Menuju konten utama

Menanti Jurus KPK Jerat Eddy Hiariej sebagai Tersangka Lagi

ICW mendorong KPK segera menerbitkan surat perintah penyidikan baru untuk dapat menetapkan kembali Eddy Hiariej sebagai tersangka.

Menanti Jurus KPK Jerat Eddy Hiariej sebagai Tersangka Lagi
Wamenkumham Eddy Hiariej penuhi panggilan KPK, Senin (4/12/2023). tirto.id/Ayu Mumpuni

tirto.id - Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej sementara ini dapat bernapas lega. Pasalnya, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) menyatakan gugatan praperadilan tersangka penerima gratifikasi itu diterima sebagian.

Hakim tunggal perkara ini, Estiono, menilai penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak memiliki alat bukti yang cukup dalam menetapkan bekas Wamenkumham itu sebagai tersangka.

Oleh karena itu, penetapan tersangka Eddy harus dibatalkan. Estiono menimbang, “penetapan tersangka oleh termohon tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat."

Ketua IM57+ Institute, M Praswad Nugraha, menilai putusan hakim Estiono yang membatalkan status tersangka Eddy sebagai suatu yang berbahaya. Dia menyatakan putusan ini dapat menjadi preseden yang mempengaruhi putusan praperadilan lain.

“Perlu adanya upaya mendalam untuk memeriksa proses praperadilan ini sehingga menjadi jelas bagaimana pertimbangan hakim bisa mengarah ke sana,” ujar Praswad kepada reporter Tirto, Jumat (2/2/2024).

Menurut Praswad, pertimbangan hakim pada putusan praperadilan Eddy bertentangan dengan Undang-Undang KPK. Dia menjelaskan, KPK dengan segala keistimewaannya mendorong kehati-hatian penyelidik dan penyidik dalam memproses seseorang menjadi tersangka dengan memberikan beban bukti permulaan yang cukup untuk menaikkan seseorang menjadi tersangka.

“Artinya, berbagai bukti permulaan dikumpulkan pada proses penyelidikan sesuai ketentuan Pasal 44 UU KPK. Menjadi persoalan ketika hakim dalam pertimbangannya mempersoalkan pengumpulan bukti permulaan pada tahap penyelidikan dan bukan penyidikan,” kata Praswad.

Bagaimana mungkin, kata dia, KPK mengumpulkan bukti permulaan pada tahap penyidikan sedangkan standar KPK yakni saat penetapan tersangka sudah harus menyebut nama tersangka pada saat naik pada tahap penyidikan. Apabila logika hakim diterapkan, maka tidak akan pernah ada jalan bagi KPK untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka.

Dalam putusan praperadilan, hakim Estiono menilai, penetapan tersangka terhadap Eddy tidak memenuhi minimum alat bukti yang sah sebagaimana ketentuan Pasal 184 Ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Selain itu, penetapan tersangka dilakukan berdasarkan keterangan para saksi saat penyelidikan. Menurutnya, penyelidikan dalam kasus tersebut belum bernilai pro justisia.

“Bahwa beberapa bukti yang diajukan oleh termohon [KPK] tidak dapat memenuhi unsur dalam peradilan,” tutur Estiono dalam persidangan, Selasa (30/1/2024).

Sidang Pra Peradilan Eddy Hiariej

Sidang perdana gugatan pra peradilan Eddy Hiariej di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (18/12/2023). tirto.id/Ayu Mumpuni

Kuasa Hukum Eddy Hiariej, Muhammad Luthfi Hakim, berterima kasih atas putusan hakim dan berharap KPK berbenah diri untuk memperbarui aturan penetapan tersangka. Dia berpandangan, kelengkapan alat bukti menjadi hal krusial untuk menetapkan tersangka. Sehingga, menurutnya, KPK harus melakukan penyidikan terlebih dahulu sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka.

“Ini akan menjadi suatu perubahan yang cukup signifikan bagi KPK ke depan. Kami mengharapkan KPK untuk bersedia merevisi POB-nya yang mana menetapkan seorang tersangka itu setelah proses penyelidikan selesai, tapi belum dimulai dengan proses penyidikan,” ungkap Luthfi usai persidangan.

Lebih lanjut dia menegaskan, ini bukan hanya sebuah kejelasan bagi Eddy Hiariej, melainkan semua pihak ke depan. Sebab, menurutnya, hal itu menjadi keadilan bagi semua pihak.

Luthfi menambahkan, Eddy Hiariej selalu mengikuti persidangan dengan saksama meski tak hadir langsung. Meski demikian, dia belum dapat memastikan apakah akan kembali ke posisi Wamenkumham atau tidak.

Sebelumnya, Eddy diduga menerima suap dan gratifikasi hingga Rp8 miliar dari Direktur Utama PT Citra Lampia Mandiri, Helmut Hermawan. Suap itu diterima Eddy diduga menyangkut beberapa perkara seperti sengketa status kepemilikan perusahaan, penghentian proses hukum di Bareskrim Polri, hingga pembukaan blokir di sistem administrasi badan hukum.

Helmut Hermawan sendiri sudah menjadi tersangka dan ditahan. Tersangka lainnya yakni asisten pribadi Yogi Arie Rukmana, dan kuasa hukum PT Citra Lampia Mandiri, Yoshi Andika Mulyadi.

Dijelaskan Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, kasus ini berawal ketika ada sengketa internal di PT Citra Lampia Mandiri pada 2019. Kemudian, tersangka mencari konsultan hukum untuk mengurus sengketa tersebut di Kemenkumham. “Sesuai rekomendasi disarankan menunjuk atau meminta bantuan kepada EOSH,” kata Alex dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (7/12/2023).

Menurut Alex, pertemuan pertama Eddy Hiariej dan Helmut Hermawan terjadi di rumah dinas Wamenkumham pada 2022. Pertemuan itu juga dihadiri tersangka lain, Yogi dan Yosi.

Putusan Praperadilan Eddy Janggal

Praswad menyatakan, keputusan Hakim dalam praperadilan Eddy melakukan kesalahan penerapan hukum dan tidak menerapkan asas lex specialis terhadap UU KPK. Bahayanya, seluruh tersangka KPK bisa lepas karena pengumpulan barang bukti dan pemeriksaan saksi di dalam Pasal 44 UU KPK diperintahkan untuk dilakukan dalam proses penyelidikan.

“KY [Komisi Yudisial] dan Badan Pengawas MA perlu mendalami lebih jauh mengenai apa di balik pertimbangan hakim dalam mengabulkan gugatan praperadilan Eddy OS Hiariej dalam putusannya. Hal ini karena hakim seharusnya mengetahui secara baik tahap penyelidikan dan penyidikan berdasarkan UU KPK dengan segala kekhususannya,” ungkap Praswad.

Sementara itu, peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman (Unmul), Herdiansyah Hamzah, menilai pertimbangan hakim dalam praperadilan Eddy janggal dan cenderung gagal memahami kewenangan KPK.

“Kalau alat bukti hanya didasari hanya pada tahap penyidikan, maka itu menyulitkan KPK yang memang dibekali business process spesifik dalam UU. Tapi KPK tentu harus merespons cepat putusan ini, dan memastikan segera mengoreksi proses penetapan tersangka dalam kacamata hakim,” tutur Castro sapaan akrabnya, kepada reporter Tirto, Jumat (2/2/2024).

Castro mendesak KPK memastikan materi perkara segera dibawa ke pengadilan, sebab praperadilan membuat perkara ini hanya terinterupsi pada soal teknis dan prosedural, bukan substansi perkara. “Hanya dengan cara segera melakukan penetapan tersangka baru [pada Eddy], KPK bisa menghindari tuduhan masuk angin,” ungkap Castro.

Jerat Ulang Eddy

Anggota Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesian Corruption Watch (ICW), Diky Anandya, menyatakan putusan praperadilan Eddy menjadi pukulan telak terhadap upaya pemberantasan korupsi. ICW menilai, argumentasi hakim untuk menyatakan bahwa pertimbangan hakim Estiono mengandung kekeliruan.

Diky menyatakan, hakim Estiono hanya melihat sebagian kecil dari alat bukti yang dikumpulkan oleh KPK. Diketahui bahwa dalam perkara ini, KPK sudah menemukan sebanyak 80 surat/dokumen, keterangan dari 16 orang saksi termasuk Eddy sendiri, dan satu orang ahli.

“Artinya, KPK sudah memenuhi setidaknya dua alat bukti sesuai dengan Pasal 184 ayat (1) KUHAP,” jelas Diky kepada reporter Tirto, Jumat (2/2/2024).

Lantas soal waktu memperoleh bukti, jika mengacu pada Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 serta Peraturan Mahkamah Agung RI (PERMA) Nomor 4 Tahun 2016 maupun Pasal 44 ayat (2) UU KPK, berkenaan bukti permulaan hanya diatur mengenai ‘jumlah’ serta ‘jenis’ semata.

Baik Putusan MK dan PERMA, tidak mengatur dan tidak membatasi tentang kapan tahapan bukti permulaan harus diperoleh oleh penyelidik maupun penyidik KPK untuk menetapkan tersangka.

“Artinya, meskipun keterangan saksi maupun penyitaan dilakukan setelah penetapan tersangka, hal tersebut patut dipandang sebagai hal yang berkesinambungan dalam upaya yang pro justitia,” ucap Diky.

ICW mendorong KPK segera menerbitkan surat perintah penyidikan baru untuk dapat menetapkan kembali Eddy Hiariej sebagai tersangka. Hal tersebut dimungkinkan berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (3) PERMA Nomor 4 Tahun 2016.

“Ketentuan tersebut jelas mengatakan bahwa sah atau tidaknya penetapan tersangka tidak menggugurkan tindak pidana, dan kewenangan penyidik untuk menetapkan kembali seseorang sebagai tersangka dengan sedikitnya dua alat bukti baru,” ujar Diky.

Di sisi lain, putusan Mahkamah Konstitusi nomor 42/PUU-XV/2017 memungkinkan penegak hukum menggunakan alat bukti yang pernah dipakai pada perkara sebelumnya dengan catatan alat bukti tersebut harus disempurnakan. Penerapan ini setidaknya pernah dilakukan oleh KPK dalam perkara yang menjerat Setya Novanto dalam kasus e-KTP.

“[Saat itu] KPK menerbitkan sprindik baru untuk dapat menetapkan kembali Setya Novanto sebagai tersangka,” sambung Diky.

Wamenkumham Eddy Hiariej diperiksa KPK

Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej yang menjadi tersangka kasus suap berjalan meninggalkan Gedung Merah Putih KPK usai menjalani pemeriksaan di Jakarta, Senin (4/12/2023). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/nym.

Ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menegaskan KPK memang bisa menetapkan kembali Eddy Hiariej sebagai tersangka. Tindakan KPK ketika menetapkan seseorang sebagai tersangka disebutnya sudah dalam rangka mengembangkan kasus, artinya sudah pro justitia.

Abdul menilai, upaya penahanan Eddy adalah kewenangan subjektif KPK yang penerapannya bergantung pada kebutuhan atau bila mempersulit pemeriksaan. Jika tidak ada kebutuhan memang tidak perlu digunakan.

“Sudah menetapkan TSK itu pasti sudah serius. Tapi saya kira tekanan dari kanan atas bawah itu lah yang [bisa] mempengaruhi kinerja KPK,” kata Abdul kepada reporter Tirto, Jumat (2/2/2024).

KPK Lanjut Terus

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan akan tetap memproses kasus dugaan korupsi di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) yang menyeret eks Wamenkumham, Eddy Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej. Kabag Pemberitaan KPK, Ali Fikri, menuturkan, putusan praperadilan juga telah dibahas bersama pimpinan.

“KPK tetap melanjutkan penanganan perkara tersebut dengan lebih dahulu melakukan proses dan prosedur administrasi penanganan perkara dimaksud sesuai ketentuan hukum yang berlaku,” kata Ali dalam keterangan tertulis, Kamis (1/2/2024).

Ali menjelaskan, KPK menghormati putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) atas gugatan yang diajukan Eddy Hiariej. Namun, dia mengingatkan gugatan praperadilan hanya menguji aspek formal.

Lebih lanjut, Ali menyatakan, substansi materiel dugaan perbuatan para tersangka dalam perkara tersebut hingga kini belum diuji di peradilan Tipikor. Selain itu, dalam praperadilan tidak ada pertimbangan materi perkara sebagai pertimbangan hakim.

KPK akan menyelesaikan proses-proses administrasi penyidikan yang sudah dibatalkan oleh PN Jakarta Selatan. Hakim dinilai lebih banyak menggunakan aturan-aturan umum di KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana), baik dari pengertian penyelidikan maupun penyidikan.

“Sementara KPK mempunyai aturan khusus seseorang sebagai tersangka. Pasal 43 dan 44 (UU KPK) masalah penyelidikan. Di situ sudah berbicara soal alat bukti. Ini artinya satu langkah lebih maju dari ketentuan di KUHAP,” ujar Ali.

Baca juga artikel terkait EDDY HIARIEJ atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Hukum
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Maya Saputri