tirto.id - Kecintaan kita pada sosok Denias tak bisa dilepaskan dari kecintaan kita kepada Maleo—seorang tentara yang ditugaskan di Desa Bonea, pedalaman Papua, namun kerap mengisi waktunya dengan mengajar anak-anak di sana.
Denias, Senandung di Atas Awan (2006) adalah film besutan sutradara John De Rantau yang berhasil memotret sisi getir pendidikan kita. Dalam film yang terinspirasi dari kisah nyata tersebut, publik melihat betapa semangat mengenyam pendidikan, terutama di sudut-sudut terpencil Indonesia, kerap bertolak belakang dengan sarana maupun prasarana pendidikan itu sendiri.
Namun demikian, keterbatasan hanya tinggal keterbatasan. Keberadaan tenaga-tenaga pengajar yang penuh dedikasi seperti Maleo—juga guru-guru lain se-tanah air—menjadi cahaya bagi keberlangsungan peradaban kita.
“Ia tak menjual madu, janji-janji beledu/ia hanya patut disebut ibu. Ibuku ibumu/karena ribuan anak telah melesat ke angkasa lewat pundaknya,” tulis penyair Iman Budi Santosa, dalam puisinya “Setangkai Bunga Buat Ibu Guru TK”.
Guru, dalam tingkat pendidikan apa pun, memang serupa jembatan bagi kesuksesan anak didiknya. Optimalisasi potensi murid tak jarang bergantung pada kecakapan sang guru dalam mengajar. Untuk itulah pepatah lama “guru kencing berdiri, murid kencing berlari” tak akan pernah usang. Guru adalah penentu nasib bangsa di masa mendatang.
Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyebut jumlah guru di Indonesia per bulan Desember 2018 adalah 3.010.545 orang guru. Dari jumlah tersebut, 1.391.867 orang guru merupakan PNS, dan sisanya, 1.618.678 orang merupakan guru-guru bukan PNS.
Mencetak Guru Sejahtera dan Unggul
Penyair Hartodjo Andangdjaja, yang punya CV sebagai guru SLTP Negeri Pasaman, Sumatera Barat, menuliskan pengalamannya mengajar para siswa dalam sebuah sajak yang menyentuh. “Dari Seorang Guru Kepada Murid-muridnya”.
Apakah yang kupunya, anak-anakku/selain buku-buku dan sedikit ilmu/sumber pengabdianku kepadamu./Kalau hari Minggu kau datang ke rumahku/aku takut, anak-anakku/kursi-kursi tua yang di sana/dan meja tulis sederhana/dan jendela-jendela yang tak pernah diganti kainnya/semua padamu akan bercerita/tentang hidupku di rumah tangga.
Bahwa upaya meningkatkan kualitas dan kompetensi guru tak bisa dilepaskan dari upaya meningkatkan kesejahteraan mereka, pemerintah pun menaruh perhatian besar terhadap hal tersebut. Tahun lalu, dana yang dialokasikan untuk tunjangan guru dan tenaga kependidikan berkisar di angka Rp870,879 miliar. Rinciannya: tunjangan khusus sebesar Rp476,177 miliar dan insentif PTK non PNS sebesar Rp 394,702 miliar. Jumlah tersebut masing-masing diserap oleh 37.266 orang PTK PNS dan 142.310 orang PTK non PNS.
“Tunjangan yang diberikan kepada guru, selain dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup, dapat pula digunakan untuk meningkatkan kemampaun profesionalnya,” kata Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Dr. Supriano, M.Ed.
Tak sekadar memberikan tunjangan untuk meningkatkan kesejahteraan, demi meningkatkan kualitas para guru, pemerintah juga konsisten menggelar berbagai program, misalnya: Uji Kompetensi Guru (UKG), pelatihan guru pasca-UKG, serta program Pengembangan Keprofresian Berkelanjutan (PKB).
“PKB ini bertujuan untuk meningkatkan kompetensi guru yang ditunjukkan dengan kenaikkan capaian nilai UKG dengan rata-rata nasional, yaitu 70. Pada 2016, nilai rata-rata nasional UKG adalah 56,69, melampaui target tahun tersebut yang tercantum dalam rencana strategis Kemendikbud, yaitu 55. Nilai ini juga meningkat dari tahun sebelumnya, yaitu 47,” terang laman Kemendikbud.
Setelah kesejahteraan dan kapasitas dirinya ditingkatkan, Kemendikbud, lewat Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan juga menggelar Pemilihan Guru dan Tenaga Kependidikan Berprestasi dan Berdedikasi. Tahun ini adalah tahun kedua penyelenggaraan kegiatan serupa.
“Acara ini merupakan langkah konkret menyukseskan visi pemerintah yang sekarang berfokus pada pembangunan manusia, serta semangat HUT ke-74 RI dengan tema ‘SDM Unggul Indonesia Maju’,” kata Supriano. Pihak Kemendikbud berharap, guru yang berprestasi dan berdedikasi dapat menjadi contoh dan teladan bagi murid dan lingkungan ekosistem pendidiknya.
Pemilihan Guru dan Tenaga Kependidikan Berprestasi dan berdedikasi Tingkat Nasional tahun ini diikuti 694 orang guru dan tenaga kependidikan dari 34 provinsi. Para peserta pemilihan terdiri atas para guru, kepala sekolah, pengawas sekolah, dan tenaga kependidikan, dan merupakan hasil seleksi berjenjang dari tingkat kabupaten/kota, provinsi, hingga nasional.
Para peserta dibagi ke dalam 28 kategori, sesuasi jabatan fungsional dan jenjang pendidikan. “Jadi, ada penghargaan kategori Guru, Kepala Sekolah, Pengawas dengan jenjang TK, SD, SMP, SMA, SMK, dan kategori Berprestasi, sesuai fungsi dan jenjang pendidikannya, termasuk bagi guru-guru Sekolah Luar Biasa dan sekolah-sekolah inklusif lainnya,” terang Supriano.
Para pemenang setiap kategori lomba mendapat masing-masing 20 juta rupiah untuk juara 1, 15 juta rupiah untuk juara 2 dan 10 juta rupiah untuk juara 3. Peserta lain yang tidak memperoleh juara memperoleh imbalan prestasi senilai 3 juta rupiah.
Para guru yang mengabdi di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) juga ikut diapresiasi. Menurut Supriano, penghargaan ini adalah kategori khusus sehingga penilaiannya dibuat berbeda. “Para guru hanya perlu mengumpulkan dokumen dedikasi dan profil pengabdian. Penilaian dilakukan lewat presentasi para guru tentang pengalaman kerja mereka di lapangan.”
Penilaian-penilaian tersebut dilakukan selama rangkaian Pemilihan Guru dan Tenaga Kependidikan Berprestasi dan Berdedikasi yang berlangsung sejak Selasa (13/8) sampai Jumat (16/8). Para guru dan tenaga kependidikan yang dinilai juga diajak untuk mengikuti Rapat Sidang Paripurna 16 Agustus di DPR RI, dan Upacara 17 Agustus di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Rasio Guru dan Sistem Zonasi
Selain langkah-langkah di atas cara lain untuk meningkatkan SDM peserta didik yang sekarang sedang ditempuh oleh pemerintah adalah dengan memberlakukan sistem zonasi.
Menurut Supriano, saat ini, rasio guru dan murid adalah 1 berbanding 17. Karena itu, sistem zonasi sekolah menjadi penting untuk melihat efektivitas rasio guru. “Dengan sistem zonasi, permasalahan dapat dipersempit menjadi skala mikro. Hal ini akan membuat pemetaan menjadi lebih jelas karena masalah yang dihadapi di setiap wilayah tidak dilimpahkan ke pusat,” katanya.
Sistem zonasi pendidikan juga membuat rasio guru dan murid menjadi lebih jelas. Misalnya, saat sebuah sekolah hanya punya siswa sedikit bahkan tidak punya guru, sekolah tersebut bisa saja digabung. Sistem zonasi juga bisa menjadi dasar pemetaan kualitas dan kompetensi guru yang ada, termasuk guru-guru yang multi-subject dan multi-grade. Dengan sistem zonasi, pertukaran pengetahuan memungkinkan lebih cepat terjadi.
Tak lepas dari segala upaya yang telah dilakukan pemerintah, kita berharap, nasib para guru akan meningkat, seiring meningkatnya kualitas pendidikan kita di masa depan.
(JEDA)
Penulis: Tim Media Servis