tirto.id - Tahun 1990 boleh jadi merupakan warsa penting dalam studi arkeologi Indonesia. Itu bukan label yang berlebihan jika menimbang temuan arkeologis pada saat itu.
Di sepanjang sejarah Indonesia merdeka, para arkeolog belum lagi menemukan tinggalan-tinggalan fantastis seperti Borobudur atau fosil spesies baru manusia purba. Keadaan itu berubah secara mendadak pada Oktober 1990. Biangnya adalah temuan serbaneka artefak emas di Wonoboyo, suatu pedesaan yang tidak jauh dari Candi Prambanan.
Lebih mencengangkan lagi, berat total barang-barang emas kuno tersebut mencapai 32 kg. Temuan artefak emas dalam jumlah semasif itu sampai sekarang belum ditemukan padanannya lagi di tempat lain di Indonesia. Itu adalah harta karun dalam arti yang sesungguhnya. Didekat situs emas tersebut, para arkeolog juga berhasil menyingkap sisa-sisa suatu kompleks pemukiman kuno.
Menilik pentingnya temuan dari Situs Wonoboyo, jurnal Berkala Arkeologi yang diterbitkan oleh Balai Arkeologi Yogyakarta menerbitkan suatu edisi khusus untuk membahasnya.
Sebelum diterbitkan dalam jurnal tersebut pada 1993, artikel-artikel di dalamnya telah diseminarkan lebih dulu di Klaten pada 23-24 Oktober 1992. Artikel-artikel di dalam edisi khusus tersebut pun terbilang komprehensif dengan bahasan-bahasan dari aspek arkeologi, keramologi, epigrafi, planologi, dan bahkan juga manajemen pelestarian situs.
Sejauh ini, edisi khusus Berkala Arkeologi tersebut masih merupakan terbitan dengan bahasan terlengkap tentang Situs Wonoboyo.
Wonoboyo Kota Emas?
Situs Wonoboyo semula diduga merupakan pemukiman elite dari era Mataram Kuno. Ph. Subroto dalam artikel “Misteri Situs Wonoboyo” (1993) menyebut analisis sampel arang menunjukkan bahwa situs tersebut kemungkinan dihuni hingga abad ke-14 sebelum ditinggalkan.
Para arkeolog juga mencari petunjuk dari inskripsi-inskripsi yang tertera pada beberapa temuan emas. Secara paleografis, ia ditaksir berasal dari abad ke-9 atau ke-10 Masehi. Temuan keramik yang berciri Dinasti Tang memberi taksiran waktu yang lebih tua, yakni antara abad ke-7 hingga ke-9 Masehi.
Tak hanya soal tarikh, dari semua petunjuk yang ada, para arkeolog juga memperkirakan bahwa Situs Wonoboyo mungkin adalah pemukiman golongan elite. Bahkan, muncul pula dugaan bahwa Situs Wonoboyo merupakan sisa-sisa ibu kota Dinasti Sailendra.
Para arkeolog yang mengadakan penggalian dan penelitian awal di Wonoboyo memadankan situs ini seperti halnya Situs Trowulan yang dianggap sebagai ibu kota Majapahit.
“Namun kepastian mengenai hal itu masih membutuhkan data pendukung yang lebih banyak lagi. Jika data yang ada cukup lengkap tidak mustahil akan dapat diketahui golongan masyarakat yang pernah tinggal di situs itu dan bahkan hubungannya dengan penguasa pada waktu itu,” tulis Subroto dalam artikelnya.
Bugie Kusumohartono juga menyanggah pendapat awal tersebut melalui artikel “Situs Wonoboyo: Pemukiman Kuna pada jenjang yang mana?” (1993). Seturut penelusurannya, temuan emas di Wonoboyo ternyata tidak berasosiasi langsung dengan tinggalan pemukiman kuno yang ada di dekatnya.
Kusumohartono sampai pada pendapat tersebut berdasar analisis stratigrafi (lapisan tanah) di situs tersebut. Tinggalan-tinggalan emas Wonoboyo rupanya ditemukan pada lapisan tanah yang lebih dalam daripada temuan pemukiman di dekatnya. Hal itu mengindikasikan bahwa barang-barang emas dan pemukiman kuno itu berasal dari periode yang berbeda.
Menurut Kusumohartono, pemukiman kuno di Wonoboyo berasal dari antara abad ke-14 dan ke-15, sedangkan emas-emas Wonoboyo berasal dari abad ke-8 hingga ke-10. Taksiran ini juga didukung data bahwa kawasan Lembah Prambanan di mana Situs Wonoboyo berada diperkirakan tertimbun abu vulkanik letusan Merapi pada abad ke-10.
Bahkan, setelah melakukan pembandingan dengan beberapa situs pemukiman kuno lain di Jawa, Kusumohartono malah mendapati bahwa pemukiman kuno Wonoboyo sebenarnya tidak punya “keistimewaan” sama sekali.
Kusumohartono mendapati bahwa kuantitas temuan di Situs Wonoboyo amatlah sedikit jika dibandingkan dengan situs-situs pemukiman kuno lain yang dipakai sebagai pembanding. Luas area Situs Wonoboyo pun jauh lebih kecil dibanding yang lain. Ia hanya meliputi 1.5 Ha, sementara situs-situs pembandingnya memiliki luas rata-rata di atas 20 Ha.
Maka terlalu berlebihan menaksir Situs Wonoboyo sebagai ibu kota Dinasti Sailendra. Bagi Kusumohartono, Situs Wonoboyo lebih mungkin merupakan sisa-sisa suatu wanua—sebutan untuk unit wilayah seukuran desa di masa Klasik. Wanua dalam konteks Nusantara Kuno merupakan bagian dari suatu watak, kesatuan wilayah dengan ruang lingkup setara kabupaten atau provinsi saat ini.
Mangkuk Emas Wonoboyo
Saat ini, kita dapat menyaksikan sebagian besar temuan-temuan spektakuler itu di Museum Nasional Indonesia di Jakarta. Artefak-artefak tersebut dipamerkan dalam satu seksi khusus dengan tajuk “Khazanah Emas Wonoboyo” di Lantai 4, Gedung B, Museum Nasional.
Timbul Haryono dalam artikel “Kumpulan Artefak Emas dari Wonoboyo” (1993) menjabarkan bahwa artefak emas di Wonoboyo banyak sekali ragam wujudnya. Emas-emas itu kebanyakan tergolong dalam tiga kelompok benda, yakni wadah, perhiasan, dan mata uang.
“Barang-barang tersebut merupakan jenis barang-barang perhiasan dan kelengkapan upacara milik bangsawan atau raja dan merupakan benda-benda regalia, simbol kerajaan,” simpul Haryono.
Di antara tinggalan-tinggalan emas itu, artefak yang paling menarik adalah mangkuk atau basi emas berhias relief kisah Ramayana. Relief cerita itu terdiri dari beberapa panel yang menghiasi seluruh permukaan luar mangkuk berukuran 21x14 cm tersebut.
Fragmen cerita Ramayana yang digambarkan di antaranya adegan Sita digoda oleh kijang emas, Rama berburu kijang emas, Rama memanah kijang emas yang berubah wujud menjadi Kala Marica, Sita diculik oleh Rahwana, Rahwana-Sita bertemu dengan Jatayu, dan Sita yang sudah ada di Keraton Alengka.
Relief-relief tersebut dibuat dengan detail yang luar biasa. Tak hanya menggambarkan tokoh-tokoh utama Ramayana, si seniman pembuat mangkuk itu juga menggambarkan lanskap yang begitu rinci dan indah. Kita bisa dengan mudah mengidentifikasi gambar-gambar pohon, rumah, dan balai-balai di latar belakangnya. Pun sisi menariknya tak habis di situ saja.
“Menarik perhatian adalah penggambaran relief Ramayana ini dalam berbagai hal mirip dengan penggambaran pada relief Ramayana di candi Prambanan,” terang Haryono.
Temuan mangkuk emas dengan relief Ramayana yang sedemikian raya itu terang menunjukan sisi kosmopolitanisme masyarakat Jawa Kuno. Masyarakat Jawa yang mapan dari segi sumber daya alam, dikombinasikan dengan kemapanan ilmu pengetahuan dan juga kemampuan bertukar budaya dengan bangsa lain. Kombinasi-kombinasi itulah yang melahirkan temuan agung di Situs Wonoboyo.
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Fadrik Aziz Firdausi