tirto.id - Fenomena frugal living kini semakin banyak dijalani masyarakat Indonesia sebagai bentuk perlawanan terhadap rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen yang ditetapkan pemerintah. Kenaikan PPN 12 persen yang mulai berlaku pada awal Januari 2025 ini, memicu kekhawatiran di kalangan masyarakat, terutama bagi kelas menengah dan bawah.
Frugal living sendiri adalah istilah untuk merujuk kepada seseorang yang menerapkan gaya hidup hemat dan berkaitan dengan Financial Independent Retire Early (FIRE) atau mandiri finansial dan pensiun dini.
P.A Kusumawardhany dalam studinya berjudul Frugal Lifestyle Trend Among Generation Z How Do They Spend Money?, menjelaskan bahwa frugal living adalah gaya hidup yang cermat. Jadi, konsep frugal living berbeda dengan gaya hidup minimalis.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai frugal living, pada dasarnya menekankan pada pengeluaran yang sangat efisien dan meminimalisir konsumsi barang dan jasa. Namun, kali ini digunakan sebagai salah satu bentuk perlawanan terhadap kebijakan dari pemerintah.
"Sebenarnya frugal living ini adalah sebuah respons terhadap kegagalan kebijakan khususnya pungutan tarik pajak yang semakin memberatkan kelompok menengah. Jadi jangan frugal living-nya disalahkan. Tapi kebijakan itulah yang memunculkan frugal living," kata Bhima kepada Tirto, Jumat (27/12/2024).
Apalagi, kata Bhima, Upah Minimum Provinsi (UMP) pada tahun depan naiknya hanya 6,5 persen. Kenaikan ini tidak sebanding dengan naiknya PPN 12 persen yang dampaknya luas sekali. Berdasarkan hitungan Celios, kelompok menengah harus membayar Rp350 ribu per bulan.
"Ini akibat PPN dari 11 persen menjadi 12 persen karena berlaku hampir ke semua barang," terangnya.
Maka, tidak heran jika fenomena frugal living ini terus berkembang dan menjadi sebuah gerakan sosial yang mencerminkan rasa ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan yang dianggap merugikan. Dengan makin banyaknya masyarakat yang beralih ke pola hidup ini, ada harapan bahwa suara mereka akan didengar dan kebijakan fiskal yang lebih adil dapat segera diterapkan.
"Pemerintah harusnya merespons ajakan frugal living ini dengan segera membatalkan berbagai jenis pungutan. Bukan hanya PPN 12 persen tapi juga kenaikan iuran BPJS Kesehatan, Tapera dan lain-lain," jelas Bhima.
Manfaat Frugal Living
Ekonom senior dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, mengamini bahwa frugal living merupakan fenomena yang muncul akibat daya beli masyarakat yang menurun. Kenaikan PPN menjadi 12 persen, bisa menjadi pemicunya. Namun, terlepas dari itu fenomena ini justru bisa menjadi sebuah tren yang positif.
"Ini sebenarnya merupakan tren positif karena menjadikan belanja sebagai keputusan rasional, setiap rupiah yang dikeluarkan diukur aspek manfaat dan biayanya," jelas Wijayanto kepada Tirto, Jumat (28/12/2024).
Frugal living, lanjut Wijayanto, menempatkan manusia sebagai makluk ekonomi yang rasional. Frugal living akan menggeser pengeluaran atas barang-barang yang tidak perlu, menjadi barang-barang yang lebih bermanfaat.
"Dalam pengambilan keputusan, kebutuhan akan lebih dominan daripada keinginan," terang Wijayanto.
Pertama dapat lebih menghargai apa yang dimiliki. Dengan frugal living masyarakat akan belajar menghargai apa yang dimiliki dan bersyukur atas sumber daya yang dimiliki dan belajar untuk memanfaatkannya sebaik mungkin. Daripada membuang barang-barang lama, masyarakat pada akhirnya bisa belajar untuk menggunakan kembali dan membiarkan sedikit yang terbuang.
Manfaat lainnya, bisa jadi mulai merasa utang berkurang. Beban utang sering kali mengikat orang pada pekerjaan dan lokasi yang mereka benci karena mereka merasa tidak punya pilihan lain. Setelah utang lenyap, masyarakat akan memiliki kebebasan untuk memilih profesi dan lokasi yang membuat bahagia.
"Jadi masyarakat secara alamiah melakukan frugal living untuk bertahan hidup. Khawatir kalau mereka tidak melakukan frugal living terjebak kepada pinjaman online yang semakin memberatkan. Jadi masuk dalam siklus lingkaran setan nantinya," ujar Bhima dari Celios.
Dampak Frugal Living Jika Dilakukan Secara Masif
Kendati memberi manfaat, namun Bhima khawatir jika frugal living ini dilakukan secara masif sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pemerintah, akan berdampak kepada penurunan konsumsi rumah tangga. Jika konsumsi rumah tangga menurun, maka penerimaan negara tidak akan tercapai dan rasio pajak tetap rendah.
Diketahui, dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 yang telah disepakati antara pemerintah dan Badan Anggaran (Banggar) DPR, penerimaan negara ditargetkan mencapai Rp3.005,13 triliun dari rancangan semula dalam Buku II Nota Keuangan Beserta RAPBN Tahun Anggaran 2025 Rp2.996,87 triliun.
Di saat yang bersamaan pemerintah juga akan menaikan rasio pajak hingga mencapai 23 persen hingga 2029. Adapun rasio pajak saat ini berada di bawah 12 persen.
"Dan [dampaknya] dari sisi pertumbuhan ekonomi bisa di bawah 5 persen untuk 2025," jelas Bhima.
Manajer Riset Sekretaris Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Baidul Hadi, mengamini frugal living akan memiliki dampak yang signifikan terhadap rasio pajak jika kegiatan tersebut dilakukan menjadi gerakan masif. Sebab, pengeluaran konsumsi masyarakat akan menurun terutama untuk barang dan jasa yang dikenakan PPN.
"Karena kita sangat tahu, karena PPN dihitung berdasarkan konsumsi, penurunan ini otomatis akan berimbas mengurangi penerimaan negara. Sehingga tax ratio terhadap PDB bisa negatif," jelas Baidul kepada Tirto, Jumat (27/12/2024).
Selain itu, frugal living juga bisa memiliki dampak pada kesenjangan yang makin lebar antara target penerimaan dan realiasi penerimaan pajak. Ini karena masyarakat beralih pada barang dan jasa yang tidak terkena dampak penaikan PPN.
Dalam jangka pendek, frugal living bisa berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini karena konsumsi domestik merupakan pendorong utama PDB di Indonesia yang kontribusinya mencapai 55-60 persen.
Sedangkan, dalam jangka panjang frugal living akan berdampak memperburuk ketimpangan ekonomi, terlebih jika pemerintah gagal menyeimbangkan kebijakan penaikan PPN dengan daya beli masyarakat.
Oleh sebab itu, kata Baidul, pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan pajak yang berkeadilan. Misalnya, dengan kebijakan yang progresif untuk kelompok berpenghasilan tinggi, mengurangi barang/jasa esensial, dan memastikan pajak mengurangi beban masyarakat menengah dan bawah.
"Pemerintah perlu menguatkan kebijakan jaring pengaman sosial untuk kelompok rentan sebagai upaya menjaga daya beli masyarakat," kata Baidul.
Dalam artian, masyarakat akan membeli apa yang menjadi kebutuhan utama sehari-hari saja.
"Akan ada pengurangan belanja misalnya jajan-jajan makanan minuman ringan misalnya, dan kemungkinan besar pembelian durable goods akan tertahan (elektronik, kendaraan bermotor, dan sebagiannya). Hal ini dapat mengurangi permintaan barang dan jasa pada produk tertentu," jelas Annisa kepada Tirto, Jumat (27/12/2024).
Sementara, terkait dengan dampaknya terhadap rasio pajak, menurut Annisa, ini perlu analisis lebih jauh seberapa besar pengaruhnya pada industri manufaktur dan badan usaha.
Jika permintaan dan penawaran turun drastis, maka dapat berdampak pada penurunan tax ratio melalui penurunan pajak penghasilan maupun PPN karena penurunan produktivitas dan penurunan permintaan.
"Daya beli masyarakat saat ini, terutama middle class, sudah tergerus hal ini sudah dapat dilihat dari capaian indikator makro," kata Annisa.
Lebih lanjut, dia mengatakan dengan peningkatan PPN 12 persen, maka akan terjadi peningkatan biaya hidup. Di sisi lain, kelas menengah dihadapkan dengan risiko PHK yang akan terus berlanjut di tahun depan. Sementara, bantuan paket kebijakan dalam rangka peningkatan PPN 12 persen, belum banyak mengakomodir kebutuhan kelas menengah.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Bayu Septianto