tirto.id - Berbekal bukti rekam gambar dan gerak, Asoka Remadja mendatangi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk melakukan pelaporan. Ruang penyimpanan gajetnya dipenuhi gambar-gambar hiu tengah dicincang dengan ukuran beraneka ragam di sebuah tempat pelelangan ikan.
Namun, ia pulang dengan rasa kecewa. KKP menyebut pelelangan ikan di Tanjung Luar, Lombok Timur tersebut sebagai contoh tempat perdagangan hiu yang sehat. Tanjung Luar dianggap sebagai contoh pelelangan sehat karena menjual semua bagian tubuh hiu. Lazimnya, perdagangan hiu memang hanya memotong sirip sebagai komoditas bisnis, sementara bagian tubuh lainnya dibuang ke laut dan dibiarkan mati perlahan.
Singkatnya, niat Asoka sia-sia, terbentur regulasi yang tidak mencantumkan jenis hiu laporannya sebagai yang patut dilindugi.
“Sedih, kecewa, syok, kalau regulasinya begini terus, lama-lama kita enggak bisa liat hiu lagi di lautan,” kata pelancong yang punya 45 ribu pengikut ini.
Ia lalu memilih mencurahkan unek-unek di catatan cerita Instagram sembari mengajak pengikut akunnya untuk tidak mengonsumsi segala jenis produk berbahan dasar hiu.
“Mengubah aturan butuh waktu yang lama. We have to break the cycle, jangan makan hiu!”
Indonesia memang sudah meratifikasi Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) melalui Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1978. CITES merupakan konvensi antar-negara terhadap perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar spesies terancam. Namun, aturan ini hanya mendaftarkan 12 jenis hiu dalam daftar Appendix 1, 2, dan 3.
Selain masih memiliki celah karena tak ada undang-undang khusus yang mengatur jenis eksploitasi hiu berdasarkan ratifikasi, dalam regulasi tersebut juga masih banyak jenis hiu yang tak tercakup. Saat dirumuskan, CITES tak murni berlandaskan pada semangat mengkonservasi dan sarat kepentingan ekonomi.
“Kita belum spesifik melihat satu per satu jenis [hiu]. Sekarang kesadaran nelayan makin bagus, tapi memang tidak semua masuk CITES, ada hiu yang masih boleh ditangkap,” ujar Susi Pudjiastuti, Menteri KKP kepada Tirto saat diminta merespons persoalan tersebut.
CITES dan Kepentingan Negara-Negara Konvensi
Maret 2010, sebanyak 175 negara dari seluruh dunia berkumpul mengesahkan CITES. Mereka memastikan perdagangan internasional pada hewan dan tumbuhan liar, atau produk dengan bahan tersebut tidak mengancam kelangsungan hidup spesies. Sekitar lima ribu spesies hewan dan 28 ribu tanaman mendapat langkah perlindungan dari hasil pertemuan ini.
Namun, proses pengambilan keputusan dalam pertemuan itu politis dan sarat kepentingan bisnis dibanding fokus pada konservasi. Banyak negara dengan kepentingan bisnis menggunakan data ilmiah guna mendukung posisi mereka. Di saat yang sama mereka menolak validitas data ilmiah lain ketika dianggap merugikan. Perdebatan sengit tak terelakkan, BBC melaporkan situasi konferensi serupa ajang debat di parlemen.
“Gangguan terhadap hak kedaulatan nasional, tradisi/budaya, ketidaktahuan serta kemiskinan dijadikan tameng menolak konservasi spesies,” tulis wartawan BBC, Mark Jones.
Jepang, misalnya, mengirim delegasi dalam jumlah besar, yakni 50 orang guna menolak konservasi tuna sirip biru (bluefin). Di negara tersebut, spesies ini dijadikan sushi mewah berharga mahal. Mereka berlindung di balik klaim budaya dan tradisi. Sementara itu, delegasi Zambia menggunakan alasan kemiskinan untuk mendapatkan izin perdagangan gading gajah. Membatasi perdagangan spesies tertentu artinya membikin populasi masyarakat miskin semakin bertambah.
Inggris Raya sempat mendapat teguran dari mitra mereka di Uni Eropa karena mendukung perlindungan tuna sirip biru, sementara 27 suara lainnya mendukung Jepang. Akhirnya, upaya mendapatkan daftar CITES pada beberapa spesies gagal mendapat perlindungan. Padahal, 90 persen hewan terancam punah berakhir di daratan di Jepang dan Cina.
Sebanyak 80 persen tuna sirip biru Atlantik menjadi bahan baku sushi di restoran Jepang. Sebagian besar perburuan hiu di perairan internasional dipasok untuk kelas menengah di Asia Timur, terutama Cina dan Hongkong. Karang merah dan karang merah muda menuju kelangkaan lantaran jadi bahan baku perhiasan dan pernak-pernik.
“Kesepakatan dalam CITES sulit dicapai ketika berurusan dengan spesies bernilai tinggi,” demikian Jones menyimpulkan.
Sektor Wisata yang Mengeksploitasi Hiu
Di Indonesia, selain dikonsumsi, hiu juga menjadi wahana dieksploitasi sebagai atraksi. Penggunaan hiu untuk wisata misalnya ada di Pulau Pramuka (Kepulauan Seribu) dan Karimun Jawa. Dua tempat tersebut pernah menarik wisata dengan paket 'berenang bersama hiu', tapi bukan di alam bebas. Hiu ditempatkan dalam kolam atau keramba-keramba khusus. Wisatawan memberi makan, berfoto, berenang, bahkan memegang hiu-hiu tersebut.
Dwi Arianto, Manajer Operasional Wisata Hiu di Pulau Pramuka, bercerita bahwa wisata hiu miliknya pernah dijadikan lokasi syuting program Si Bolang. Delapan tahun lalu, Dwi membeli 12 hiu kecil dari nelayan seharga Rp75 ribu. Jumlah tersebut kini bertahan hanya sampai tiga ekor. Sisanya sebanyak 22 ekor hiu kecil di kolam milik Dwi adalah hiu yang baru ia beli awal tahun lalu, seharga Rp300 ribu.
Hiu-hiu yang menjadi hewan atraksi itu pun tak diberi makan secara reguler. “Kita kasih makan tidak bisa rutin intensitasnya, kalau lagi ada sehari bisa dua kali, tapi kalau kosong bisa dua atau tiga hari sekali. Rata-rata 30 kg ikan buat 25 hiu per minggu," kata Dwi.
Tanpa Dijual, Hiu Bisa Membawa Dampak Ekonomi
Lain Pulau Pramuka, lain pula di Pulau Jaam, Raja Ampat. Andi Dharmawan, mantan pemburu hiu di kawasan itu, bercerita kepada saya tentang Pulau Jaam yang tadinya merupakan tempat pembantaian hiu. Kini, pulau ini menjadi kawasan konservasi.
Hiu-hiu kecil nampak jelas terlihat di pinggiran pantai Raja Ampat, termasuk Pulau Jaam. Hanya dengan ketinggian air sepaha orang dewasa, hiu-hiu anak sebesar telapak tangan berenang berkelompok. Bila mujur, para penyelam bisa menemui hiu hanya dalam jarak kedalaman 30-an meter. Hiu-hiu ini pun menjadi daya tarik wisata.
“Baru setelah ada Peraturan Daerah (Perda) pelarangan, bisa melihat yang seperti ini, dulu hiu dieksploitasi habis-habisan,” ungkap Andi.
Purwanto, peneliti kemaritiman dari The Nature Conservancy (TNC) menyebut Kabupaten Raja Ampat menjadi satu-satunya wilayah yang menetapkan diri sebagai kawasan pelindungan hiu dan pari manta. Pemerintahnya mengeluarkan Perda Nomor 9 Tahun 2012 dengan sanksi pidana enam bulan atau denda Rp50 juta bagi pemburu yang nekat menangkap hiu jenis apapun, di kawasan Raja Ampat. Raja Ampat memilih menjadikan lautnya sebagai potensi pariwisata hiu dibanding mengeruk celah keuntungan dari perdagangan.
“Banyak penyelam menempatkan hiu dan pari manta di urutan pertama hiburan paling menarik, lebih tinggi dari pemandangan terumbu karang atau penyu,” kata Purwanto.
Pelindungan hiu jauh menguntungkan bagi ekonomi warga setempat ketimbang diburu dan dijual. Fakta ini dipaparkan penelitian Johanna Sophie Zimmerhackel, dkk berjudul "How Shark Vonservation in the Maldives Affects Demand for Dive Tourism" pada Juni 2018. Pelarangan perburuan segala jenis hiu di Maldives meningkatkan wisata menyelam sebesar 15 persen.
“Aturan itu meningkatkan manfaat ekonomi lebih dari $6 juta per tahun hanya dari industri wisata selam lokal,” tulis peneliti.
Sebaliknya, wilayah dengan penurunan populasi hiu, permintaan wisata menyelamnya juga turun hingga 56 persen. Kerusakan pada ekosistem laut akibat menghilangnya hiu dari rantai makanan membikin kerugian ekonomi lebih $24 juta per tahun hanya dari industri wisata selam. Langkah yang dilakukan Raja Ampat, menurut Dwi Ariyogagautama, Koordinator Konservasi Bycatch dan Hiu dari WWF Indonesia bisa dijadikan strategi menambal celah perlindungan hiu di Indonesia.
“Tapi harus dibarengi pembatasan kuota wisatawan dan perbaikan ekosistem, bukan malah eksploitasi wisata tak bertanggung jawab,” ujar Yoga kepada Tirto.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani