tirto.id - Komisioner KPU RI Wahyu Setiawan memastikan larangan pemasangan nama dan foto presiden serta wakil presiden di peraga kampanye bukanlah aturan baru. Aturan itu sudah disepakati semua partai politik di DPR sebelum disahkan, sehingga legitimasi KPU dalam menerbitkan beleid itu kuat.
"Itu norma yang ada sejak 2015, bukan norma baru. PKPU (Peraturan KPU) itu sudah dikonsultasikan dengan DPR," kata Wahyu di Kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Jakarta, Kamis (1/3/2018).
Aturan soal kampanye Pilkada tercantum dalam PKPU Nomor 4 Tahun 2017.
Pasal 24 ayat 3 PKPU itu mengatur, "desain dan materi bahan kampanye yang difasilitasi oleh KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota atau yang dicetak oleh pasangan calon... dilarang mencantumkan foto atau nama presiden dan wakil presiden Republik Indonesia dan/atau pihak lain yang tidak menjadi pengurus partai politik."
Larangan juga terdapat di Pasal 29 ayat 3 PKPU 4/2017 yang berbunyi sama. Aturan itu bisa dibatalkan jika ada aduan dan pengujian melalui Mahkamah Agung.
"Tetapi sampai sekarang belum ada yang uji," kata Wahyu.
Ia memastikan larangan larangan pemasangan gambar presiden/wapres atau tokoh-tokoh nasional non-pengurus parpol akan berlaku saat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Namun, Wahyu belum bisa memastikan larangan tersebut tidak ada di PKPU Kampanye Pemilu 2019. Pembahasan aturan itu belum berlanjut lantaran rapat konsultasi KPU dan Komisi II DPR tak kunjung dimulai.
Sejumlah politikus PDIP dan PKB menyatakan keberatan dengan kebijakan tersebut. PDIP bahkan mendesak Komisi II DPR turun tangan.
Berbeda dengan PDIP dan PKB, Ketua Bidang Media dan Penggalangan Opini Golkar, TB Ace Hasan Syadzily menyatakan, partainya tidak mempersoalkan larangan penggunaan foto tokoh nasional dalam alat peraga kampanye.
Wahyu Setiawan menyatakan, dengan peraturan tersebut partai peserta pemilu dilarang mencantumkan gambar tokoh nasional yang bukan pengurus partai, seperti Sukarno, Soeharto, BJ Habibie, Gus Dur, termasuk juga tokoh nasional lain, seperti pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Asyari.Namun, untuk Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono diperbolehkan karena kedua tokoh nasional tersebut tercatat sebagai pimpinan di parpol. Megawati sebagai Ketua Umum DPP PDIP, sementara SBY adalah Ketua Umum DPP Partai Demokrat.
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Dipna Videlia Putsanra