tirto.id - Kubu Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka menghadirkan sejumlah ahli dalam persidangan sengketa hasil pemilihan umum yang digelar di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Kamis (4/4/2024). Dalam daftar ahli yang dihadirkan, ada nama mantan Wamenkumham, Eddy Hiariej.
Namun, kehadiran Eddy Hiariej dipersoalkan oleh kuasa hukum Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN), Bambang Widjojanto. Ia keberatan dengan kehadiran Eddy Hiariej karena statusnya yang pernah menjadi tersangka kasus korupsi di KPK.
“Saya mendapati informasi dari berita, ini terhadap sahabat saya juga ini, sobat Eddy. KPK terbitkan surat penyidikan baru terhadap Eddy,” kata Bambang di ruang sidang.
Bambang mengingatkan soal Eddy yang pernah menjadi tersangka, apalagi tindak pidana korupsi. Bambang meminta mantan wamenkumham itu untuk tidak menjadi ahli dalam sengketa PHPU. Ia mengajukan keberatan dan dicatat oleh Mahkamah.
Situasi semakin panas saat Bambang Widjojanto memilih walk out dari persidangan saat Eddy mendapat giliran bicara. Ia mengaku akan masuk begitu sudah ada keterangan ahli lain.
“Majelis karena tadi saya merasa keberatan, saya izin untuk mengundurkan diri ketika rekan saya Prof Hiariej akan memberikan penjelasan, nanti saya akan masuk lagi di saksi ahli yang lainnya, sebagai konsistensi dari sikap saya,” kata Bambang.
Eddy Hiariej sempat meminta majelis untuk menahan Bambang. Akan tetapi, Mahkamah yang dipimpin Suhartoyo mempersilakan Bambang untuk keluar forum sidang. Eddy pun protes karena aksi tersebut mengarah pada pembunuhan karakternya.
“Saya juga berhak untuk tidak terjadi characater assasination karena begitu dikatakan oleh saudara Bambang, hari ini pemberitaan dengan seketika mempersoalkan keberadaan saya. Saya hanya ingin mengatakan secara cuma 30 detik bahwa pemberitaan yang dsiampaikan oleh saudara Bambang itu tidak disapaikan secara utuh, pada saat itu Ali Fikri juru bicara mengatakan akan menerbitkan sprindik umum dengan melihat perkembangan kasus,” kata Eddy.
Selain itu, Eddy menerangkan bahwa pengadilan sudah membatalkan statusnya sebagai tersangka. Ia justru menyindir posisi Bambang yang ditetapkan sebagai tersangka di masa lalu, tetapi malah mendapatkan deponeering dari jaksa agung.
Sebelum meminta keterangan, Suhartoyo sempat menanyakan status Eddy sebagai ahli dari Universitas Gadjah Mada (UGM) atau tidak. Namun, Eddy mengaku hadir tanpa membawa izin kampus.
Di dalam persidangan, Eddy menyampaikan sejumlah keterangan seperti keabsahan pengusungan Prabowo-Gibran dan pembuktian nepotisme sebagaimana yang didalilkan kubu Ganjar-Mahfud.
Eddy Hiariej Berstatus Tersangka Lagi?
Pernyataan Bambang tentang status Eddy Hiariej tentu berdasar. KPK sebelumnya memang menetapkan Eddy Hiariej sebagai tersangka medio 2023. Meski akhirnya Eddy Hiariej menang praperadilan melawan KPK.
Eddy menjadi pesakitan KPK berawal dari laporan Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso. Ia melaporkan Eddy menerima dugaan gratifikasi hingga Rp7 miliar. Uang tersebut diklaim adalah fee konsultasi dan bantuan pengesahan badan hukum sebuah perusahaan. Penerimaan dilakukan saat Eddy berstatus sebagai wamenkumham.
Selain Eddy Hiariej, tersangka lainnya adalah pengacara Yosi Andika Mulyadi (YAM) dan asisten pribadi EOSH Yogi Arie Rukmana (YAR). Sementara itu, seorang lainnya yakni Direktur Utama PT Citra Lampia Mandiri (CLM) Helmut Hermawan (HH) telah ditahan oleh komisi antirasuah.
Akibat status tersebut, Eddy mengundurkan diri dari kursi wamenkumham. Ia juga menguji status hukum ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Eddy pun berhasil memenangkan permohonan pembatalan status tersangkanya di KPK.
“Menyatakan penetapan tersangka oleh termohon (KPK), sebagaimana dimaksud Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP terhadap pemohon (Eddy Hiariej) tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata hakim tunggal Estiono kala itu.
Tidak lama setelah pembatalan status tersangka Eddy Hiariej, KPK memberi sinyal untuk membidik kembali eks wamenkumham itu. Hal ini tidak lepas dari upaya Indonesia Corruption Watch (ICW) yang mendorong proses hukum Eddy.
“Kami masih terus melakukan analisis untuk siapkan sprindik barunya,” kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK, Ali Fikri, sebagaikana dikutip Antara pada 28 Februari 2024.
Eddy Hiariej Masih Layak Didengar Keterangannya?
Ketua Tim Hukum Prabowo-Gibran, Yusril Ihza Mahendra, mengakui ada protes dari Bambang Widjojanto terkait Eddy Hiariej sebagai ahli. Namun ia menekankan bahwa Eddy sudah mengajukan praperadilan dan tidak lagi berstatus tersangka.
“Dia (Eddy) enggak tersangka lagi. Sekarang ini katanya mau menetapkan tersangka lagi, lah kan belum. Nah, adaikata tersangka, ya tidak masalah juga. Siapa yang mengatakan tersangka tidak boleh menjadi ahli?” kata Yusril mempertanyakan di sela-sela jeda sidang.
Yusril menambahkan, “Bahkan kami patut mempertanyakan status Pak BW sendiri. Beliau itu kan tersangka, P21 dilimpahkan ke kejaksaan. Status beliau itu lagi apa sekarang ini? Tersangka selamanya, seumur hidup tersangka.”
Yusril menerangkan, kasus Eddy tidak bisa dibuka karena sudah dihentikan. Kasus itu dihentikan dalam praperadilan. Ia heran Bambang menyalahkan orang, tetapi tidak melihat diri sendiri.
Bambang enggan berkomentar banyak. Ia hanya memastikan upaya yang dilakukan sebagai semangat menegakkan integritas. “Saya mengambil sikap untuk menegakkan integritas sehingga saya menyerahkan kepada teman-teman terhadap kesaksian sahabat saya sebenarnya Profesor Eddy, saya tidak mau berdebat terlalu dalam,” kata Bambang di sela-sela jeda sidang.
Meski dibela kubu 02, tapi sejumlah ahli hukum mengkritik keras soal kehadiran Eddy Hiariej dalam persidangan. Ahli hukum tata negara dari Universitas Bengkulu, Beni Kurnia Illahi, mengatakan, tidak ada aturan spesifik tentang kapasitas ahli. Ia menuturkan, ahli adalah seseorang yang punya kapasitas secara teoritik dalam mengonstruksikan soal pemaparan ahli.
“Enggak ada aturan yang mendetail bagaimana syarat seorang ahli, yang penting dia punya kapasitas keilmuan secara teoritik yang bisa mengkonstruksikan pemaparan dia sebagai ahli, tapi bukan soal hukum atau apa, ini soal moral dan etik. Masak seorang mantan tersangka korupsi di KPK, lalu tiba-tiba tidak ada angin, tidak ada hujan, kemudian diminta untuk jadi saksi oleh pasangan 02 di Mahkamah Konstitusi,” kata Beni kepada Tirto, Kamis (4/4/2024).
Beni menilai, Eddy memang punya kapasitas secara hukum. Ia paham masalah hukum dan filsafat hukum. Akan tetapi, kata dia, posisi Eddy yang menjadi mantan tersangka korupsi dikhawatirkan mencoreng muruah Mahkamah Konstitusi dalam sengketa pemilu. Ia juga mengingatkan bahwa KPK saat ini tengah mencari cara untuk melanjutkan kembali proses hukum sehingga proses perkara belum selesai.
Beni khawatir, kehadiran Eddy tidak lepas dari upayanya untuk mendapat perlindungan dari kekuasaan agar tidak tersandung kasus korupsi di KPK. Ia menilai, spekulasi tersebut wajar muncul karena KPK saat ini berada di rumpun kekuasaan. Ia khawatir ada transaksi lanjutan Eddy dengan meminta kebebasan setelah Prabowo-Gibran menang penuh. Ia berharap, MK mau berhati-hati agar tidak terjebak potensi skenario terburuk tersebut.
“Di sanalah kebijaksanaan dari hakim konstitusi untuk melihat ini karena jangan sampai justru ini (sidang sengketa PHPU) dijadikan strategi bagi Eddy OS (Eddy Hiariej) untuk membebaskannya proses di KPK hari ini karena pasti ada hubungannya dengan Presiden Jokowi,” kata Beni.
Sementara itu, ahli hukum Universitas Andalas, Fery Amsari, tidak memungkiri potensi keterangan Eddy sebagai bagian dari senjata Presiden Jokowi untuk memuluskan niat memenangkan Prabowo-Gibran. Ia menyebut ada potensi bahwa Eddy adalah orang yang tersandera atau tengah mencari perlindungan.
“Memang sejauh ini rezim Jokowi selalu menggunakan senjata pada orang-orang yang terbelit kasus. Jadi menurut saya, hal-hal seperti ini akan terjadi di rezim seperti ini dan bukan tidak mungkin orang disandera perkara untuk kepentingan-kepentingan politik tertentu atau sebaliknya orang sudah berperkara dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan politik,” kata Feri kepada Tirto, Kamis (4/4/2024).
Feri menekankan bahwa keterangan penyalahgunaan anggaran bansos berdampak perolehan suara dari pihak-pihak tertentu. Ia mengingatkan ada mekanisme kecurangan atau fraud dengan pendekatan pork barrel politics atau politik gentong babi. Ia tidak memungkiri pemberian bansos sah sebagaimana dalil kubu 02, tetapi ada penyalahgunaan sebagai bagian kecurangan.
“Kalau nanti belajar referensi soal kecurangan pemilu, politik gentong babi itu memang terlihat sah, tetapi penyalahgunaan untuk kepentingan keterpilihan itulah yang menjadi fokus, bahkan ada penjelasan mengenai itu di dalam berbagai penelitian ilmiah, misalnya pork barrel budget," kata Feri.
Feri mempertanyakan status Eddy di persidangan. Ia mengingatkan Eddy adalah ahli hukum pidana sementara perkara tersebut adalah perkara sengketa pilpres. Ia lebih melihat ahli yang seharusnya diajukan adalah ahli sesuai kondisi saat ini.
“Itu kan hak dari yang mengajukannya, jadi tidak bisa juga untuk dilarang. Cuma tentu saja panggilan moralitas akan dipertanyakan publik kenapa kubu 02 memanggil orang yang bermasalah dengan KPK," kata Feri.
Di sisi lain, ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai Eddy tidak bisa menjadi ahli. Sebab, kata dia, keterangan Eddy dikhawatirkan tidak objektif.
“Seharusnya dengan status calon tersangkanya tidak boleh menjadi saksi/ahli karena keterangannya pasti tidak objektif,” kata Fickar kepada Tirto, Kamis (4/4/2024).
Fickar mengatakan, status potensi maupun status resmi tersangka akan menjadi beban ahli maupun saksi. Alhasil keterangan saksi maupun ahli bisa saja dalam rangka mencari perlindungan kekuasaan dan menjadi tidak objektif. Alhasil keterangan tidak membawa objektivitas.
“Artinya dia bukan berkapasitas sebagai akademisi, tetapi EH (Eddy Hiariej) pribadi karena itu dia berpihak pada 02,” kata Fickar.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz