Menuju konten utama
Gearbox

Merger Honda-Nissan: Layar Terkembang, tapi Angin Tak Sejalan

Honda dan Nissan batal melakukan merger. Di sisi lain, pihak Nissan tetap membutuhkan sokongan dari pihak lain. Lalu, apa langkah mereka berikutnya?

Merger Honda-Nissan: Layar Terkembang, tapi Angin Tak Sejalan
Ilustrasi failed merger. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Dalam langkah yang tidak mengejutkan banyak pihak tetapi tetap mengecewakan, Nissan secara resmi mundur dari pembicaraan merger dengan Honda. Diskusi, yang bisa saja menciptakan produsen mobil terbesar keempat di dunia, tersebut menemui jalan buntu ketika Honda mengusulkan untuk menjadikan Nissan sebagai anak perusahaan.

Usulan itu ditolak mentah-mentah oleh Nissan, sebuah perusahaan yang masih berjuang dengan identitas dan otonominya setelah tahun-tahun penuh gejolak dalam Aliansi Renault-Nissan-Mitsubishi dan skandal yang melibatkan mantan CEO Carlos Ghosn.

Bagi Nissan, menjadi anak perusahaan berarti menyerahkan independensinya dan, mengingat apa yang terjadi pada mereka beberapa tahun belakangan, itu tidak bisa diterima.

Penolakan Nissan juga berakar pada kebanggaan dan budaya korporat yang kuat. Perusahaan ini memiliki sejarah panjang, warisan yang kaya, dan keinginan untuk mengembalikan kejayaan tanpa berada di bawah bayang-bayang produsen mobil Jepang lainnya.

Proposal dari Honda, meskipun masuk akal dari sudut pandang bisnis, dianggap oleh Nissan sebagai penghinaan terhadap status dan ambisinya.

Masalah Fundamental Industri Otomotif Jepang

Isu merger yang akhirnya batal itu berakar dari permasalahan fundamental yang dialami industri otomotif Jepang secara keseluruhan.

Pada dekade 1990-an, produsen mobil Jepang sebenarnya sudah cukup giat mengembangkan teknologi kendaraan listrik (electric vehicle/EV). Honda, misalnya, merilis Honda EV Plus pada 1991, salah satu kendaraan listrik pertama dari produsen besar. Sementara itu, Prius dari Toyota memimpin revolusi mobil hibrida.

Namun, di suatu titik, Jepang kehilangan momentumnya. Sementara perusahaan seperti Tesla dan BYD melesat maju, produsen mobil Jepang jalan di tempat, bahkan terkesan "alergi" terhadap EV.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan pabrikan mobil Jepang jalan di tempat ketika kita bicara soal EV.

Pertama, raksasa otomotif Jepang telah banyak berinvestasi dalam teknologi hibrida dan mesin pembakaran internal tradisional. Hal itu membuat mereka terkesan enggan beralih sepenuhnya ke EV.

Kedua, peran elemen budaya, yakni kecenderungan pada perfeksionisme dan inovasi bertahap daripada perubahan yang disruptif. Pendekatan hati-hati ini membuat mereka tertinggal di pasar EV yang bergerak cepat. Dalam iklim saat ini, adaptasi dan pengembangan yang cergas adalah kunci.

Soal keengganan pabrikan Jepang, terutama Toyota, dalam beralih ke EV sepenuhnya tergambar dalam konsep bernama Aturan 1:6:90. Aturan ini menyatakan, bahan mentah yang dibutuhkan untuk membuat satu kendaraan listrik baterai (BEV) dapat digunakan untuk membuat enam plug-in hybrid atau sembilan puluh hybrid standar.

Toyota menggunakan Aturan 1:6:90 sebagai landasan argumen bahwa mobil hibrida lebih baik untuk lingkungan daripada EV. Pendekatan ini sebenarnya menekankan pentingnya efisiensi dalam penggunaan sumber daya. Namun, hal itu bisa juga diartikan sebagai keengganan untuk sepenuhnya berkomitmen pada transisi EV.

Sekarang, produsen mobil Jepang berada di bawah ancaman signifikan dari produsen EV Tiongkok. Perusahaan kompetitornya bahkan tidak hanya menyaingi, tetapi mendominasi pasar-pasar kunci. BYD, misalnya, telah melampaui Tesla dalam penjualan EV global, sekaligus menjadi produsen EV terbesar di dunia.

Kemampuan BYD untuk memproduksi kendaraan listrik yang terjangkau dan berkualitas tinggi dalam skala besar telah membuat mereka menjadi kekuatan tangguh, terutama di pasar negara berkembang yang mementingkan biaya dan efisiensi.

Dominasi BYD adalah bukti bahwa kecepatan dan kemampuan beradaptasi amat dibutuhkan dalam industri otomotif modern; kualitas yang sulit ditunjukkan oleh produsen mobil Jepang.

Mengapa Honda Tidak Menganggap Nissan Setara?

Proposal Honda untuk menjadikan Nissan sebagai anak perusahaan bukan hanya keputusan bisnis. Ini mencerminkan dinamika yang berubah antara kedua perusahaan.

Dulu keduanya memang setara. Namun, berbagai problem yang dialami Nissan selama satu dekade terakhir mengubah segalanya. Masalah keuangan, penurunan penjualan, dan kapitalisasi pasar yang menyusut—sekarang lima kali lebih kecil dari Honda—berkontribusi pada pergeseran ini.

Sebagai gambaran, kapitalisasi pasar Honda kini berada di sekitar 58 miliar dolar AS, sementara Nissan hanya 12 miliar dolar AS. Jelas ada disparitas serius di antara keduanya.

Honda berhasil mempertahankan pertumbuhan yang stabil, fokus pada inovasi, dan menjaga kehadiran global yang kuat. Sebaliknya, Nissan terjerat dalam skandal dan salah urus, terutama skandal Carlos Ghosn.

Ilustrasi failed merger

Ilustrasi failed merger. FOTO/iStockphoto

Skandal Ghosn adalah titik balik utama bagi Nissan. Ghosn, yang berjasa menyelamatkan Nissan dari kebangkrutan pada awal 2000-an, ditangkap pada tahun 2018 atas tuduhan penyelewengan keuangan. Dia didakwa memberikan laporan penghasilan palsu dan menyalahgunakan aset perusahaan.

Pelarian Ghosn yang dramatis dari Jepang pada 2019 makin merusak reputasi Nissan. Dampaknya adalah kekacauan internal, kepemimpinan yang lemah, dan hilangnya kepercayaan investor. Ketidakstabilan ini membuat Nissan sulit untuk kembali berdiri dan bersaing secara setara dengan perusahaan seperti Honda.

Bagaimana Masa Depan Nissan?

Dengan merger yang gagal, Nissan menghadapi masa depan yang tidak pasti. Masalah masih menggelayut, terutama dalam hal menurunnya pangsa pasar dan keuangan yang tidak stabil. Dalam rencana merger itu, bisa dibilang, Nissan-lah yang sebenarnya jauh lebih membutuhkan ketimbang Honda. Batalnya merger pun lantas menempatkan Nissan dalam posisi genting.

Meski begitu, bukan berarti kiamat bakal datang begitu saja bagi Nissan. Salah satu harapan datang dari Foxconn, produsen elektronik kontrak terbesar di dunia dan perakit utama iPhone Apple.

Foxconn telah menyatakan minatnya untuk berkolaborasi dengan Nissan dengan fokus pada pengembangan kendaraan listrik. Produsen peranti elektronik itu pun menegaskan hanya berminat melakukan kerja sama, bukan mengakuisisi.

Foxconn jelas berpengalaman dalam produksi komponen elektronik dan manajemen rantai pasokan yang krusial dalam proses manufaktur EV. Dengan begitu, kolaborasi tersebut bisa mempercepat transisi Nissan ke kendaraan listrik.

Poin menarik lainnya, Foxconn adalah perusahaan Taiwan yang, tentu saja, punya ambisi politis tersendiri untuk mengalahkan Tiongkok.

Meski demikian, perlu dicatat bahwa ini baru sebatas wacana. Seberapa efektif aliansi ini akan berjalan pun masih harus dipantau lagi.

Harapan untuk Industri Otomotif Jepang?

Untuk saat ini, jelas situasinya tidak bisa dibilang baik untuk industri otomotif Jepang. Tampak sekali adanya fragmentasi dan keengganan untuk melakukan konsolidasi, bahkan di tengah persaingan global yang makin ketat.

Secara tradisional, pabrikan-pabrikan Jepang berkembang dengan kemandirian dan inovasi internal. Akan tetapi, lanskap otomotif modern menuntut lebih banyak kolaborasi dan kemauan beradaptasi.

Tanpa perubahan signifikan, industri otomotif Jepang berisiko makin tertinggal dalam perlombaan EV global. Diperlukan strategi baru, keberanian berinvestasi dalam teknologi baru, dan (bahkan) kesediaan untuk berkorban, demi kepentingan yang lebih luas. Tanpa itu semua, bisa jadi kita sedang menyaksikan awal dari sebuah akhir bagi industri otomotif Jepang.

Namun, harapan belum sepenuhnya sirna. Jika kerja sama antara Foxconn dan Nissan terwujud dengan baik, ini bisa menjadi game changer, baik bagi Nissan maupun industri otomotif Jepang secara keseluruhan.

Keahlian Foxconn dalam bidang elektronik dan produksi skala besar, dikombinasikan dengan warisan otomotif Nissan, bisa menghasilkan solusi EV inovatif yang membantu produsen mobil Jepang mendapatkan kembali keunggulan kompetitifnya.

Kemitraan ini juga bisa menjadi contoh bagi perusahaan Jepang lainnya untuk makin berani melakukan kolaborasi eksternal, termasuk dengan perusahaan luar negeri. Bisa jadi, itu adalah satu-satunya jalan bagi mereka, mengingat betapa tertinggalnya pabrikan Jepang dalam urusan EV. Akan sangat menarik untuk melihat bagaimana respons pabrikan-pabrikan seperti Toyota, Honda, dan Mitsubishi terhadap wacana kolaborasi Foxconn-Nissan ini.

Baca juga artikel terkait OTOMOTIF atau tulisan lainnya dari Yoga Cholandha

tirto.id - Otomotif
Kontributor: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadli Nasrudin