Menuju konten utama
Mesin Waktu

Di Balik Patung Gajah Museum Nasional Pemberian Raja Rama V

Raja Rama V dari Siam (Thailand) berkunjung tiga kali ke Hindia Belanda. Di kunjungan kedua, dia membawa pulang sejumlah besar artefak purbakala dari Jawa.

Di Balik Patung Gajah Museum Nasional Pemberian Raja Rama V
Patung gajah perunggu di Museum Nasional. (FOTO/Museum Nasional)

tirto.id - Sejak pertengahan hingga akhir abad ke-19, Jawa telah menjadi favorit banyak pelancong-pelancong mancanegara yang berkunjung ke Hindia Belanda. Ada beberapa hal yang membuat Jawa menjadi tujuan populer.

“Di samping pemandangan alam dan cuaca, Jawa juga mempunyai modal lain yang berharga: pesona reruntuhan bangunan kuno yang semakin hari semakin menarik perhatian orang Eropa,” tulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Batas-Batas Pembaratan (2005).

Pada akhir abad ke-19, banyak candi tersingkap di Jawa. Beberapa di antaranya boleh menyandang predikat spektakuler. Sebutlah misalnya Candi Borobudur dan kompleks Prambanan.

Saat itu, candi-candi tersebut memang belum terlalu mendapat sentuhan restorasi. Namun, itu pun cukup untuk membuat para pelancong yang mengunjunginya terkagum. Ungkapan kekaguman itu dapat kita baca dalam catatan-catatan beberapa pelancong terkenal, misalnya Eliza Scidmore, Ida Pfeifer, Carl Sofus Lumholtz, dan John James Aubertin.

Keindahan alam dan pesona kekunoan Jawa rupanya juga turut memikat Raja Siam, Rama V atau Chulalongkorn. Seturut catatan sejarah, raja yang bertakhta pada 1868-1910 itu pernah tiga kali mengunjungi Hindia Belanda, yakni pada 1871, 1896, dan 1901.

Jejak kunjungan Raja Chulalongkorn pun sampai saat ini masih dapat kita lihat di halaman depan Museum Nasional Indonesia. Itulah patung gajah perunggu yang kemudian jadi cikal bakal museum ini dijuluki Museum Gajah.

Lawatan Raja Rama V ke Hindia Belanda

Pada 1871, Raja Chulalongkorn melakukan perjalanan pertamanya ke negeri-negeri selatan, tepatnya Singapura dan Hindia Belanda. Perjalanan itu mendobrak tradisi lama raja-raja Thailand sebelumnya.

“Untuk pertama kalinya, seorang raja Siam (Thailand) meninggalkan kerajaannya. Hal ini merupakan perubahan radikal terhadap tradisi sekaligus langkah menakjubkan menuju awal yang baru,” tulis Kannikar Sartraproong dalam “Reading Documents, Writing History: Reflections of a Thai Historian in Writing on King Chulalongkorn of Siam’s Visit to Singapore and Java in 1871” (2011).

Kunjungan Raja Chulalongkorn itu bukanlah untuk sekadar pelesiran semata. Sang raja disebut banyak mempelajari berbagai hal baru dari negara-negara yang dia kunjungi.

Raja Chulalongkorn menuju ke Batavia dengan kapal kerajaan Pitayamronnayuth. Di Batavia, Raja mengunjungi beberapa tempat, salah satunya adalah Museum Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Raja mendapat kesan baik dari kunjungannya tersebut.

“Pada kunjungan pertama, Raja Chulalongkorn menulis kesan bahwa dia mengagumi koleksi museum tersebut,” kutip sejarawan Achmad Sunjayadi (2019) dari buku Journeys to Java by a Siamese King karya Imtip Pattajoti Suharto (2001).

Selain Batavia, pada kunjungan pertamanya yang berlangsung dari 9 Maret hingga 15 April 1871 ini, Raja Chulalongkorn juga menyempatkan diri untuk menyambangi Semarang.

Perjalanan kedua Raja Chulalongkorn ke Hindia Belanda terjadi 25 tahun kemudian, tepatnya pada 9 Mei hingga 12 Agustus 1896. Pada kesempatan ini, Raja Chulalongkorn berkunjung ke beberapa kota yang ada di Jawa. Kota-kota itu antara lain, Batavia, Buitenzorg, Sukabumi, Bandung, Garut, Cirebon, Pekalongan, Semarang, Surakarta, Yogyakarta, Kediri, Surabaya, dan Pasuruan.

Saat berada di Yogyakarta, Raja Chulalongkorn berkunjung ke beberapa lokasi, seperti Keraton Kasultanan Yogyakarta untuk bertemu dengan Sri Sultan Hamengkubuwana VII. Sang Raja lalu berkunjung ke daerah Prambanan untuk melihat candi-candi yang ada di sana.

“Pada hari Minggu pagi (28 Juni 1896), Raja dan Ratu Siam beserta rombongan melakukan perjalanan ke Brambanan,” tulis surat kabar De Locomotief (30 Juni 1896).

Dalam kunjungannya ke Brambanan, Raja Chulalongkorn didampingi oleh beberapa orang, salah satunya adalah Isaac Groneman. Dia adalah yang bertanggungjawab melakukan kegiatan pembersihan di sekitar percandian Prambanan pada 1889.

Raja dan rombongan melihat reruntuhan candi induk Prambanan hingga waktu makan siang. Sang Raja kemudian juga dinobatkan menajdi anggota kehormatan Archeologische Vereeniging.

“Sebelum duduk di meja, presiden Archeologische Vereeniging (Groneman) meminta B.M E Raaff untuk berbicara dan memberikan Yang Mulia keanggotaan kehormatan asosiasi tersebut,” tambah surat kabar De Locomotief.

Kunjungan Raja Chulalongkorn yang terakhir terjadi pada 5 Maret hingga 24 Juli 1901. Kota-kota yang dikunjungi sama seperti dengan kunjungan kedua, tapi pada kunjungan kali ini, Raja juga menyambangi Magelang.

Buah Tangan Kunjungan Kedua

Dalam berbagai kesempatan saat berkunjung ke Jawa, Raja Chulalongkorn selalu membawa pulang beberapa benda khas dari beberapa daerah. Usai kunjungannya yang pertama pada 1871, misalnya, sang Raja membawa pulang beberapa kain sarung dan batik dari Semarang.

“Lima potong koleksinya (Rama V) berasal dari usaha batik terkenal milik Carolina Josephina von Franquemont (1817-1867),” ungkap Dale Carolyn Gluckman melalui tulisannya “Unexpected Consequences The Javanese batik collection of Thailand’s King Rama V (r. 1868-1910)” (2021).

Mendapatkan kesan yang baik dalam kunjungan pertamanya, dua tahun kemudian, Raja Chulalongkorn mengirimkan hadiah kepada Pemerintah Kolonial Hindia Belanda berupa patung gajah perunggu.

Pada kunjungan keduanya, Raja Chulalongkorn lagi-lagi membawa pulang buah tangan. Namun kali ini, buah tangan itu bukan lagi kain.

“Dengan persetujuan resmi dari Gubernur Jenderal C.H.A. van der Wijck, Raja Chulalongkorn dengan hati-hati memilih beberapa benda dari Borobudur untuk dibawa pulang ke Bangkok,” tulis Marieke Bloembergen dan Martin Eickhoff dalam “Exchange and Protection of Java’s Antiquities: A Transnational Approach to the Problem of Heritage Colonial Java” (2013).

Ada cukup banyak artefak yang dibawa oleh Raja Chulalongkorn dari Candi Borobudur. Menurut Theodoor van Erp dalam “Eenige Mededeelingen Betreffende de Beelden en Fragmenten van Boroboedoer in 1896 Geschonken aan Z. M. den Koning van Siam” (1917), ada lima patung Buddha dan dua arca singa.

Selain itu, Raja Chulalongkorn membawa beberapa ornamen, seperti makara, dua kepala singa, dua kepala kala, dua dagoba kecil, batu berukir, dan patung dwarapala. Daftar itu belum habis karena Raja Chulalongkorn juga membawa beberapa benda purbakala dari Candi Prambanan dan Candi Singosari.

Dari Candi Prambanan, Raja Chulalongkorn membawa beberapa relief Ramayana dan beberapa arca. Sedangkan dari Candi Singosari, sang Raja membawa beberapa arca.

“Ceritanya, Chulalongkorn pulang ke istananya dengan membawa benda-benda yang diangkut dalam delapan pedati,” tambah Marieke Bloembergen dan Martin Eickhoff (2013).

Benda-benda purbakala sebanyak itu diangkutnya ke Semarang dan diteruskan ke Siam dengan kapal uap kerajaan.

Polemik Izin Gubernur Jenderal

Izin dari Gubernur Jenderal C.H.A. van der Wijck bermula dari desakan Isaac Groneman.

“Groneman juga terlibat dalam keputusan Pemerintah Hindia Belanda untuk mengabulkan permohonan mendesak yang diajukan Raja Siam, Chulalongkorn II, agar memperkenankannya membawa pulang beberapa relief dan arca dari tempat-tempat suci Hindu-Buddhis di Jawa sebagai cendera mata lawatan kenegaraannya,” jelas Roy Jordaan dalam “Candi Prambanan, Sebuah Pendahuluan Mutakhir” yang menjadi bagian buku Memuji Prambanan; Bunga Rampai Cendikiawan Belanda tentang Kompleks Percandian Loro Jongrang (2009).

Beberapa kalangan amat menyayangkan keluarnya izin tersebut. Dan segera setelah Raja Chulalongkorn pulang hingga beberapa tahun setelahnya, ia menimbulkan polemik.

Theodoor van Erp dalam tulisannya “Eenige Mededeelingen Betreffende de Beelden en Fragmenten van Boroboedoer in 1896 Geschonken aan Z. M. den Koning van Siam” (1917) mencatat beberapa tokoh yang sempat melayangkan keberatannya atas izin Gubernur Jenderal van der Wijck, di antaranya J.A.N. Patijn dan J.F. Niermeijer.

Ada pula mantan jurnalis bernama J. F. Scheltema yang menyatakan ketidaksetujuannya. Bahkan menurut Marieke Bloembergen dan Martin Eickhoff (2013), Scheltema menyebut bahwa kejadian itu sebagai tahun yang paling membawa bencana bagi Candi Borobudur.

Pendapat Scheltema tidak berlebihan. Pasalnya, selain benda-benda purbakala berizin gubernur jenderal, Raja Chulalongkorn masih pula mengangkut artefak lain yang diperoleh dari beberapa penguasa lokal yang dia kunjungi. Salah satunya adalah pemberian dari Mangkunegara VI.

“Di antara yang terakhir adalah Pangeran Mangkunegara VI di Solo yang mempersembahkan kepada Chulalongkorn empat patung Buddha dari koleksinya. Arca-arca itu diduga berasal dari Candi Plaosan,” tulis Marieke Bloembergen dan Martin Eickhoff (2013).

Dari banyaknya arca-arca dan benda purbakala lain yang dibawa oleh Raja Chulalongkorn, ada beberapa benda yang kemudian dipulangkan kembali ke tempat asalnya. Hal itu bisa terjadi lantaran usaha beberapa ahli purbakala. Di antara yang berhasil kembali adalah beberapa relief dari Kompleks Prambanan.

“Berkat upaya-upaya diplomatik P.V. van Stein Callenfels dan G. Coedes, dua relief Ramayana dari Candi Brahma dan sebuah relief Krishna dari Candi Wisnu kemudian dipulangkan dan akhirnya diletakkan kembali di tempat yang sebenarnya dalam pemugaran yang direncanakan atas kompleks percandian itu,” tulis Roy Jordaan (2009).

Roy Jordaan juga menambahkan bahwa keduanya kembali setelah ditukar dengan fragmen dari Candi Singosari yang menjadi bagian dari arca Ganesa yang sebelumnya juga dibawa Raja Chulalongkorn.

Baca juga artikel terkait MESIN WAKTU atau tulisan lainnya dari Omar Mohtar

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Omar Mohtar
Penulis: Omar Mohtar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi