tirto.id - Arkeologi bawah laut adalah sesuatu yang asing bagi banyak orang. Bagi para pencinta kultur pop, seperti saya, mungkin mengenal arkeologi dari film seperti Indiana Jones. Tapi Mr Jones tidak bekerja di bawah laut. Kemudian saya juga mengenal kegiatan bawah laut melalui manga seperti Waga Na wa Umishi yang terbit di Indonesia dengan judul Master of Sea. Tapi ini juga bukan soal arkeologi bawah laut, melainkan kegiatan salvage alias penyelamatan bangkai kapal/ barang di bawah laut.
Pekerjaan sebagai arkeolog bawah laut, atau kadang juga dikenal sebagai arkeolog maritim, pada akhirnya memancing banyak pertanyaan. Untunglah saya dan rekan, Zulkifli Songyanan, dipertemukan dengan Jennifer McKinnon.
Jenn, panggilan akrabnya, punya latar belajar arkeologi maritim sekaligus manajemen warisan budaya. Sebagai seorang peneliti, dia telah bekerja di kawasan Amerika Serikat, Australia, Pasifik, hingga Karibia. Dia merupakan seorang dosen senior di Universitas Flinder jurusan Arkeologi Maritim, serta arkeolog bawah laut di Biro Riset Arkeologi Florida.
Sore itu kami membincangkan banyak hal, mulai dari kegemarannya terhadap konstruksi kapal kayu, hingga apa yang bisa dikolaborasikan untuk membuat arkeologi maritim jadi lebih populer di Indonesia.
Jen, terima kasih, Jen, atas waktumu. Kami ingin bertanya tentang latar belakangmu dan juga tentang minatmu terhadap warisan budaya bawah laut. Lalu kami ingin bertanya lebih lanjut tentang konteks di Indonesia dan tentang bagaimana keahlianmu dapat digunakan dalam konteks warisan budaya di Indonesia.
Jadi kami ingin bertanya tentang apa yang menginspirasimu untuk menekuni karier arkeologi maritim? Karena ini adalah profesi yang langka. Dan kurasa ini pertama kalinya aku bertemu dengan seorang arkeolog bawah laut.
Jadi saya memulai sebagai arkeolog terestrial yang bekerja di daratan. Dan saya bekerja di situs pendaratan Spanyol di Florida tempat aku dibesarkan. Saya kepanasan, berkeringat, dan dikelilingi serangga. Yang ada di pikiranku waktu itu ya nyemplung ke laut biar segar dan adem.
Terus aku malah berpikir: bagaimana para pelaut Spanyol ini datang. Bagaimana mereka sampai di sini? Kapal apa yang mereka tumpangi? Apa yang mereka bawa? Jadi saya jadi tertarik dengan sejarah kapal, konstruksi kapal, eksplorasi, kolonisasi, dan berpikir tentang apa yang harus kamu bawa saat pergi ke luar negeri, ke negeri jauh yang tidak kamu ketahui sama sekali? Jadi, apa kapal ini terbuat dari apa? Dan bagaimana kamu membangun kapal yang akan membuat kamu bisa berlayar? Jadi, saya menyelesaikan gelar arkeologi terestrial saya dan kemudian lanjut studi untuk dapat gelar master dan doktor tentang topik arkeologi maritim.
Jadi bisa dibilang pekerjaan arkeolog maritim itu bukan impian masa kecil kamu?
Sebenarnya, saya ingin menjadi arkeolog sejak kelas delapan. Jadi, ketika saya di kelas delapan, ada kompetisi membuat kartu nama di kelas saya. Dan saya membuatnya menjadi kartu nama arkeologi. Dan saya menang kompetisi itu. Dan kemudian sekitar kelas sembilan, saya mulai bertanya kepada orang tua: maukah mereka membelikan saya majalah arkeologi. Waktu itu, saya benar-benar kutu buku yang mendapatkan majalah arkeologi di sekolah menengah dan saya mendapat semacam peniti kecil dari Institut Arkeologi Arkeologi. Dan itu saja. Jadi sebenarnya sejak dulu saya sudah ingin menjadi arkeolog.
Jadi, bisakah kamu menjelaskan lebih lanjut tentang penemuan bangkai kapal yang paling penting atau mungkin soal penelitian kamu?
(Terdiam cukup lama)... Ini pertanyaan bagus.
Jadi, jujur, saya tidak tahu apakah saya memiliki penemuan yang paling penting. Saya pikir beberapa situs yang pernah saya garap yang paling penting bagi saya adalah apa yang diceritakan dari situs tersebut. Jadi, ketika saya menyelidiki kendaraan amfibi, seperti kapal pendarat dari Perang Dunia II, apa dampaknya, dll, saya tidak melakukan itu.
Sudah banyak yang membuat catatan tentang kendaraan di Perang Dunia II, dan kami yang punya catatan detail, kerap membandingkan catatan kami dengan catatan yang sudah ada. Dari sana, kami menyadari bahwa awak kapal amfibi, yang bangkai kapalnya kami temukan, telah memodifikasi kapal tersebut untuk mencoba memperpanjang umur kapal dan membuat mereka lebih aman. Jadi mereka memasang semacam baju zirah berat seperti di medan perang, mereka menambahkan senjata lain, mereka memasang lebih banyak baja di bagian depannya karena harus melewati terumbu karang yang bisa membuat kapalnya bocor.
Jadi mengidentifikasi tindakan individu orang-orang sangat menarik bagi saya, lalu kami menemukan bahwa modifikasi yang tepat itu kemudian dikirim kembali ke pabrik selama perang dan mereka menggabungkannya ke versi kapal terbaru mereka. Ini seperti menemukan bahwa tindakan para individu ini punya peran dalam kemajuan teknologi.
Kisah-kisah seperti itu yang sangat menarik bagi saya.
Bicara soal teknologi, menurutmu bagaimana teknologi membantumu menemukan atau dalam penelitian tentang reruntuhan atau warisan budaya di bawah air?
Teknologi itu sangat sangat penting. Misal sonar yang membantu memindai obyek di bawah laut. Teknologi sekarang berkembang jadi lebih canggih. Ada Lidar (light detection and ranging) yang berasal dari pesawat yang terbang di area yang luas. Kami bisa mengidentifikasi bangkai kapal dan pesawat terbang. Jika dalam sebuah misi, laut dirasa terlalu dalam maka kami bisa mengirimkan ROV (remotely operated underwater vehicle) atau AUV (autonomous underwater vehicle). Dengan dua kendaraan ini, kami bisa merekam keadaan bawah laut dalam. Jadi, teknologi sangat penting untuk apa yang kami kerjakan.
Jadi, Jenn, ceritakan pada kami: apa sih yang dibutuhkan untuk menjadi seorang arkeolog yang tertarik secara khusus pada warisan budaya bawah laut, apa yang dibutuhkan dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menjadi arkeolog bawah laut. Dan apakah seorang arkeolog bawah laut harus menjadi divemaster?
Divemaster berbeda dari arkeolog penyelam. Jadi, untuk menjadi divemaster dan bekerja seperti divemaster di atas kapal, kamu biasanya harus memiliki sertifikasi penyelama, dan kemudian ya, kamu harus melakukan lebih banyak penyelaman di kedalaman yang berbeda dan belajar cara menyelamatkan, mempelajari pemberian oksigen untuk penyelamatan darurat, CPR, pertolongan pertama, dan sebagainya. Jadi, lebih banyak penyelaman dan lebih banyak protokol keselamatan yang harus kamu lalui, pelatihan.
Sedangkan untuk arkeolog maritim, sejujurnya, saya pikir pertama-tama kamu harus suka arkeologi.
Saya pikir jika kamu tertarik pada penyelaman, kamu bisa menjadi arkeolog bawah laut. Tetapi jika kamu hanya tertarik pada menyelam, arkeolog maritim mungkin bukan untukmu. Karena jujur kami malah menghabiskan lebih banyak waktu di darat. Sedangkan di dalam air itu sedikit saja. Kami banyak memproses data, menulis, merencanakan perjalanan, dll.
Apakah perlu sertifikasi khusus atau semacamnya untuk menjadi seorang arkeolog maritim
Ya, jadi kamu bisa memulai dengan mendapat gelar sarjana di bidang maritim atau antropologi atau arkeologi dengan spesialisasi di bidang maritim. Setelahnya, kamu bisa melanjutkan studi ke magister dan doktoral. Tetapi untuk mulai bekerja di bidang arkeologi maritim, biasanya kamu memperoleh gelar sarjana dan setelahnya mencari sertifikat penyelaman atau lisensi penyelaman.
Jadi kamu tertarik pada arkeologi terestrial terlebih dahulu, lalu kamu beralih ke arkeologi maritim. Lalu, apa yang membuat kamu tertarik untuk fokus ke bangkai peninggalan Perang Dunia II?
Pada awalnya, aku tak tertarik secara khusus pada bangkai kapal/ pesawat Perang Dunia II. Karena yang bikin saya tertarik adalah konstruksi kapal kayu. Dan ini kan sudah tidak dipakai di PD II.
Komunitas-lah yang lantas membuat saya masuk ke ranah PD II. Waktu itu saya pergi ke Kepulauan Mariana untuk meneliti tentang bangkai kapal Spanyol. Ketika sampai di sana, mereka tahu bahwa saya memiliki latar belakang pengembangan jalur warisan maritim dari pengalaman saya sebelumnya di Florida. Terus mereka bilang, "Bisakah kamu menunda penelitian soal Spanyol? Dan maukah kamu membantu kami mengembangkan jejak warisan maritim dari situs Perang Dunia II?"
Jadi saya mulai melakukannya dan awalnya saya tak suka logam. Semuanya berkarat (tertawa). Tetapi semakin banyak saya membaca tentang sejarah dan melihat situsnya, semakin saya bersemangat tentang sejarah PD II.
Saya sendiri tidak memiliki sejarah militer dalam keluarga saya selain kakek dan paman. Jadi bagi saya, mempelajari bangkai peninggalan PD II ini adalah... area yang sama sekali baru. Saya harus belajar sendiri saat itu karena tidak ada kelas dalam konstruksi pesawat terbang. Saya belajar konstruksi kapal. Saya tidak belajar konstruksi pesawat terbang. Jadi saya harus belajar sendiri.
Saya juga belajar cara mencatat situs, apa yang harus dicari, bagaimana memahami bagaimana pesawat ini bisa jatuh, dll. Hal ini menang dipelajari di sekolah, tapi ketika di lapangan, arenanya sudah berbeda. Dan saya pikir ini tantangan yang sangat menarik, dan saya senang menghadapinya.
Apa tantangan terbesarmu dalam belajar hal-hal baru ini?
Ketika saya mulai menekuni area ini, tidak banyak orang yang berkecimpung. Seingatku, hanya ada kira-kira tiga orang yang bekerja meneliti bangkai pesawat yang merupakan fokus area saya.
Selain itu, publikasi pertama soal arkeologi PD II itu tahun 1990, jadi masih relatif baru. Selain itu, ketika awal saya memulai kerja di area ini, sebagian besar peneliti adalah laki-laki. Tapi kemudian di tahun 2000, kemudian 2010, saya melihat area ini makin diminati. Saya sudah mulai mengajar beberapa mahasiswa pasca sarjana, dan sebagian dari mereka adalah perempuan.
Kami ingin bertanya pendapatmu tentang bagaimana hukum dan perjanjian internasional bisa memengaruhi pelestarian warisan budaya bawah laut.
Ya, yang paling penting adalah konvensi UNESCO tentang perlindungan warisan budaya bawah laut. Mereka meminta semua negara untuk meratifikasi agar bisa melindungi situs-situs tersebut. Sayangnya, masih ada banyak negara yang belum meratifikasi konvensi ini. Amerika Serikat belum. Indonesia juga belum (tertawa).
Meratifikasi konvensi UNESCO ini menurut saya penting, karena mereka menyediakan dukungan untuk pengembangan kapasitas. Jadi, negara-negara yang telah meratifikasi, akan didukung oleh UNESCO melalui pengembangan kapasitas, pelatihan. Selain itu jadi ada lapisan perlindungan tambahan untuk bangkai kapal dan warisan budaya bawah laut di luar undang-undang dan perundang-undangan pemerintah setempat. Jadi, saya pikir itu mungkin yang paling penting yang harus terus dipertimbangkan.
Menurut Anda, mengapa banyak negara, termasuk AS, dan Indonesia belum meratifikasi konvesi UNESCO soal perlindungan warisan budaya bawah laut ini?
Ya, saya pikir ada beberapa alasan mengapa Indonesia dan AS belum meratifikasi konvensi ini.
Di beberapa negara bagian di AS, pemerintahnya masih mengizinkan eksploitasi komersial bangkai kapal. Jadi, mereka akan memberikan izin untuk penggalian. Jadi, untuk dapat menandatangani konvensi UNESCO, Anda harus mematuhi ketentuan konvensi, yaitu tidak ada eksploitasi komersial. Jadi sebelum eksploitasi bangkai kapal oleh swasta belum dilarang, maka sebuah negara belum bisa meratifikasi konvensi ini.
Jadi, saya pikir itu adalah salah satu rintangan bagi AS dan Indonesia.
Dan faktor kedua itu adalah faktor politis, mengenai hak laut dan, zona ekonomi dan semua hal semacam itu.
Jadi, maksud saya ada banyak hal yang harus dikerjakan jika akan meratifikasi konvensi ini. Mulai dari perubahan undang-undang, pembangunan kapasitas, penegakan hukum, menambah sumber daya polisi perairan, angkatan laut, penjaga pantai. Dan tentu saja sangat sulit untuk mengawasi seluruh kawasan perairan, apalagi di negara kepulauan seperti Indonesia.
Tapi menurutku ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama, cari tahu di mana saja lokasi warisan budaya bawah laut ini, dicatat, dan daftarkan. Pastikan orang-orang atau publik tahu tentang keberadaan warisan budaya ini. Karena kamu gak akan bisa melindungi apa yang tidak diketahui keberadaannya, kan?
Jadi, ketika saya bilang soal pembangunan kapasitas, yang saya maksud adalah kemampuan untuk pergi ke lapangan, menemukan bangkai kapal/ pesawat, melakukan penelitian, dan mengetahui apa yang ada dalam daftar itu. Dari sana kemudian bisa muncul lebih banyak pembangunan kapasitas seperti penegakan hukum, dan pastikan bahwa hal itu terjadi di seluruh kawasan perairan.
Dalam konteks Indonesia, menurut kami, negara ini adalah rumah bagi banyak bangkai kapal di Asia Tenggara. Bagaimana arkeologi maritim dapat membantu mengungkap dan melestarikan temuan di situs budaya ini?
Ada penelitian yang sangat menarik yang telah dilakukan terkait perdagangan rempah-rempah dan Jalur Sutra dan bagaimana hal itu terhubung dengan pelabuhan dan wilayah di sekitarnya. Jadi, ketika kita berbicara tentang situs bawah laut Indonesia, ada beberapa situs penting yang telah digali, tetapi masih ada penelitian yang sangat bagus yang dilakukan oleh Kementerian dan BRIN. Beberapa penelitian ini bahkan sudah diakui oleh komunitas internasional.
Tantangannya tentu adalah untuk terus meningkatkan kapasitas itu. Dan teruslah berupaya dan memberikan lebih banyak dana untuk itu. Berkolaborasi dengan negara tetangga itu hebat sekaligus penting. Jadi, Anda tahu, Indonesia harus melirik negara tetangga mereka di Asia Tenggara, dan berkolaborasi.
Selain itu mungkin ada cara untuk melibatkan universitas atau lembaga nirlaba, lembaga nonpemerintah, organisasi yang memberikan nilai tambah.
Saya kenal beberapa arkeolog maritim dari Indonesia yang studi lanjutan di Universitas Flinders. Saya pertama kali ketemu mereka itu 15 tahun lalu, ketika mereka masih mahasiswa. Sekarang sudah ada yang menempuh sutudi doktoral, dll. Jadi penting untuk terus membangun jejaring dan berkolaborasi untuk pembangunan kapasitas.
Menurutmu, seperti apa kolaborasi yang bisa dilakukan antar pemerintah di dalam seperti AS dan Indonesia dalam hal arkeologi maritim atau warisan budaya bawah laut?
Sebagian besar kolaborasi ini dilakukan dalam skala internasional. Akan ada konferensi yang diselenggarakan pada bulan September. Ini konferensi Asia Pasifik tentang warisan bawah laut dan maritim. Konferensi ini akan menghadirkan para arkeolog dan arkeolog bawah laut yang bekerja di situs maritim dan bawah laut dari seluruh wilayah ke Bali.
Nia Ridwan, seorang kolega yang saya kenal, dan dia bekerja di Kementerian tetapi sedang menempuh pendidikan doktoralnya di Flinders, adalah ketua konferensi itu, ketua penyelenggara, dan saya menjadi anggota komite. Jadi, ini merupakan kesempatan bagi banyak dari kami untuk berkumpul.
Pertanyaan terakhir, apa yang bisa dilakukan untuk mempopulerkan arkeologi bawah laut/ maritim?
Saya pikir peluang yang bagus adalah mencari tahu bagaimana hal itu dapat diterapkan di universitas. Jadi, masa depan arkeologi maritim Indonesia harus melibatkan pelatihan di Indonesia, bukan harus ke luar negeri untuk mendapatkan gelar. Dan di Indonesia ada begitu banyak sumber daya dan begitu banyak peluang untuk mengembangkan gelar atau program arkeologi maritim.
Tantangannya jelas adalah keuangan, pengembangan kapasitas, dari mana harus memulainya. Jadi butuh sedikit waktu untuk mewujudkannya. Namun, ada beberapa negara lain di kawasan ini yang sudah melakukan beberapa hal itu. Jadi merupakan hal yang baik untuk melihat mereka sebagai contoh bagaimana mereka melakukannya.
Penulis: Nuran Wibisono