Menuju konten utama

Mendelegitimasi Penyelenggara Pemilu Memang Strategi Oposisi

Rumusnya sama: oposisi yang lebih sering kritik kinerja KPU ketimbang partai penguasa. PDIP, misalnya, melakukan itu pada 2009 dan 2014.

Mendelegitimasi Penyelenggara Pemilu Memang Strategi Oposisi
Ketua KPU Arief Budiman (tengah) memeriksa kertas surat suara Pemilihan Umum 2019 yang akan ditandatangani di Ruang Sidang KPU, Jakarta, Jumat (4/1/2019). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto menyimpulkan saat ini tengah ada upaya sistematis mendelegitimasi Komisi Pemilihan Umum. Tujuannya agar masyarakat tidak percaya dengan lembaga penyelenggara pemilu itu.

Indikasinya banyak, kata Hasto, terutama ketika ada tuduhan soal tujuh kontainer berisi 70 juta surat suara yang telah tercoblos untuk pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Tuduhan ini, seperti kita tahu, ternyata hoaks.

Bagi Hasto, hal-hal seperti itu tak mungkin terjadi di era Joko Widodo.

"Menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan politik dengan memasukkan opini pemilu sepertinya curang, padahal pak Jokowi kepemimpinannya sangat demokratis dan menghormati independensi penyelenggara pemilu," kata Hasto dalam pesan elektronik yang diterima wartawan, Kamis (3/1/2018).

Upaya mendelegitimasi—atau minimal menjelek-jelekkan KPU—sebetulnya pernah terjadi beberapa tahun yang lalu. Bahkan PDIP yang kini membela lembaga itu pernah melakukannya. Itu terjadi ketika partai berlambang banteng hitam bermoncong putih itu berstatus oposisi, 2009 dan 2014.

PDIP Pernah Serang KPU

Tahun 2009, fraksi PDIP di DPR RI sepakat menindaklanjuti rekomendasi panitia Hak Angket Daftar Pemilih Tetap Periode 2004-2009. PDIP sepakat untuk mengikuti rekomendasi panitia: memberhentikan ketua dan anggota KPU karena dianggap tak becus menyelesaikan persoalan daftar pemilih tetap.

"Kualitas KPU sekarang jauh di bawah kualitas KPU sebelumnya," kata salah seorang kader PDIP.

Pun ketika mereka kembali jadi oposisi sejak 2009-2014. Kritik PDIP semakin keras dan sering. Pada 2012, mereka mengkritik penggunaan Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) KPU yang menyebut itu justru membuat proses verifikasi jadi berantakan.

Satu tahun kemudian, mereka mengkritik KPU karena bekerja sama dengan Lembaga Sandi Negara (Lemseneg). Mereka menilai kerja sama yang tujuannya untuk mengamankan data Pemilu 2014 bisa jadi alat manipulasi dan propaganda parpol tertentu.

Megawati Soekarnoputri juga pernah melakukan itu setelah hari pencoblosan Pemilu 2014. Anak biologis Sukarno itu menuding KPU telah 'bermain'. "Jangan KPU yang bermain, dan pada kenyataannya pada tahap pertama ini kejadian itu ada," kata Megawati. "Buktinya banyak yang ke MK," tambahnya.

Apa yang PDIP lakukan di masa lalu, bagi Hasto, bukan upaya delegitimasi KPU. Bagi dia itu semata kritik dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan KPU saat itu. Menurut Hasto, baik saat jadi oposisi atau partai penguasa, PDIP akan tetap mengkritik kebijakan dari penyelenggara pemilu jika memang ada yang salah.

"Ketika ada hal positif, yang baik, itu juga kami sampaikan apa adanya," kata Hasto di Media Center Jokowi-Ma'ruf, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (8/1/2019).

KPU Memang Selalu Terhimpit

Direktur Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Veri Junaidi menilai posisi KPU memang selalu terhimpit oleh dua kelompok yang sedang berkompetisi. Setiap KPU mengeluarkan kebijakan, pasti akan ada pihak-pihak yang merasa diuntungkan dan dirugikan. Dan kubu oposisi biasanya memang merasa jadi pihak yang dirugikan.

Infografik Ci Tudingan delegitimasi KPU Pemmilu 2014

Infografik Ci Tudingan delegitimasi KPU Pemmilu 2014

Meski demikian, kritik terhadap kebijakan yang dikeluarkan KPU itu dianggap wajar selama tak mengganggu kinerja.

"Sama seperti posisi sekarang ketika model debat capres dianggap menguntungkan petahana, oposisi akan mengkritiknya," jelas Veri kepada reporter Tirto.

Mantan Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay punya pendapat lain. Bagi dia, saat ini titik lemah KPU adalah soal komunikasi dan profesionalitas. Ini yang membuat mereka rentan dikritik. Meski KPU nantinya mengklaim bekerja dengan baik, namun akan tetap ada ketidakpercayaan dari proses dan hasil pemilu itu.

"Padahal hasil [pemilu] benar, enggak ada suara tertukar dan sebagainya, tapi karena enggak percaya sama KPU sehingga orang akan pertanyakan itu," ucap Hadar.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Bayu Septianto

tirto.id - Politik
Reporter: Bayu Septianto
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Rio Apinino