Menuju konten utama

Reaksi PDIP dan PKB Soal Larangan Memasang Foto Sukarno dan Gus Dur

KPU melarang memasang gambar tokoh nasional sebagai alat peraga kampanye yang tidak ada kaitannya dengan partai. Bagaimana respons parpol terkait kebijakan ini?

Reaksi PDIP dan PKB Soal Larangan Memasang Foto Sukarno dan Gus Dur
Ilustrasi partai politik Indonesia. tirto.id/Teguh Sabit Purnomo

tirto.id - Sejumlah politikus PDIP dan PKB menyatakan keberatan dengan kebijakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang melarang peserta pemilu mencantumkan gambar tokoh nasional dalam alat peraga kampanye. PDIP bahkan mendesak Komisi II DPR turun tangan.

Ketua DPP PDIP, Hendrawan Supratikno menyatakan, partainya menolak aturan tersebut dan mendesak Komisi II DPR RI agar merevisi UU Pemilu dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 4 tahun 2017.

“Kami akan meminta klarifikasi dan telah menugaskan Komisi II DPR untuk memanggil KPU,” kata Hendrawan kepada Tirto, Selasa (27/8/2018).

Pernyataan Hendrawan ini sebagai respons atas kebijakan KPU yang disampaikan dalam sosialisasi peraturan kampanye di Hotel San Pacific, Jakarta, Senin (26/2/2018). Larangan mencantumkan gambar/foto tokoh nasional ini tercantum dalam UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, serta PKPU Nomor 4 tahun 2017 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan Walikota dan Wakil Walikota.

Dalam UU Pemilu, misalnya, larangan tersebut terdapat pada Pasal 280 ayat 1 huruf (i) yang menyatakan peserta pemilu saat kampanye dilarang "membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut selain dari tanda gambar dan/atau atribut peserta yang bersangkutan."

Sementara, dalam PKPU No. 4 tahun 2017, larangan tersebut terdapat pada bagian kedua tentang Penyebaran Bahan Kampanye Pasal 24 ayat 3 yang menyatakan, "desain dan materi bahan kampanye yang difasilitasi oleh KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota atau yang dicetak oleh pasangan calon sebagaimana dimaksud Pasal 23 ayat 1, 2 dan 3 dilarang mencantumkan foto atau nama presiden dan wakil presiden Republik Indonesia dan/atau pihak lain yang tidak menjadi pengurus partai politik."

Larangan tersebut terdapat pula di bagian ketiga PKPU Nomor 4 tahun 2017 tentang Pemasangan Alat Peraga Kampanye pasal 29 ayat 3 yang berbunyi sama.

Komisioner KPU, wahyu Setiawan menyatakan, dengan peraturan tersebut partai peserta pemilu dilarang mencantumkan gambar tokoh nasional yang bukan pengurus partai, seperti Sukarno, Soeharto, BJ Habibie, Gus Dur, termasuk juga tokoh nasional lain, seperti pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Asyari.

Namun, untuk Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono diperbolehkan karena kedua tokoh nasional tersebut tercatat sebagai pimpinan di parpol. Megawati sebagai Ketua Umum DPP PDIP, sementara SBY adalah Ketua Umum DPP Partai Demokrat.

“Semua figur bukan pengurus partai tak boleh dimasukkan dalam alat peraga yang difasilitasi KPU. Siapa pun kecuali untuk kepentingan rapat internal. Ini yang difasilitasi oleh KPU,” kata Wahyu dalam sosialisasi peraturan kampanye di Hotel San Pacific, Jakarta kemarin.

PDIP Desak Komisi II Merevisi Larangan Tersebut

Anggota Komisi II dari Fraksi PDIP, Komarudin Watubun membenarkan pernyataan Hendrawan. Menurut Watubun, setelah masa reses, Komisi II akan memanggil KPU untuk mendapatkan klarifikasi terkait larangan tersebut karena tidak memiliki dasar yang jelas.

“Kemarin waktu Rakernas di Bali Bu Megawati juga mempertanyakan larangan ini. Kok bisa ada gitu loh? Kami nanti akan meminta Komisi II memanggil KPU mengklarifikasi ini dan kalau bisa direvisi," kata Komarudin kepada Tirto, Selasa (27/2/2018).

Selain itu, kata Komarudin, larangan tersebut juga mengancam meriahnya pemilu sebagai pesta demokrasi. Bagi dia, semakin banyak larangan yang dibuat KPU, partai akan semakin takut untuk mengekspresikan diri dalam berkampanye.

“KPU seharusnya menjadi fasilitator pesta demokrasi. Bukan membuat peraturan yang menjadikan pesta demokrasi tidak meriah," kata Komarudin.

Menurut Komarudin, akan menjadi persoalan apabila PDIP tidak dapat mencantumkan foto Sukarno dalam alat peraga kampanye mereka. Komarudin beralasan, hal ini dikarenakan Sukarno sudah menjadi simbol yang erat bagi partai berlambang banteng ini.

“Bung Karno memiliki faktor kesejarahan dengan PDIP. Karena PDIP kan asalnya dari PNI yang didirikan Bung Karno. Ini bertentangan dengan sejarah partai," kata Komarudin.

Status Soekarno sebagai proklamator, kata Komarudin, justru seharusnya disematkan dalam alat peraga kampanye semua partai politik sebagai simbol keteguhan membangun Indonesia. "Jadi, kami jelas menolak peraturan ini," tegas dia.

Senada dengan Komarudin, Ketua Desk Pemilihan Umum PKB, Daniel Johan menilai, larangan mencantumkan foto tokoh selain pengurus partai berpeluang memutus tali sejarah dan menghapus identitas partainya.

Daniel beralasan, dengan peraturan KPU ini foto sosok seperti KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai pendiri partai, serta KH Hasyim Asyari sebagai simbol partai yang lahir dari rahim Nahdlatul Ulama tidak bisa disematkan dalam alar peraga kampanye.

"Jangan sampai pelarangan membuat kesan tokoh-tokoh bangsa ini jadi seperti tokoh terlarang," kata Daniel kepada Tirto, Selasa (27/2/2018).

Selain itu, kata Daniel, Peraturan KPU ini dapat membuat masyarakat kecewa dan kehilangan semangat untuk memilih dalam pemilu. "Bagi masyarakat para tokoh tersebut adalah tokoh bangsa yang mereka kagumi, yang menjadi spirit ideologi dibangunnya partai, dan rasa cinta itu kadang sulit dibendung," kata Daniel,

Daniel menambahkan, PKB menolak peraturan KPU ini dan meminta kepada lembaga penyelenggara pemilu tersebut memikirkan ulang keberadaannya.

Golkar dan Berkarya Tak Masalah

Berbeda dengan PDIP dan PKB, Ketua Bidang Media dan Penggalangan Opini Golkar, TB Ace Hasan Syadzily menyatakan, partainya tidak mempersoalkan larangan penggunaan foto tokoh nasional dalam alat peraga kampanye.

"Kami tidak ada masalah. Memang tokoh-tokoh tersebut tidak seharusnya dimonopoli oleh partai-partai tertentu," kata Ace kepada Tirto, Selasa (27/2/2018).

Ace menyatakan, Golkar tidak dirugikan meskipun tidak bisa menggunakan foto Suharto dan Jokowi dalam alat peraga kampanye mereka. Karena, menurut Ace, dalam gelaran Pilkada yang terpenting adalah program-program para kandidat.

"Tidak akan memengaruhi elektoral menurut saya. Kalau programnya bagus kan otomatis dipilih. Branding calon lebih penting," kata Ace.

Anggota Komisi II DPR ini pun menilai, tidak perlu ada revisi terhadap UU Pemilu dan PKPU Nomor 4 tahun 2017. Karena, menurut dia, kedua peraturan tersebut telah melewati persetujuan Komisi II dan bisa menganggu tahapan pemilu sudah berjalan, khususnya tahapan Pilkada.

Hal senada juga disampaikan Sekjen Partai Berkarya, Badaruddin Andi Picunang. Menurut dia, peraturan ini tidak akan berimbas pada upaya partainya menggaet suara pemilih di pemilu. Meskipun, ia tidak memungkiri partainya menjual Soeharto sebagai simbol untuk menggaet pemilih.

"Adanya Pak Tommy saya pikir sama saja. Orang sudah tahu kalau beliau adalah anak Pak Harto," kata Badaruddin pada Tirto, Selasa (27/2/2018).

Peraturan ini, kata Badaruddin, justru semakin membangkitkan semangat Partai Berkarya membuat konsolidasi internal di daerah. Hal ini, kata dia, karena KPU tidak melarang penggunaan foto tokoh nasional dalam spanduk acara internal partai.

“Sebagai partai baru jelas kami lebih membutuhkan konsolidasi internal ketimbang menghabiskan energi menolak peraturan ini. Kami ikuti sajalah peraturannya,” kata Badaruddin.

Bisa Menjadikan Pemilih Lebih Rasional

Pakar Politik dari Universitas Airlangga, Siti Aminah menilai, peraturan KPU tersebut bisa membuat pemilih lebih rasional di Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. “Mereka (pemilih) memilih karena kedekatan ideologis atau ketokohan, tapi lebih rasional berdasarkan visi misi partai dan calonkada," kata Aminah kepada Tirto, Selasa (27/2/2018).

Menurut Aminah, pemilu dilaksanakan tidak hanya sebagai ajang hura-hura partai politik, melainkan juga sebuah ajang pendidikan politik bagi warga Indonesia untuk menjadi pemilih yang rasional.

"Pemilih rasional itu ya yang selama ini diperjuangkan dalam pemilu, bukan untuk belajar sejarah" kata Aminah.

Aminah berkata, tanpa adanya gambar tokoh-tokoh tertentu partai politik tetap dapat menyebarkan ideologinya dan memberitahukan sejarahnya melalui kaderisasi internal mereka. Lagi pula, menurut dia, identitas partai politik bukan dilihat dari semaraknya simbol-simbol yang ditonjolkan ke publik. Melainkan, identitas tersebut terbentuk karena persepsi masyarakat terhadap partai politik melalui program-program mereka.

Sehingga, menurut Aminah, partai-partai politik lebih baik membuat sistem kaderisasi yang lebih baik dan program-program di luar pemilu yang lebih menyentuh ke masyarakat.

“Salah satu fungsi partai kan memberikan pendidikan politik. Harusnya program itu yang lebih mereka galakkan. Jadi tidak hanya sekadar simbolik,” kata Aminah.

Baca juga artikel terkait PILKADA SERENTAK 2018 atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Politik
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Abdul Aziz