tirto.id - Keputusan OPEC pada 28 September 2016 mengakhiri ketidakpastian yang menaungi pasar perminyakan selama dua tahun terakhir. Kesepakatan OPEC untuk menurunkan produksi secara perlahan mulai membuat harga minyak berada pada tren kenaikan.
Pada 28 September 2016, OPEC (yang menguasai sepertiga produksi global), sepakat mengurangi produksinya menjadi 32,5 – 33 juta barel per hari. Pengurangan produksi sebesar 1,2 juta barel per hari berlaku mulai 1 Januari. Ini merupakan pemangkasan produksi pertama sejak 2008. Rusia dan negara-negara non-OPEC lainnya juga berencana memangkas hingga setengahnya.
Dua tahun terakhir adalah masa-masa suram industri perminyakan. Harga terpuruk di bawah harga keekonomian di kisaran $50 per barel.
Kondisi ini tentu meresahkan negara-negara penghasil minyak dunia. Industri perminyakan pun harus mengencangkan ikat pinggang melalui serangkaian restrukturisasi. Karyawan dipangkas, ekspansi dihentikan, investasi baru dikaji ulang.
Keterpurukan
CNBC mencatat, ada setidaknya 100 perusahaan migas di Amerika Utara yang mendaftarkan kebangkrutan, setelah didera kerugian akibat rendahnya harga. Tekanan semakin bertambah manakala negara-negara OPEC tak kunjung mencapai kesepakatan untuk memangkas produksi guna menstabilkan harga.
Dua tahun terakhir, industri perminyakan mencapai titik nadirnya. Puncaknya adalah ketika harga berada di bawah $30 dolar, tepatnya $27 per barel pada 20 Januari 2016. Ini adalah sebuah kemerosotan tajam dibandingkan capaian harga tertingginya beberapa waktu lalu.
Harga minyak tertinggi pernah mencapai $150 per barel pada Juli 2008. Secara rata-rata, harga minyak pada 2008 sebesar $94,1 per barel. Namun, harga minyak secara perlahan surut seiring krisis finansial yang menerpa Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa. Rata-rata harga minyak pada 2009 terpukul ke $60,86 per barel.
Setelah itu, harga mulai merayap naik lagi. Harapan membaiknya perekonomian, terutama negara-negara berkembang membuat harga minyak secara perlahan naik. Secara rata-rata tahunan sempat mencapai level tertingginya di $109,45 per barel pada 2012. Dengan harga yang sedemikian tinggi, perusahaan minyak langsung menggencarkan produksi. Akibatnya, dunia berlimpah pasokan minyak. Di saat yang sama, negara-negara utama di dunia mengalami perlambatan ekonomi. Hasilnya, antara pasokan dan permintaan terjadi selisih yang besar sehingga menyebabkan harga tergelincir jauh.
Pada 2015, secara rata-rata harga minyak hanya $49,49 per barel. Menurut data Statista, angka tersebut hampir menyamai rata-rata harga minyak pada 2005 di level $50,59 per barel. Harga belum benar-benar pulih pada 2016. Menurut Statista, hingga medio Desember 2016, rata-rata harga minyak adalah $39,69 per barel.
Kenaikan Harga dan Tantangan 2017
Keputusan OPEC membawa harapan baru. Para analis dan ekonom memperkirakan harga minyak akan membaik pada 2017. Bank Dunia bahkan langsung merevisi proyeksi harga minyak 2017 dari semula $53 menjadi $55 per barel.
“Kami memperkirakan kenaikan harga energi yang solid, dipimpin minyak, pada 2017,” jelas John Baffes, Ekonom Senior sekaligus penulis utama “Commodity Markets Outlook” Bank Dunia.
Demikian pula Goldman Sachs yang memperkirakan minyak WTI pada kuartal II-2017 akan naik menjadi $57,50 per barel, dibandingkan sebelumnya $55 per barel.
Polling Reuters dari 29 analis dan ekonom menghasilkan konsensus harga minyak Brent rata-rata di kisaran $56,90 per barel pada 2017. Harga diperkirakan bisa mencapai $60 per barel di akhir 2017.
Sementara menurut perkiraan lebih dari 40 analis yang dikumpulkan Bloomberg, harga minyak akan mulai stabil pada 2017. Minyak Brent akan diperdagangkan di kisaran $58 per barel pada kuartal III.
Namun, kenaikan harga minyak akan tertahan oleh penguatan dolar, pulihnya produksi di AS, prospek kenaikan suku bunga, gangguan produksi di negara-negara kunci, dan kemungkinan tidak patuhnya negara-negara OPEC untuk pemangkasan produksi.
Irak misalnya, sudah menandatangani kesepakatan baru untuk menaikkan penjualan ke konsumen Asia, seperti Cina dan India, meski ada kesepakatan untuk mengurangi produksi 210.000 bph. Irak adalah produsen minyak terbesar kedua setelah Arab Saudi.
Sementara Libya, diperbolehkan meningkatkan produksi, setelah jaringan pipanya diblokade.
“Masih ada ketidakpastian yang dipertimbangkan seputar proyeksi itu karena kita masih menunggu detail dan implementasi dari kesepakatan OPEC, yang jika diterapkan, akan berdampak pada pasar perminyakan,” Kata Baffes.
Tren kenaikan harga minyak ini tentu saja harus diwaspadai oleh pemerintah. Seperti diketahui, Indonesia dalam 2 tahun terakhir sudah menetapkan harga BBM sesuai keekonomian alias tanpa subsidi. Harga BBM akan sangat ditentukan oleh pergerakan harga minyak dunia. Ini artinya, harga BBM berpotensi naik jika harga minyak mentah dunia dalam tren yang terus meningkat. Kenaikan harga BBM ini pada akhirnya bisa meningkatkan inflasi, yang pada akhirnya bisa memberikan efek yang lebih luas.
APBN 2017 menetapkan asumsi harga minyak $45 per barel. Sejauh ini, pemerintah belum berniat untuk mengubah asumsi harga meski ada keputusan OPEC yang diperkirakan mengerek harga minyak. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berdalih, asumsi belum perlu diubah mengingat dari sisi permintaan kemungkinan belum akan mengalami kenaikan signifikan.
Penulis: Nurul Qomariyah Pramisti
Editor: Suhendra