laman resmi mereka juga mempromosikan adu bagong (adu babi hutan dengan anjing) sebagai atraksi hiburan.
Banyak pengunjung yang menjajal paket wisata di Cikidang datang dari Timur Tengah dan Australia. Mayoritas pengunjung lokal berasal dari Bandung dan Jakarta. Belakangan aktivitas berburu mulai dilirik sebagai potensi wisata oleh para pengusaha dan pemerintah daerah.
Keuntungan dari sektor ini cukup menjanjikan. Di Cikidang, hewan buruan kecil seperti kelinci, ayam, dan kalkun dihargai Rp300 ribu per ekor. Sementara kambing hutan harganya berkisar Rp800 ribu hingga Rp1,2 juta, dan babi hutan Rp1-2 juta.
Harga tersebut baru kompensasi untuk hewan buruan, alias belum termasuk sewa alat tembak dan transportasi. Cikidang Resert membanderol harga sewa senapan angin Rp50-100 ribu per jam dan panah Rp100 ribu per jam. Lalu untuk kendaraan, mereka mematok Rp200 ribu per jam untuk sewa ATV 250 cc dan mobil berburu 4x4 seharga Rp300 ribu per jam.
Ketika resor ini membuka wisata berburu, mereka menggunakan hewan liar sebagai target buruan. Tapi lantaran populasi makin berkurang, pemiliknya menambah jumlah buruan dengan hewan tangkapan atau hewan ternakan.
Selain di Cikidang, wisata berburu di Indonesia juga terdapat di Pulau Sangiang, Anyer, lalu Bengkulu, serta Jawa Barat di bentang Pangalengan, Ciwidey, Pameungpeuk, Ujunggenteng, hingga Sumedang. Rata-rata para pemburu datang atas undangan warga atau pemerintah daerah setempat untuk menanggulangi populasi babi hutan.
Penyiksaan terhadap Binatang
Berbekal bukti video dan berita aktivitas berburu di Cikidang, gabungan pecinta satwa dari organisasi FLIGHT: Protecting Indonesia's Birds, Animals Asia, Change for Animals dan Rainforest Rescue baru-baru ini melakukan protes penolakan. Mereka menggelar aksi di depan Kantor Bupati Sukabumi, Rabu, (30/10/2019).
Tuntutannya jelas: menutup wisata berburu di wilayah tersebut, khususnya di Cikidang. Direktur Eksekutif FLIGHT,Marison Guciano mengatakan, perburuan adalah bentuk eksploitasi dan penyiksaan terhadap hewan, alih-alih media berolahraga. Aktivitas menembak hewan dianggapnya sebagai penyiksaan karena membiarkan hewan merasakan sakit dalam waktu lama.
“Ini perilaku primitif dan penyaluran hobi bagi orang yang sering dan senang menyiksa hewan,” katanya kepada Tirto, Rabu (30/10/2019).
Fokus protes mereka bukan soal kelangkaan satwa tapi bentuk kekejaman terhadap hewan--yang jika dibiarkan bakal jadi lumrah dilakukan. Padahal sebagai makhluk berakal, manusia punya tanggung jawab membela hak dasar hewan sebagai makhluk hidup. Teori speciesisme (hak asasi binatang) dari Richard Ryder, seorang penulis dan psikolog dari Inggris, telah lama menentang objektifikasi binatang.
Ryder percaya bahwa binatang punya hak menolak rasa sakit. Tak semestinya binatang dipandang hanya sebagai properti pemuas kebutuhan manusia, seperti dijadikan makanan, pakaian, subjek penelitian, hiburan, atau dicap mengerikan atau dikesampingkan hak hidupnya. Sebab, secara alamiah, hewan dan manusia saling membutuhkan untuk menjaga keseimbangan alam.
“Apalagi, di area Cikidang, hewan dilepas dalam area terbatas dan tertutup sehingga mereka tak punya cukup ruang untuk lari dan sembunyi,” kata Marison.
Hanya saja, di Indonesia perburuan binatang memang tidak dilarang. Malah aktivitasnya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru. Intinya, perburuan boleh dilakukan selama hanya menargetkan satwa yang tidak dilindungi. Tapi aturan itu tidak menyebutkan jenis-jenis satwa yang termasuk kategori dilindungi.
Secara umum penyiksaan terhadap hewan dapat dikenakan sanksi oleh Pasal 302 KUHP. Penganiayaan yang membikin hewan sakit lebih dari seminggu, cacat, luka berat, atau mati diancam pidana penjara paling lama sembilan bulan. Namun, selama ini kebanyakan kasus penganiayaan hewan justru menguap begitu saja tanpa ada sanksi hukum tegas.
Wisata Berburu di Dunia
Tak cuma di Indonesia aktivitas berburu menuai kontroversi. Di berbagai belahan dunia, kegiatan ini telah menyumbang kepunahan. Perburuan juga memaksa masyarakat adat bermigrasi, seperti yang terjadi di Taman Nasional Nechasar di Ethiopia Selatan (2005). Sebanyak 500 orang dipaksa pindah karena area tersebut dijadikan wilayah wisata buru.
Tapi di lain sisi wisata buru menambang banyak devisa. Afrika didatangi lebih dari 18,5 ribu pemburu dari Amerika dan Eropa setiap tahun (2007). Lebih dari setengah negara Afrika Sub-Sahara secara resmi mengizinkan kegiatan berburu sebagai aktivitas berolahraga. Bahkan mereka menyelenggarakan kontes berburu tiap tahun.
“Per tahun wisata berburu menyumbang pendapatan kotor mencapai USD201 juta,” lapor studi Akito Yasuda (2012) di Kamerun.
Kegiatan berburu oleh wisatawan juga membuka sekitar enam ribu lapangan kerja di Afrika Selatan, empat ribu di Tanzania, dua ribu di Namibia, dan seribu lapangan kerja di Botswana. Keempat wilayah itu merupakan daerah dengan jumlah pemburu terbesar di dunia. Berkat wisata berburu, lapangan kerja di sana mengalami peningkatan mencapai 250 persen dengan pendapatan rata-rata lebih dari 450 persen.
“Pemburu datang berkelompok, dan pasti menginap dalam waktu lama, itu potensial sekali untuk sektor wisata.”
Selain mendapat keuntungan ekonomi, wisata berburu ikut menyumbang kegiatan konservasi dan pengelolaan sumber daya. Jumlahnya pun tidak sedikit, sebuah proyek pengelolaan area sumber daya adat di Zimbabwe mendapat 86 persen pendanaan dari aktivitas berburu. Lantaran upah ganti rugi yang tidak kecil inilah pelarangan berburu hewan di dunia masih maju mundur.
Pada akhirnya negara-negara tersebut mengeluarkan win-win solution dengan memastikan konservasi ekologis lewat aturan berburu yang ketat: pemburu harus memiliki sertifikat buru, tidak menggunakan racun, hewan pelacak, atau alat pemancing hewan, dan tidak boleh berburu satwa langka.
Editor: Windu Jusuf