Menuju konten utama

Ada Kinerja Tak Maksimal di Balik Gugurnya Putusan KPU

Perludem menyarankan KPU mengevaluasi kerjanya saat ini dan mengumumkannya ke publik apa saja yang masih kurang. Dengan begitu kepercayaan masyarakat bisa kembali.

Ada Kinerja Tak Maksimal di Balik Gugurnya Putusan KPU
Ketua KPU Arief Budiman berbincang dengan Ketua KPU Kota Bogor Undang Suryatna saat kunjungan ke kantor KPU Kota Bogor, Minggu (4/3/2018). ANTARA FOTO/Arif Firmansyah/aww/18.

tirto.id - Sejumlah keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) digugat, kemudian dianggap tidak sah dan digugurkan. Kinerja KPU pun menjadi sorotan.

Pada 15 November 2017, putusan KPU mengenai penggunaan Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) dalam proses pendaftaran calon peserta pemilu dibatalkan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Ketua Bawaslu, Abhan, mengatakan penggunaan Sipol tidak punya dasar hukum karena tidak diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Putusan KPU yang menyatakan Partai Berkarya dan Garuda tak lolos verifikasi administrasi juga dicabut. Pembatalan diputus usai Bawaslu memediasi KPU dan dua parpol yang bersengketa.

Terbaru adalah ketika Bawaslu membatalkan keputusan KPU soal PBB. Lewat sidang yang diselenggarakan Minggu (4/3) malam, lembaga yang berkantor di Jl M.H. Thamrin No. 14 ini memutuskan bahwa KPU harus menetapkan PBB sebagai partai politik peserta pemilu 2019 karena dianggap telah memenuhi syarat verifikasi baik tingkat pusat maupun daerah.

Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, kejadian ini adalah bukti kalau kerja KPU tidak maksimal. Pengguguran tiga keputusan hanya dalam waktu beberapa bulan seharusnya sudah jadi alarm bagi mereka untuk berbenah.

"Pembatalan tersebut dengan mudah ditangkap publik sebagai refleksi problematika tata kelola penyelenggaraan pemilu oleh KPU," kata Titi kepada Tirto, Selasa (6/3/2018).

Menurut Titi, jika KPU telah bekerja dengan baik maka pembatalan keputusan oleh Bawaslu tak mungkin terjadi. "Tidak bakal berkali-kali dibatalkan," katanya. Karena kasus ini, kata Titi, kepercayaan publik terhadap KPU dan pada akhirnya pemilu itu sendiri akan menurun.

Oleh karena itu Titi menganjurkan agar KPU menanggapi ini dengan juga mengumumkan ke publik apa yang masih kurang dari mereka. Semacam otokritik.

"Di mana letak masalahnya? Apakah pada jajaran KPU karena masalah profesionalisme dan kinerja? Atau masalahnya di perbedaan persepsi yang tak pernah mendapat titik temu antara KPU dan Bawaslu?"

Apa yang dikatakan Titi soal rendahnya kinerja KPU terlihat dengan jelas pada kasus PBB. Ketika KPU menyatakan PBB tidak bisa mengikuti pemilu 2019, alasan mereka adalah karena partai yang didirikan pada 17 Juli 2998 ini tidak memenuhi syarat keanggotaan di Kabupaten Manokwari Selatan.

Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang (PBB), Yusril Ihza Mahendra, mengatakan kalau KPU Manokwari Selatan tidak melakukan verifikasi faktual. Dalam persidangan 2 Maret lalu, diketahui bahwa keputusan KPU Manokwari Selatan yang mengatakan PBB tidak memenuhi syarat tidak diselenggarakan melalui mekanisme resmi, yaitu lewat rapat pleno.

Argumen ini--yang disertai dengan bukti--yang akhirnya membuat Bawaslu meloloskan PBB.

Pun demikian dengan kasus lain seperti keikutsertaan Jopinus Ramli Saragih dan Ance Selian di Pilkada Sumatera Utara 2018. Dalam putusan yang akhirnya digugurkan Bawaslu Sumut, KPU memutus JR Saragih tidak bisa ikut jadi calon gubernur karena masalah legalitas ijazah.

Pada 22 Januari 2018, pihak Dinas Pendidikan DKI Jakarta menyatakan tidak pernah menerbitkan ijazah Saragih. Namun pada 9 Februari 2018, instansi yang sama tiba-tiba berubah sikap dengan menyatakan pernah menerbitkan ijazah bakal calon Gubernur Sumut itu. Namun, pengumuman itu sudah terlambat lantaran batas masa verifikasi berkas adalah pada tanggal 20 Januari 2018.

Demokrat kemudian mempertanyakan sikap KPU karena faktanya JR Saragih sudah dua periode menjadi Bupati Simalungun, yakni 2010-2015 dan 2016-2021. Selain itu, Saragih juga merupakan lulusan Akademi Militer. Saragih tidak mungkin bisa berkarier di militer apabila tidak memiliki ijazah SMA. Fakta ini yang menurut Demokrat tidak dijadikan perhatian KPU.

Wasekjen DPP Partai Demokrat Rachland Nashidik pada 12 Februari lalu bahkan mencurigai KPU "telah jadi kayu pemukul dari permainan kotor partai tertentu."

KPU sendiri mengakui bahwa memang ada yang kurang dari mereka. Ketua KPU RI Arief Budiman sempat mengatakan kalau durasi verifikasi yang semula 14 hari menjadi 3 hari untuk pemeriksaan di tingkat kabupaten/kota, 2 hari di tingkat provinsi, dan 2 hari di tingkat nasional, membuat mereka harus "memangkas semuanya" karena "keterbatasan waktu, SDM, dan anggaran."

"KPU Harus Lebih Cermat"

Ketua Komisi II DPR Ahmad Riza Patria mengatakan kalau agar KPU lebih hati-hati dalam bertugas.

Pendapat senada disampaikan anggota Komisi II dari Fraksi PAN, Yandri Susanto. KPU harus meningkatkan ketelitian dan kecermatan. "Supaya tidak banyak gugatan, KPU harus lebih cermat dan lebih teliti terhadap informasi di lapangan," ujar Yandri.

Komisioner Bawaslu RI Mochammad Afifuddin mengatakan kalau pihaknya akan membuat kompilasi gugatan sengketa pemilu yang melibatkan KPU. "Nanti kalau sudah rapi semua pasti diinformasikan," katanya. Ia mengatakan kalau pembatalan ini adalah hal yang wajar.

"Komunikasi juga baik-baik saja, malah baik banget," tambahnya.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2019 atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Politik
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Rio Apinino