tirto.id - Dalam film The Rise of the Planet of the Apes (2011), seekor kera laboratorium bernama Caesar dikisahkan mewarisi kecerdasan induknya. Setelah disuntik ALZ-112, obat berbasis virus yang dipercaya bisa menyembuhkan penyakit alzheimer kelak, kecerdasan dan keaktifan Caesar bertambah. Tak hanya berkembang menjadi simpanse yang bisa berbicara, Caesar bahkan digambarkan memimpin pemberontakan simpanse seisi kota terhadap penindasan spesies kerabatnya: manusia.
Sebuah pemandangan tak lazim di sebuah pulau terpencil bernama Jicaron yang terletak di Taman Nasional Coiba, Panama, mengingatkan saya pada The Rise of the Planet of the Apes. Sekelompok monyet Kapusin dari genus Cebus kedapatan memakai peralatan batu. Mereka terlihat sedang mengangkat sebuah batu besar—kira-kira setengah dari berat badannya—dan menumbukkannya untuk membuka kerang, cangkang kepiting, siput, dan kacang-kacangan. Tentu tak ada pengaruh obat eksperimental alzheimer, tak ada pula intervensi manusia.
Hampir setiap hari monyet-monyet Kapusin ini memakai alat batu tersebut. Dilansir dari The Washington Post, batu-batuan itu didapat dari sungai dan di sekitar pantai. Tak semua monyet Kapusin berperilaku serupa. Hanya monyet jantan saja yang terlihat memakai peralatan batu dan cuma kawanan Kapusin di garis pantai sepanjang satu mil saja yang menampakkan perilaku memasuki "Zaman Batu". Fenomena yang sama tidak ditemukan pada kawanan monyet Kapusin di daerah lainnya meski masih berada di Pulau Jicaron.
Perilaku eksklusif Kapusin ini pertama kali diketahui secara tidak sengaja. Mulanya, para ilmuwan dari ahli botani yang terjun di Pulau Jicaron lebih tertarik mengulik tentang keanekaragaman flora. Sampai akhirnya, mata mereka teralih oleh perilaku tak lazim sekelompok monyet Kapusin. Akhirnya mereka melakukan penelitian dan pengamatan khusus terhadap perilaku unik monyet Kapusin di Pulau Jicaron ini, satu hal yang ternyata telah menjadi rahasia umum di kalangan ilmuwan Smithsonian Tropical Research Institute (STRI) selama bertahun-tahun.
Tidak mudah menjangkau Pulau Jicaron. Selain biayanya besar, butuh cuaca yang bagus untuk berlayar sejauh 35 mil. Tapi berlayar saja tak cukup. Perjalanan harus ditempuh dengan berkemah, hiking, berenang hingga sampai di lokasi.
Dari hasil pengamatan yang dimuat dalam laporan bertajuk "Habitual stone-tool aided extractive foraging in white-faced capuchins, Cebus capucinus (2018), tim riset yang terdiri dari Brendan J Barrett, Claudio M Monteza-Moreno, Tamara Dogandžić, Nicolas Zwyns, Alicia Ibañez, dan Margaret C. Crofoot menemukan perilaku kompleks lainnya yang ditunjukkan oleh kelompok monyet Kapusin.
Mereka hidup berkelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari sekitar 20 ekor kera. Kadang mereka terlihat menggosok-gosokan tanaman di tubuh seolah sedang mengobati penyakit. Mereka juga bisa membela diri dengan sebilah tongkat bila diserang ular. Mereka pun kedapatan sedang bermain dengan melewati kolong tongkat dan batu yang disusun.
Aktivitas unik lainnya yang mungkin juga sakral nampak ketika kera-kera Kapusin ini menempelkan jari di hidung dan mata kawanannya.
Unik, Tidak Seragam, Memasuki Zaman Batu
Tubuh kera Kapusin sebesar kucing rumahan. Gerakannya lincah dan matanya ekspresif. Mereka dipandang sebagai jenis monyet yang cepat belajar dan menunjukkan perilaku sosial dengan memperhatikan kawanannya.
Secara biologis, monyet Kapusin tergolong dalam keluarga kera besar (Hominidae) bersama dengan gorila, simpanse, orangutan, dan manusia. Secara endemik, Kapusin hidup di seluruh hutan hujan di Amerika Tengah.
Sejak 2011, para ilmuwan membagi kera Kapusin ke dalam dua kelompok besar, yaitu Robust Capuchin yang masuk ke dalam genus Sapajus, dan Gracile Capuchin di genus Cebus. Perbedaan dua genus ini paling nampak pada warna putih di sekujur bahu sampai kepala Kapusin genus Cebus, dan warna badan yang sepenuhnya hitam pada genus Sapajus.
Melihat rekam jejak penelitian terhadap perilaku monyet Kapusin, sebetulnya temuan Barrett dan ilmuwan lainnya di Pulau Jicaron bukan sesuatu yang benar-benar baru. Jenis Kapusin dari genus Sapajus setidaknya telah banyak diketahui menunjukkan kecerdasan tertentu.
Pada 2015 lalu, misalnya, muncul laporan yang disusun oleh Michael Haslam dan Tiago Falotico yang berjudul "Nasal probe and toothpick tool use by a wild female bearded capuchin (Sapajus libidinosus)". Laporan dua ahli primata asal Universitas Oxford itu mengungkap perilaku monyet betina capuchin dari genus Sapajus yang kedapatan membuat sebuah alat mirip tusuk gigi.
Menurut artikel yang dimuat di jurnal Primate itu, kera Kapusin kadang sengaja memancing bersin dengan memasukkan alat itu ke hidung. Mereka tampak fasih melakukannya. Yang membuat temuan ini penting adalah bahwa perilaku tersebut dilakukan oleh monyet betina. Sementara monyet jantan sebelumnya telah diketahui sering memakai alat yang sama.
Selain itu, sekelompok Kapusin liar di Taman Nasional Serra da Capivara, Brasil ini juga terlihat membelah kulih buah atau biji dengan batu lalu memakannya. Bahkan dalam laporan riset Haslam lain yang berjudul "Pre-Columbian monkey tools (2016)", monyet Kapusin dari genus Sapajus diperkirakan telah memakai peralatan batu sejak 600 sampai 700 tahun yang lalu.
Sangat jarang ada laporan tentang kasus Kapusin Cebus di alam liar yang sehari-hari memakai peralatan batu atau kayu. Umumnya, beberapa Kapusin menampakkan kecerdasan dalam penggunaan alat ketika hidup di penangkaran, bukan di alam liar. Pada 2004, makalah Antonio Christian de A. Moura dan Lee berjudul "Capuchin Stone Tool Use in Caatinga Dry Forest" melaporkan penemuan atas Kapusin Cebus di hutan kering Caatinga, Brazil, yang sedang menggali tanah dengan batu.
Temuan Barret dkk di Pulau Jicaron nampaknya jadi mata rantai terbaru riset-riset sejenis tentang kera Kapusin. Temuan ini bahkan lebih menonjol dibandingkan laporan tentang Kapusin cebus di hutan Caatinga. Apalagi, tidak semua Kapusin Cebus di pulau Jicaron memasuki periode Zaman Batu.
Jika dibandingkan dengan keluarga Kera Besar lainnya, perilaku monyet Kapusin ini juga bukan yang pertama atau paling spesial. Dalam sebuah laporan penelitian yang terbit pada 2007, diketahui pula bahwa kawanan simpanse di Pantai Gading telah menggunakan perkakas batu sejak 4.300 tahun silam.
Pada 2015, New Scientists melaporkan hasil pengamatan peneliti atas perilaku sejumlah kera Bonobo. Mereka berkesimpulan bahwa kemampuan kera Bonobo menggunakan peralatan batu atau kayu untuk membuka dan menemukan makanan rupanya sudah sangat mirip dengan apa yang dilakukan manusia purba. Meski perilaku Bonobo ini muncul di area penangkaran, perilaku yang sama diyakini juga muncul pada Bonobo yang hidup di alam liar.
Dikutip dari Scientific American, perilaku beberpaa kawanan simpanse di tiga negara (Guinea Bissau, Pantai Gading, Liberia) menunjukkan gerak-gerik yang mirip ritual manusia. Mereka menyimpan bebatuan di ceruk pohon. Seekor simpanse kemudian tampak berbicara dengan beberapa buah batu dan melemparkannya kembali ke pohon.
Pada 1994, primatolog Belanda Carel van Schaik menyaksikan perilaku Orangutan di Sumatra yang tengah berburu ikan dengan sebilah tombak.
Di Pulau Piak Nam Yai Thailand pada 2016 silam, BBC melaporkan bahwa perilaku kera liar Makaka telah memasuki periode Zaman Batu karena memakai perkakas batu untuk membuka kulit kerang dan kacang. Selain itu, para peneliti menemukan bahwa peralatan batu tertua yang digunakan kera Makaka berusia 50 tahun.
Meski demikian, ada dugaan bahwa perilaku kera Makaka sudah berlangsung sejak ribuan tahun silam. Keadaan Pulai Piak Nam Yai yang terisolir dari daratan diyakini mempengaruhi perilaku mereka.
Kehidupan Manusia Purba di Zaman Batu
Perilaku sekelompok Kapusin baik di Brasil maupun Panama, atau kawanan Simpanse di Afrika Barat, dan Kera Makaka di Thailand sangat mirip manusia purba di Zaman Batu.
Zaman Batu sendiri adalah sebutan untuk periode awal dari tiga zaman yang pernah dilalui manusia, yakni Zaman Batu, Zaman Perunggu dan Zaman Besi. Periodisasi yang menitikberatkan pada fase penggunaan teknologi oleh manusia purba ini pertama kali dicetuskan oleh ilmuwan Denmark bernama Christian J. Thomsen pada akhir abad ke-19.
Lantas seperti apa kehidupan di Zaman Batu?
Selama periode Zaman Baru, para manusia purba bergenus Homo memburu apapun yang mereka anggap bisa dimakan. Mereka berpindah-pindah tempat untuk mencari sumber makanan. Para homo memotong, mengiris makanan, dan memercikkan api untuk memasak dengan perkakas batu. Mereka juga menggunakan kulit binatang untuk membuat pakaian dan tempat berlindung.
Orang-orang Zaman Batu sudah mengenal busur, panah tombak, hingga jaring untuk menunjang aktivitas perburuan. Selain batu, potongan tulang atau tanduk juga menyayat mangsa.
Sebagian besar ilmuwan sepakat bahwa Zaman Batu dimulai 2,5 juta tahun lalu di Afrika. Beberapa lainnya bahkan mengklaim Zaman Baru telah dimulai 3,4 juta tahun silam. Tahun 2200 SM disepakati sebagai awal dari akhir Zaman Baru sekaligus permulaan Zaman Perunggu di Timur Tengah.
Zaman Batu dipecah lagi ke dalam tiga sub-periode, yakni Paleolitikum, Mesolitikum, dan terakhir Neolitikum.
Selama ini, kecerdasan berperan penting tak hanya sebagai pembeda antara manusia dan keluarga Kera Besar, tapi juga antara manusia dan seluruh makhluk hidup di muka bumi. Dengan tingkat kecerdasan yang berkembang sejak Zaman Batu sampai Zaman Modern, spesies manusia alias Homo Sapiens telah jauh meninggalkan tingkat kecerdasan spesies-spesies lainnya.
Tapi tampaknya kecerdasan Kera Besar sebagai kerabat terdekat dari manusia juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Banyak dari perilaku Kera Besar, baik bonobo, simpanse, orangutan, hingga kapusin menunjukkan sisi "manusia" yang kerap lebih pintar dari yang kita bayangkan.
Dengan menempatkan sejumlah spesies Kera Besar di periode serupa Zaman Batu, para ilmuwan pada dasarnya sedang mengamati proses evolusi primata secara luas, sebuah proses yang pernah, sedang, dan akan terus dilewati spesies manusia. Barangkali akan tiba waktunya kera-kera ini menemukan api kemudian bahasa, dua hal yang menjadi benih kecerdasan manusia modern.
Editor: Windu Jusuf