tirto.id - Yahya Cholil Staquf resmi menjadi nakhoda baru Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 2021-2026 usai mendapat 337 suara dalam Muktamar ke-34 NU di Lampung. Pria yang akrab disapa Gus Yahya ini unggul dari calon petahana Said Aqil Siradj yang mendapat 210 suara.
Usai pemungutan suara, Said Aqil berharap Gus Yahya bisa membawa NU menjadi lebih baik. Ia pun mengajak semua pihak untuk melupakan konflik masa lalu dan bergandengan tangan demi NU masa depan.
“Mari kita bergandengan tangan untuk membesarkan Nahdlatul Ulama," kata Said Aqil, di Lampung, Jumat (24/12/2021).
Said Aqil pun mengaku bersyukur muktamar berjalan lancar meski sempat memanas. “Saya tetap akan menyebarkan Islam yang moderat dan toleran. Jadi pengurus atau tidak itu sudah menjadi prinsip saya dan akan dilakukan semampunya,” kata dia.
Pemerintah lewat Kantor Staf Kepresidenan (KSP) merespons positif pemilihan Gus Yahya. Tenaga Ahli KSP Rumadi Akhmad menegaskan pemerintah tidak asing dengan sepak terjang Gus Yahya.
Sebagai catatan, Gus Yahya merupakan anggota Wantimpres 2018-2019 pada periode pertama pemerintahan Jokowi serta kakak kandung Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Gus Yahya merupakan putra dari KH Muhammad Cholil Bisri, salah satu pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
“Beliau pernah menjadi wantimpres. Tentunya pemerintah sangat senang dengan terpilihnya Gus Yahya ini," ujar Rumadi dalam keterangan tertulis, Jumat (24/12/2021).
KSP berharap NU bisa menjaga khittah organisasi dengan menjaga keislaman dan Indonesia. Ia pun berharap NU bisa terus mendukung agenda pemerintah tidak hanya soal menjaga NKRI dan menyejahterakan masyarakat, tetapi juga memperkuat pilar moderasi beragama.
"NU organisasi yang suportif terhadap pemerintah sejauh kebijakan pemerintah sejalan dengan prinsip-prinsip NU," tutur Rumadi.
Peneliti politik Islam dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati memandang PBNU akan berubah di era Gus Yahya. Ia baralasan, PBNU akan kembali sebagai organisasi masyarakat sipil yang jauh dari politik praktis.
Hal tersebut mengacu kepada pernyataan Gus Yahya sebelum terpilih sebagai Ketua Umum PBNU. Dalam wawancara khusus dengan Tirto, 8 November 2021, ia menegaskan NU harus berhenti menjadi pihak yang berkompetisi dalam politik praktis.
“Biar kami bisa menjadi jembatan di antara perbedaan,” katanya. Karena itu pula Gus Yahya tegas menyatakan tidak akan mencalonkan diri baik sebagai calon presiden atau wakil presiden. Dia juga mengatakan siapa pun yang hendak maju, “sebaiknya jangan ikut PBNU.”
Artinya, PBNU di bawah komando Gus Yahya tidak akan bermain dalam politik praktis, khususnya penentuan capres dan cawapres pada Pilpres 2024. Hal ini sangat berbeda dengan situasi Pilpres 2019 saat KH Ma’ruf Amin selaku Rois Aam PBNU justru dipinang jadi cawapres.
“Semangat NU nantinya lebih pada penguatan umat daripada mengharap akomodasi politik negara karena itu yang justru membuat rivalitas internal kader NU untuk maju sebagai kandidat politik demi menjaga zona nyaman tersebut,” kata Wasisto kepada reporter Tirto, Jumat (24/12/2021).
Namun demikian, Wasisto menilai, PBNU di bawah Gus Yahya tetap akan mendukung pemerintah meski kembali ke khittah sebagai ormas. Ia beralasan, Gus Yahya justru akan menggencarkan konsep moderasi beragama sebagai salah satu bagian semangat pribumisasi Islam Nusantara di ruang publik.
Saat ini, kata Wasisto, konsep Islam Nusantara yang digagas NU masih belum sepenuhnya dipahami publik. Oleh karena itu, NU yang kini sudah mendapat fasilitas negara akan bergerak kembali ke asal mereka.
“Saya pikir NU secara organisasi sudah cukup banyak mendapatkan fasilitasi negara. Maka saatnya mereka kembali pada marwahnya sebagai ormas yang pro moderasi agama," kata Wasisto.
Wasisto menambahkan, “Reorientasi ini bagian dari upaya untuk mengembalikan lagi semangat toleransi dan pluralisme warisan Gus Dur yang tampaknya luntur seiring dengan intensnya NU merapat ke negara.”
Wasisto pun melihat banyak dampak positif ketika PBNU kembali ke khittah. Ia beralasan, akar NU akan kembali tumbuh dan berkembang di masyarakat, apalagi upaya religiusitas yang bermain dengan konsep intoleransi semakin kuat.
Akan tetapi, kata dia, akan ada efek negatif bagi pemerintah. “Dampak negatif dari reorientasi bagi pemerintah ini mungkin adalah berkurangnya ‘klaim politik’ dari pemerintah karena merasa didukung oleh umat Islam melalui NU karena selama ini dengan menggunakan tameng NU, polarisasi politik bisa diakomodasi secara simbolik,” kata Wasisto.
Bagaimana Nasib Suara Parpol?
Dosen Komunikasi Politik Universitas Telkom Dedi Kurnia Syah menilai perubahan kepemimpinan PBNU tidak akan berpengaruh banyak pada suara parpol yang selama ini dekat dengan NU, seperti PPP dan PKB. Sebab, kata Dedi, Gus Yahya dekat dengan pemerintah sehingga berkorelasi dengan partai koalisi, termasuk PPP maupun PKB.
“Hanya saja, Yahya Staquf tidak terlihat dekat secara langsung, berbeda dengan Said Aqil, justru relasi politik Yahya Staquf cenderung ke parpol non-afiliasi Islam, semisal Golkar. Dengan kondisi itu, PBNU akan lebih terbuka terhadap kemungkinan politik, tidak lagi tendensius pada PKB atau PPP,” kata Dedi.
Dedi menilai, suara nahdliyin tetap akan jadi rebutan parpol, terutama PKB dan PPP yang selama ini punya kedekatan historis dengan NU. Akan tetapi, kehadiran Gus Yahya akan memberikan tantangan tersendiri bagi PKB dan PPP dalam memperoleh suara secara signifikan pada Pemilu 2024.
“Jika Yahya Staquf konsisten, akan ada perubahan mendasar, yakni PBNU tidak akan terbawa arus, ini artinya PKB maupun PPP akan lebih sulit mendapat akomodasi suara dari NU, termasuk bargaining power pada koalisi dominan," kata Dedi.
“Tetapi, dalam politik bisa saja berubah drastis, sebagaimana kecenderungan Gus Yahya pada parpol nasionalis, memungkinkan justru PKB dan PPP akan tetap menjadi anggota koalisi, bukan pembentuk koalisi baru,” kata Dedi.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno mengatakan tidak sedikit partai politik ingin mengambil basis suara NU, salah satunya adalah PPP. Namun Adi mengingatkan, NU tetap akan menjadi basis suara PKB dan akan tetap mempunyai wajah politik praktis.
Adi beralasan, PKB lahir sebagai wadah aspirasi para nahdliyin. Oleh karena itu, sulit menghilangkan wajah politik NU dari PKB. Di sisi lain, kata dia, NU dan PKB sudah saling bersimbiosis mutualisme karena banyak kader NU menjadi pengurus di PKB, sementara PKB mengeruk suara para nahdliyin.
“Menghilangkan dominasi wajah NU di PKB agak sulit kecuali ada terobosan baru dari Gus Yahya bahwa ya komposisi kepengurusannya kalau pun ada pengurus partai, ya harus proporsional dari partai manapun juga diakomodasi, tidak menimbulkan kecemburuan sosial,” kata Adi kepada reporter Tirto, Jumat (24/12/2021).
Dosen politik UIN Syarif Hidayatullah ini pun menilai, publik menantikan upaya Gus Yahya dalam memenuhi janji bahwa NU tidak akan bermain politik praktis. Ia yakin, publik akan menyambut positif aksi Gus Yahya bila berhasil mengembalikan NU keluar dari politik praktis. Namun tantangan tersulit, kata Adi, adalah banyak pengurus NU yang menjadi pengurus partai.
Adi juga mengingatkan dunia politik tidak bisa diredam dengan mudah. Tidak sedikit orang mudah tergiur oleh kekuasaan politik. Oleh karena itu, ia khawatir justru Gus Yahya hanya setengah hati dengan rencana mengembalikan NU ke khittah bila hanya melarang pengurus PBNU di pilpres, tetapi membolehkan ikut pilkada maupun pileg.
“Kalau mau kembali ke khittah sesungguhnya mestinya harus diharapkan kader-kader dan pengurus, terutama pengurus NU itu tidak boleh mencalonkan diri sebagai kandidat pejabat publik, baru itu kembali ke khittah," kata Adi.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz