tirto.id - Menghadapi risiko kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 mendatang, sejumlah stimulus ekonomi dicanangan. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut sejumlah jaring pengaman yang akan diberikan oleh pemerintah untuk sementara.
Pertama, pemerintah akan memberikan bantuan pangan berupa beras kemasan 10 kilogram selama 12 bulan kepada 16 juta keluarga penerima manfaat. Kemudian, potongan harga sebesar 50 persen selama dua bulan untuk daya terpasang 450 Va sampai 2200 Va.
Bagi kelas menengah, pemerintah menyediakan kompensasi berupa kebijakan Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP). Dengan PPN DTP, Airlangga menyebut bahwa masyarakat kelas menengah dapat membeli rumah dengan harga jual maksimal Rp5 miliar, dengan PPN yang ditanggung untuk DPP (Dasar Pengenaan Pajak) sampai Rp2 miliar. Pemberian PPN DTP ini dilakukan dengan skema diskon sebesar 100 persen untuk bulan Januari-Juni 2025, kemudian diskon 50 persen untuk bulan Juli-Desember 2025.
Di sektor otomotif, pemerintah menerapkan PPN DTP bagi bagi kendaraan listrik berbasis baterai hingga hybrid. Pemerintah juga memberikan insentif pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 DTP bagi sektor padat karya dengan gaji sampai Rp10 juta per bulan.
Bagi pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) diberikan akses kemudahan jaminan kehilangan pekerjaan dan bagi pelaku UMKM atau industri mendapat kompensasi PPh final 0,5 persen dari omzet sampai dengan tahun 2025.
“Pemerintah memberikan insentif PPH Pasal 2021 ditanggung oleh pemerintah, yaitu yang gajinya sampai Rp10 juta,” kata Airlangga dalam konferensi pers Paket Kebijakan Ekonomi di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Senin (16/12/2024).
Keputusan pemerintah itu didukung oleh mayoritas fraksi di DPR, misalnya PAN melalui Ketua Fraksinya, Putri Zulkifli Hasan, ikut mendukung narasi pemerintah soal kenaikan PPN. Dia menjamin bahwa PPN 12 persen akan diimbangi dengan sejumlah kebijakan fiskal dan memastikan barang kebutuhan pokok terbebas dari PPN.
“Kenaikan PPN menjadi 12 persen bukan sekadar langkah fiskal, tetapi juga wujud nyata prinsip gotong royong dalam membangun bangsa. Dengan memastikan barang kebutuhan pokok tetap bebas PPN, pemerintah memberikan perlindungan kepada masyarakat rentan, sementara kontribusi dari kelompok yang lebih mampu diarahkan untuk mendukung pembangunan nasional,” kata Putri dalam keterangan pers, Minggu (23/12/2024).
Menindaklanjuti aturan soal jaringan pengaman sosial, Kementerian Sosial langsung melakukan percepatan penggelontoran bantuan sosial (bansos) sebelum PPN 12 persen diterapkan.
Tenaga Ahli Menteri Sosial Bidang Perencanaan dan Evaluasi Kebijakan Strategis, Andy Kurniawan mengatakan bahwa Kemensos akan mempercepat penyaluran Program Keluarga Harapan (PKH) yang menyasar 10 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang semula dijadwalkan pada akhir triwulan I dipercepat menjadi awal 2025.
Kemensos akan menyiapkan Bantuan Pangan Non Tunai atau sembako untuk 18,8 juta KPM yang akan disalurkan setiap bulan, dan segera digelontorkan pada awal 2025. Kemensos juga akan menanggung bantuan makan bergizi gratis untuk 36.000 penyandang disabilitas dan 101.000 lansia.
“Hingga saat ini bantuan sosial tambahan masih dalam tahap pembahasan, diharapkan dapat menjadi bantalan untuk membantu mengurangi beban pengeluaran masyarakat, khususnya keluarga miskin,” kata Andy dalam keterangan pers.
Bansos Tak Mampu Topang Kebutuhan Ekonomi Masyarakat
Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies), Bhima Yudistira, menyebut bahwa kondisi ekonomi Indonesia dalam keadaan perfect storm atau dalam kondisi yang sangat buruk. Subsidi dan bansos kebutuhan pokok dinilai lagi tidak relevan di tengah pelemahan kurs rupiah, daya beli tertekan, pertumbuhan kredit melandai khususnya segmen UMKM, dan situasi eksternal perang dagang meningkat hingga pengaruhi stabilitas devisa.
Bhima bahkan meminta pemerintah menurunkan PPN menjadi 8-9 persen pada Januari 2025 mendatang atau membuat Perppu Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) agar kenaikan PPN dibatalkan.
"Opsi lain 2 Januari 2025 PPN diturunkan jadi 8-9% sesuai Pasal 7 di mana pemerintah punya opsi mengubah tarif PPN antara 5-15%," katanya.
Dia juga menyebut 4 paket kebijakan ekonomi sebagai stimulan ekonomi pasca kenaikan PPN tidaklah efektif. Menurutnya, proyeksi penerimaan PPN 12 persen yang diklaim mencapai Rp 75 triliun tak sebanding dengan dampak luas ke penurunan output ekonomi sebesar Rp79,7 triliun. Dampak buruk lainnya adalah penaikan PPN ini mengurangi pendapatan masyarakat secara agregat Rp64,8 triliun.
"Stimulus tidak mampu mengurangi beban ekonomi yang ditanggung masyarakat dan pelaku usaha," kata dia.
Menurutnya, bansos tidak mampu menjadi pengaman ekonomi saat masyarakat Indonesia akan menghadapi momen lebaran dalam waktu dekat. "Lagipula begitu bansos beras dan diskon listrik kan sampai Februari 2025, setelah itu bulan Maret 2025 masuk ramadhan di mana harga barang naik tinggi. Percuma bansos kalau tidak dilanjutkan hingga selesai lebaran," katanya.
Hal senada juga disampaikan oleh Executive Director at Center of Reform on Economics (CORE), Mohammad Faisal. Ia memaparkan bahwa bansos dan program subsidi pemerintah tidak memiliki pengaruh untuk menjaga ekonomi Indonesia pasca kenaikan PPN.
Faisal menyebut salah satu kelompok yang tidak terakomodasi terhadap paket kebijakan pemerintah itu adalah kelompok kelas menengah yang rawan menjadi aspiring middle class atau kelompok yang sedang menuju kelas menengah alias rentan miskin.
"Karena yang sekarang menjadi sorotan dari sisi daya beli justru kelas menengah, kelas menengahnya begitu, jadi efeknya yang paling serius sebetulnya di intervensinya seharusnya adalah kelas menengah," kata dia.
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto, menegaskan bahwa satu-satunya solusi untuk menjaga kondisi ekonomi Indonesia dengan segala kenaikan kebutuhan anggaran negara adalah dengan menunda kenaikan PPN. Dengan penundaan tersebut, daya beli dan konsumsi masyarakat dapat terjaga dengan baik.
"Solusi terbaiknya menunda kenaikan, setidaknya sampai laju konsumsi secara relatif konsisten berada di atas pertumbuhan ekonomi," kata Eko.
Co-Founder & Advisor, Paramadina Public Policy Institute (PPPI) Wijayanto Samirin, memaparkan bahwa kenaikan PPN memiliki pengaruh nyata terhadap daya beli masyarakat. Walaupun sudah ditopang dengan berbagai macam skema aturan jaring pelindung untuk berbagai kelas masyarakat.
Namun dia mengapresiasi upaya pemerintah yang menyiapkan bansos hingga subsidi berbagai kebutuhan untuk warga. Sehingga, meski masih banyak kekurangan, stimulan itu tetap dibutuhkan warga jika PPN tetap harus naik.
"Pasti tetap terjadi penurunan daya beli akibat kenaikan PPN. Simpelnya, kenaikan penerimaan negara akibat kenaikan PPN lebih besar dari dana yang digelontorkan untuk berbagai insentif, tetap ada resources yang bergeser dari masyarakat ke negara; yang dalam jangka pendek akan mempengaruhi daya beli masyarakat," kata Wijayanto.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Rina Nurjanah