tirto.id - Tim dari Balai Arkeologi Jawa Barat melakukan ekskavasi (penggalian yang dilakukan di tempat yang mengandung benda purbakala) ketiga di Situs Nyi Subang Larang pada 12 April 2018. Situs ini terletak di Desa Nanggerang, Kecamatan Binong, Kabupaten Subang. Ekskavasi pertama dilakukan pada tahun 2013, sebagai ekskavasi percobaan. Kemudian pada tahun 2016 dilakukan ekskavasi kedua. Semua kegiatan ekskavasi tersebut dikerjakan sebagai tindak lanjut dari sejumlah temuan masyarakat di kompleks situs tersebut.
Lutfhi Yondri sebagai perwakilan dari Balai Arkeologi Jawa Barat mula-mula diundang ke lokasi tersebut pada tahun 2011, untuk melihat berbagai benda yang ditemukan masyarakat secara tidak sengaja saat melakukan kegiatan pertanian. Setelah dilihat, ternyata benda-benda yang jumlahnya ribuan tersebut adalah manik-manik, beliung persegi, dan sejumlah tembikar yang berasal dari zaman prasejarah.
Pada ekskavasi pertama tahun 2013, tim peneliti hanya menemukan bagian tulang manusia yang sangat kecil. Tiga tahun berikutnya, dengan masa kerja 14 hari, benda-benda yang ditemukan lebih banyak dan beragam. Tim peneliti menemukan sejumlah manik-manik yang terbuat dari kaca dan tanah liat bakar, fragmen gerabah, fragmen tembikar, taring babi, serta dua rangka manusia yang sudah tidak utuh, salah satunya bagian tulang paha.
Kedua manusia itu masing-masing membujur ke arah barat laut dan disertai bekal kubur. Manusia pertama membawa bekal kubur berupa periuk atau wadah tembikar yang terletak di atas badannya. Sementara bekal kubur manusia kedua berupa senjata yang terletak di sebelah kanan badan.
Pada ekskavasi yang dilakukan tahun 2018, yang dikerjakan selama 10 hari, tim peneliti menemukan kembali sejumlah manik-manik yang terbuat dari logam mulia, batu pasir, terakota, dan kaca. Selain itu ditemukan juga taring babi dan tembikar yang cukup besar dengan kondisi yang sudah lapuk. Kondisi tersebut membuat tembikar tidak diangkat, tapi dibiarkan tertanam di tanah, tim peneliti tengah mencoba membuat replikanya.
Semua temuan dari ketiga ekskavasi itu, menurut Yondri, menunjukkan jejak manusia Austronesia yang bermigrasi dari Asia Daratan menuju Indonesia. Berdasarkan analisis pertanggalan, kedua rangka manusia yang ditemukan pada ekskavasi kedua diperkirakan usianya di angka 45 ribu tahun sebelum masehi.
Di Jawa Barat, temuan jejak manusia Austronesia ini bukan yang pertama. Sebelumnya telah ditemukan rangka manusia di daerah Rancah, Kabupaten Ciamis, yang usianya diperkirakan 600 ribu tahun sebelum masehi. Lalu ada juga jejak manusia di Gua Pawon, Kabupaten Bandung Barat, rang usianya diperkirakan 11 ribu tahun sebelum masehi.
Sejumlah temuan dari zaman prasejarah di Situs Nyi Subang Larang tidak ada kaitannya dengan tokoh tersebut. Alasan pertama, karena secara periode jelas berbeda. Kedua, sampai sekarang belum dapat dipastikan di mana letak kuburan salah satu istri raja Kerajaan Pakuan Pajajaran tersebut.
Situs yang sekarang banyak dikunjungi masyarakat ini adalah hasil pencarian secara spiritual beberapa tokoh yang meyakini bahwa lokasi tersebut sebagai salah satu maqom (bukan makam/kuburan) atau petilasan Nyi Subang Larang.
Pendaratan Pertama dan Sebaran Manusia Austronesia
Salah satu proses migrasi manusia Austronesia, tambah Yondri, adalah dari Asia Daratan menuju ke kawasan Nusantara, dan salah satu jalur yang ditempuhnya adalah wilayah barat. Berdasarkan teori migrasi, seharusnya Jawa Barat memiliki temuan di lapisan sekitar 35 ribu tahun yang lalu. Sejauh ini yang masih menjadi pertanyaan para peneliti adalah lokasi pendaratan pertama di Jawa Barat dari proses migrasi tersebut.
“Karena produk-produk budayanya kita temukan seperti misalnya di Gunung Padang, Kabupaten Cianjur. Namun, kita belum temukan manusianya, siapa yang membangunnya. Dari teori budayanya, yang membangun semua itu adalah masyarakat yang bermigrasi dari kelompok ras Austronesia itu, karena mereka sudah membawa kepercayaan, memuja roh leluhur. Namun, dari perubahan garis pantai, yang memungkinkan titik untuk dicari lokasi pendaratan itu adalah daerah-daerah ketinggian,” ujarnya.
Truman Simanjuntak dalam “Progres Penelitian Austronesia di Nusantara” (jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 33, No. 1, Juni 2015) menjelaskan bahwa kawasan sebaran Austronesia melampaui batas-batas kenegaraan, mulai dari Kepulauan Paskah di ujung timur hingga Madagaskar di ujung barat, serta dari Taiwan-Mikronesia di utara hingga Selandia baru di selatan. Di Nusantara, ada beberapa wilayah yang tidak termasuk Austronesia, seperti Alor, Pantar, Halmahera Utara, dan pedalaman Papua.
Menurut Simanjuntak, dalam model peristiwa besar di Nusantara, yaitu peristiwa yang membawa perubahan besar di berbagai bidang kehidupan yang menjadi patokan awal periode perkembangan budaya, manusia Austronesia terbagi menjadi tiga periode.
Pertama, Austronesia Prasejarah, yang dimulai sejak kehadiran awal di kepulauan hingga 2000 tahun sebelum masehi. Kedua, Austronesia Protosejarah, yang berkembang sekitar 2000 tahun sebelum masehi hingga abad ke-4/ke-5 masehi. Dan ketiga, cakupan waktunya terhitung sejak kemerdekaan hingga sekarang,
“Hingga dimulainya proses pembentukan budaya nasional yang merupakan campuran tradisi-tradisi budaya asli dan budaya modern,” tulis Simanjuntak tentang periode yang ketiga.
Berdasarkan berbagai penelitian arkeologi di sejumlah tempat di Nusantara, dalam rentang periode yang berbeda-beda, ditemukan sejumlah tinggalan budaya Austronesia, seperti misalnya yang dilakukan di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, ditemukan rangka manusia yang memiliki ciri-ciri manusia pendukung budaya Austronesia.
Temuan lain terdapat juga di kawasan kars Bukit Bulan, Sarolangun, Jambi, berupa gambar cadas warna hitam figur antropomorfik di Gua Sungai Lului dan Gua Kerbau. Sementara di Enrekang, Sulawesi Selatan, ditemukan lukisan cap tangan di dinding tebing kars, juga artefak batu, tembikar, dan wadah kubur dari kayu yang disebut mandu atau duni.
Semua temuan jejak kebudayaan manusia Austronesia di Nusantara, secara detail ditulis dalam berbagai jurnal arkeologi dan proses penelitiannya didanai oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Maulida Sri Handayani