tirto.id - Keadilan dan kejelasan dari wafatnya warga Papua Pegunungan, Abral Wandikbo (27) masih belum menemukan titik terang. Terdapat narasi yang berseberangan antara koalisi masyarakat sipil dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) terkait kronologinya.
Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (YKKMP) bersama Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kasus HAM di Yuguru, mengecam tindak kekerasan yang diduga terjadi. Mereka mengatakan ada pembunuhan di luar hukum (extrajudicial killing) terhadap seorang warga sipil Papua, yakni Abral.
Dalam keterangan resmi koalisi, pemuda asa Kampung Yuguru, Distrik Mebarok, Kabupaten Nduga, Provinsi Papua Pegunungan itu, mendapat perlakuan keji dari TNI, pada 22–25 Maret 2025, ketika menjalankan operasi militer di sana.
Ketua YKKMP, Theo Hesegem, mengatakan Abral Wandikbo tidak termasuk dalam bagian anggota kelompok bersenjata ataupun kelompok pro-kemerdekaan Papua. Abral juga tidak memiliki keterlibatan apapun dalam aktivitas bersenjata.
"Justru sebaliknya, almarhum dikenal aktif membantu aparat dalam pembangunan kembali lapangan terbang Yuguru, demi memfasilitasi mobilitas masyarakat," kata Theo dalam keterangan pers yang disiarkan pada Jumat (13/6/2025).
Dia menceritakan bahwa, kematian Abral bermula pada 25 Maret 2025, saat penangkapannya yang diduga dilakukan secara sewenang-wenang oleh aparat TNI. Kala itu terjadi pemeriksaan rumah warga satu per satu. Abral ditangkap tanpa alasan yang jelas dan tanpa bukti yang sah, serta tanpa didampingi kuasa hukum.
Waktu berlalu, sampai pada 25 Maret 2025, jasad Abral ditemukan dalam kondisi termutilasi. Theo menjabarkan bahwa tubuh Abral dalam keadaan telinga, hidung, dan mulut hilang, kaki dan betis melepuh serta kedua tangan terikat dengan borgol plastik atau plasticuff.
Theo menyesalkan kejadian tersebut. Karena sebelumnya TNI sempat menyampaikan ke keluarga Abral kalau dia akan dipulangkan dalam keadaan hidup. Namun kemudian menyebarkan narasi menyesatkan bahwa korban “melarikan diri.”
Selain itu, kepada koalisi masyarakat sipil, sejumlah warga menyaksikan bahwa aparat TNI telah melakukan aksi pembongkaran sembilan rumah warga dan satu puskesmas. Mereka mengambil papan, kayu-kayu, dan peralatan lainnya, pada 22-23 Februari 2025. Tidak hanya rumah warga, sekolah juga digeledah oleh anggota TNI pada tanggal 24 Februari 2025 hingga peralatan belajar dihamburkan seperti buku-buku, ijazah, surat baptis, dan lain sebagainya.
"Ini jelas pelanggaran hak warga untuk merasa aman, begitu pula pelanggaran atas hak kesehatan, hak atas pendidikan dan hak anak," tambah Theo.
Atas nama koalisi masyarakat sipil, Theo meminta pemerintah dan TNI untuk segera melakukan pengusutan atas dugaan penyiksaan dan pembunuhan di luar hukum terhadap Abral Wandikbo. tidak ketinggalan juga soal dugaan perusakan rumah dan fasilitas umum di Yuguru.
"Aparat TNI di lapangan maupun pimpinan mereka di tingkat komando harus dimintai pertanggungjawaban hukum secara adil dan transparan," kata Theo.
Melalui audiensi dengan Komnas HAM, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kasus HAM di Yuguru mendesak agar kasus dugaan pembunuhan ini masuk sebagai pelanggaran HAM berat. Mereka juga berharap segera ada proses penyelidikan pro justitia sebagaimana diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
"Pelaku penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan harus diadili secara terbuka di pengadilan sipil, bukan militer, demi menjamin keadilan dan akuntabilitas publik," kata dia.
Bantah Lakukan Pembunuhan, TNI Duga Abral Bagian dari OPM
Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI, Mayjen TNI Kristomei Sianturi, membantah narasi yang disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kasus HAM di Yuguru. Dia memastikan pihaknya tidak menjadi pelaku pembunuhan Abral saat pasukannya melakukan operasi di Kampung Yaguru.
Kristomei menyebut Abral melarikan diri dengan melompat ke jurang. Dia mengatakan saat itu, pasukan TNI yang beroperasi tidak melanjutkan upaya pengejaran dan memastikan kondisi yang bersangkutan dikarenakan faktor keamanan yang memiliki resiko tinggi bagi keselamatan pasukan apabila melanjutkan gerakan.
Kristomei juga menerangkan temuan jasad Abral yang dalam keadaan telinga, mulut terpotong, dan tangan terikat juga menjadi bukti kalau hal itu tidak mungkin dilakukan oleh TNI. Dia kemudian menuding bahwa Abral dibunuh oleh kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM). Dalam alibinya, Abral dibunuh OPM karena hendak menunjukkan kepada TNI lokasi honai (rumah adat khas Papua –red) yang ada senjatanya.
"Yang janggal adalah jenazah Abral diinfokan ditemukan dalam keadaan telinga, mulut terpotong, tangan terikat. Prajurit TNI tidak akan melakukan kebiadaban seperti itu, justru yg melakukan kebiadaban seperti itu adalah gerombolan OPM selama ini," kata Kristomei.
Menurut Kristomei, OPM membunuh Abral karena dia telah tergabung kelompok bersenjata tersebut sehingga muncul dugaan dirinya telah melakukan penghianatan. Kepada Tirto, Kristomei menunjukkan foto Abral Wandikbo. Dia disebut punya nama lain Almaroko Nirigi, sebagai anggota Pok OPM.
"Sangat jelas, terbukti dengan adanya Foto yang bersangkutan sambil membawa Senjata M-16 A2," kata Kristomei.
Mengenai kedatangan pasukan TNI di Kampung Yaguru, Kristomei menjelaskan bahwa hal itu dilakukan karena pihaknya menerima informasi yang diberikan oleh Abral. Dari hasil interogasi diketahui di honai terdapat dua pucuk senjata organik.
"Kemudian yang bersangkutan dibawa sebagai penunjuk jalan. Namun, saat di tengah perjalanan melarikan diri, kemudian Prajurit TNI mengeluarkan tembakan peringatan. Tetapi yang bersangkutan tetap melarikan diri dan melompat ke arah jurang," kata Kristomei.
Alih-alih melanjutkan penyelidikan terhadap kematian Abral Wandikbo –yang menurut TNI murni dilakukan oleh OPM, Kristomei meminta koalisi masyarakat sipil untuk berfokus pada tindak kekerasan kepada relawan di pedalaman. Kristomei berpendapat bahwa hal itu adalah tindakan keji yang dilakukan oleh OPM namun tidak pernah terungkap hingga kini.
"Ada baiknya Amnesty International, koalisi masyarakat sipil, juga menyelidiki intimidasi, pemerkosaan, kebiadaban terhadap guru dan tenaga kesehatan yang mengabdi di pedalaman Papua serta kekejian terhadap pendulang yang dibunuh secara biadab oleh gerombolan OPM beberapa waktu lalu," katanya.
Narasi Abral Bagian Dari OPM Dibantah Oleh Koalisi Masyarakat Sipil
Pernyataan Puspen TNI yang menyebut Abral bagian dari OPM dibantah langsung oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kasus HAM di Yuguru. Staf Divisi Hukum Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Muhammad Yahya Ihyaroza, menjelaskan bahwa Abral tidak termasuk bagian dari kelompok bersenjata OPM sebagaimana yang dituduhkan Kristomei.
Yahya menyebut Abral sebagai sosok family man yang selalu dekat dengan orangtuanya. "Bahkan salah seorang saksi memberikan keterangan kepada kami, bahwa Abral selama hidupnya itu tidak pernah jauh dari orangtua, bahkan selama ini belakangan dia hidup untuk merawat ayahnya yang sedang sakit," kata Yahya saat dihubungi Tirto, Selasa (18/6/2025).
Dia menyesalkan tindakan TNI yang secara serampangan melakukan aksi militer di Kampung Yaguru, daerah pedalaman yang membutuhkan waktu hingga tiga pekan perjalanan dari pusat kota, Timika. Yahya menyebut pelabelan Abral sebagai anggota OPM hanya berdasarkan foto kemiripan wajah adalah tindakan sembrono dan terburu-buru, sehingga menunjukkan ketidakprofesionalan dalam bekerja sebagai militer.
"TNI tidak pernah melakukan pendalaman terlebih dahulu ataupun pembuktian terlebih dahulu kepada pihak-pihak yang mereka labeli sebagai TPNPB (Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat -red) OPM," kata dia.
Adapun Kontras bersama YKKMP adalah anggota koalisi msayarakat sipil. Selain itu juga ada Amnesty International Indonesia, Biro Papua PGI, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat Asia Justice and Rights, LBH Masyarakat (LBHM), AJI Indonesia, Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.
Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Saurlin P. Siagian, menjanjikan akan melakukan penanganan atas kasus kematian Abral Wandikbo, sebagaimana yang diadukan oleh koalisi masyarakat sipil.
Meski demikian, Komnas HAM hingga saat ini belum bisa melakukan penyelidikan dan verifikasi lapangan seperti yang diharapkan koalisi masyarakat sipil. Saat ini mereka fokus dengan kasus tambang nikel di Raja Ampat.
"Tim sedang melakukan pekerjaannya dari Jakarta. Dan kebetulan saat ini teman kita di Papua juga sedang melakukan pekerjaannya di Raja Ampat, agak full," kata Saurlin saat dihubungi Tirto, Selasa (17/6/2025).
Saurlin menjelaskan bahwa pihaknya akan mengambil data dan informasi dari semua pihak baik pemerintah, TNI-Polri, koalisi masyarakat sipil, hingga saksi mata yang ada di Kampung Yaguru.
"Kami harus mengumpulkan data dulu, fakta-fakta awalnya juga harus kami lengkapi, kemudian mudah-mudahan kita bisa mendapatkan saksi-saksi yang bagus," kata dia.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Alfons Yoshio Hartanto