Menuju konten utama
APBN Kita 2023

Masalah Serapan Anggaran Rendah & Peluang Jorjoran Akhir Tahun

Yusuf Rendy melihat lambatnya realisasi belanja pemerintah baik di level pusat maupun daerah, merupakan masalah klasik yang beberapa kali terulang.

Masalah Serapan Anggaran Rendah & Peluang Jorjoran Akhir Tahun
Presiden Joko Widodo (tengah) berjabat tangan dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kanan) dan Mendagri Tito Karnavian (kiri) usai menyerahkan secara digital Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dan Daftar Alokasi Transfer ke Daerah (TKD) Tahun Anggaran 2024 di Istana Negara, Jakarta, Rabu (29/11/2023).ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/Spt.

tirto.id - Wajah Presiden Joko Widodo terlihat serius. Di hadapan para menteri Kabinet Indonesia Maju dan puluhan kepala daerah, Jokowi mengingatkan realisasi serapan anggaran pemerintah daerah (pemda) dan pusat yang sudah berada di penghujung tahun.

Sampai saat ini, realisasi anggaran di tingkat pemda baru 64 persen. Sedangkan di pemerintah pusat 74 persen. Jokowi lantas meminta kepada pemda dan pusat agar segera merealisasikan anggaran tersisa tersebut.

“Artinya dalam tiga minggu ini akan keluar uang bertriliun-triliun, ini kita ulang-ulang terus setiap tahun,” kata Jokowi dalam acara penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dan Buku Daftar Alokasi Transfer ke Daerah (TKD) Tahun Anggaran 2024 di Istana Negara, Jakarta Pusat, Rabu (29/11/2023).

Jika menilik data APBN Kita, realisasi belanja daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) baru tembus Rp811,70 triliun pada Oktober 2023. Angka ini sudah menyerap 63,5 persen dari total pagu belanja yang sebesar Rp1.278,15 triliun.

Sementara untuk belanja pemerintah pusat terdiri dari belanja kementerian/lembaga (K/L) baru mencapai Rp768,7 triliun atau 76,8 persen dari total pagu. Belanja yang cukup terlihat adalah dari mulai pelaksanaan pemilu, pembangunan IKN, penyelesaian infrastruktur prioritas, dan berbagai belanja bansos.

Kepala Negara itu mengaku kesulitan untuk mengubah pola penyerapan belanja. Sebab, dalam praktiknya pemda maupun pusat realisasi anggarannya baru akan dikuras pada kuartal IV-2023 atau mendekati akhir tahun.

“Sejak awal sembilan tahun yang lalu saya ingin mengubah ini. Tapi ternyata saya cek lagi masih memang mengubah cara kerja mengubah mindset tidak mudah," tutur Jokowi.

Jokowi pun meminta pemerintah daerah dan kementerian/lembaga menggunakan anggaran yang telah diberikan secara disiplin, teliti dan tepat sasaran. Kedua, mengedepankan transparansi dan akuntabilitas.

“Jangan membuka celah sedikitpun untuk penyalahgunaan anggaran berkaitan dengan korupsi apalagi, tutup celah itu," ujar Jokowi.

Ketiga, pemerintah daerah, kementerian/lembaga secepatnya melakukan realisasi anggaran sejak Januari 2024. Keempat, mengantisipasi ketidakpastian global dengan melalukan penyesuaian yang diperlukan.

“Harus lincah terhadap perubahan perubahan yang ada. Begitu ada perubahan segera lincah berubah," tutur Mantan Gubernur DKI Jakarta itu.

Adalah suatu hal yang naif memang apabila kejadian seperti ini selalu berulang dari tahun ke tahun. Seolah pemerintah selalu masuk ke lubang yang sama dalam penyerapan anggaran ini.

Apabila dikaji lebih runut, belanja barang/jasa pemerintah selalu melonjak drastis di akhir semester kedua tahun anggaran. Trennya adalah tiga bulan terakhir selalu melonjak dengan sangat tajam. Apa sebenarnya yang terjadi?

Masalah Klasik & Penyebab Serapan Anggaran Rendah

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, melihat bahwa lambatnya realisasi belanja pemerintah baik di level pusat maupun daerah, merupakan masalah klasik yang beberapa kali terulang.

"Menurut saya lambannya realisasi belanja itu di sebabkan oleh beberapa hal," kata Yusuf kepada Tirto, Kamis (30/11/2023).

Yusuf melihat lambatnya eksekusi realisasi anggaran pertama karena proses perencanaan dari belanja itu sendiri. Karena seperti yang diketahui proses perencanaan belanja APBN di tahun berjalan itu dilakukan di tahun sebelumnya.

Seharusnya pada proses perencanaan tersebut, sudah mendetailkan bagaimana kemudian eksekusi dari beragam pos belanja itu akan dilakukan di tahun berikutnya. Termasuk di dalamnya eksekusi yang lebih cepat di awal tahun.

“Ini perlu untuk memastikan periode belanja itu bisa terpenuhi satu tahun penuh tahun anggaran," kata dia.

Perencanaan, lanjut Yusuf, juga menjadi penting termasuk untuk melihat bagaimana mitigasi dan proses pemantauan dan evaluasi yang akan dilakukan instansi. Hal ini berkaitan jika ada pos belanja tertentu yang di perjalanan tahun APBN berikutnya itu berpotensi terhambat.

“Saya kira bagaimana kemudian merespons ketika misalnya belanja itu tidak terealisasikan dengan optimal dan juga apa yang harus dilakukan itu seharusnya terdokumentasi dari proses perencanaan tersebut,” kata dia.

Menariknya, kata Yusuf, kalau dilihat beberapa postur belanja, pos belanja rutin seharusnya tidak punya dinamika yang sangat tinggi ketika dieksekusi. Jadi seharusnya masalah realisasi di belanja rutin bisa terselesaikan di periode tahun sebelum anggaran itu dijalankan karena pemerintah terkait sudah punya pengalaman dalam mengatur belanja tersebut.

Masalah kedua, selain perencanaan proses monitoring dan evaluasi juga menjadi penting untuk memastikan ketika tahun anggaran telah berjalan, adalah proyek tertentu yang terhambat. Biasanya, hal ini terjadi karena pembebasan lahan itu berjalan lambat.

“Di sinilah sebenarnya proses monev itu diperuntukkan. Artinya dari sana pemerintah terkait perlu mengeluarkan dampak mitigasi yang bisa dilakukan," kata Yusuf.

Kendati begitu, memang secara catatan bisa saja mitigasi yang dilakukan itu tidaklah mudah. Sehingga akhirnya kejadian realisasi belanja tertumpuk di akhir tahun kembali terulang di periode APBN tahun berjalan.

“Namun sesungguhnya yang perlu dipastikan adalah proses monev-nya itu berjalan sehingga masalah-masalah yang didapati oleh aparatur terkait itu bisa dicarikan solusinya," kata dia.

Khusus untuk daerah, Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kemendagri, Agus Fatoni, mengatakan penyebab rendahnya realisasi APBD yang masih banyak berulang adalah keterlambatan lelang. Masalah ini bisa diatasi dengan penggunaan e-Katalog, Katalog Lokal, Toko Daring, dan lelang dini.

“Lelang dini bisa dilakukan sejak tahun sebelumnya, pada saat KUA-PPAS disepakati bersama antara kepala daerah dan DPRD. Selain itu, penggunaan e-Katalog harus disertai dengan segera melakukan pembayaran,” ujar Fatoni dalam keterangannya.

Selain itu, upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) juga sangat penting dalam mempercepat realisasi APBD. Sebab, pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan, kebijakan, dan kemampuan teknis penting dalam pengelolaan keuangan. Hal ini agar tidak ada keraguan dalam melaksanakan kegiatan dan mempertanggungjawabkan keuangan.

Tak hanya itu, penagihan pembayaran terhadap kegiatan perlu disesuaikan dengan kemajuan fisik kegiatan. Hal ini diperlukan untuk mencegah penagihan di akhir tahun.

Daerah juga perlu membuat target realisasi APBD dan memastikannya dapat tercapai. Hal ini seperti pada kuartal pertama yang menargetkan realisasi sebanyak 20 persen, kuartal kedua 50 persen, kuartal ketiga 80 persen, dan kuartal keempat mendekati 100 persen.

Peluang Habiskan Anggaran di Akhir Tahun

Terlepas dari penyebab penyerapan anggaran rendah, Yusuf Rendy melihat masih ada peluang realisasi belanja ini bisa dipacu sampai dengan akhir tahun. Karena secara tren dan polanya, jika melihat dari tahun lalu memang terjadi peningkatan realisasi belanja terutama di akhir tahun sebelum tutup buku tahun APBN berjalan.

“Namun memang kalau melihat kondisi realisasi saat ini yang disampaikan di atas, saya kira realisasi belanja secara persentase terhadap pagu itu berpotensi relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan persentase pagu realisasi di tahun lalu," kata dia.

Oleh karena itu, kata Yusuf, yang perlu dipastikan saat ini oleh pemerintah adalah belanja-belanja yang sifatnya bisa memberikan dorongan ke pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek. Misalnya belanja pegawai dan barang serta belanja bantuan sosial dan subsidi yang disalurkan oleh pemerintah pusat.

Sementara untuk realisasi transfer ke daerah, salah satu pos yang bisa dioptimalkan ialah dana otonomi khusus maupun dana insentif fiskal. Khusus insentif fiskal ini bisa menjadi stimulus bagi daerah untuk mempercepat ataupun memperbaiki pelayanan publik.

“Karena kita tahu dana insentif fiskal yang disediakan pemerintah salah satunya untuk menstimulasi daerah untuk melakukan beragam pelayanan publik dengan lebih baik. Sehingga dari sana diharapkan juga bisa memberikan efek multiplier ke perekonomian daerah," terang dia.

Terlepas dari beragam pos yang bisa didorong di atas, yang juga perlu digarisbawahi adalah pemerintah juga perlu fokus agar belanja yang direalisasikan itu punya output dan outcome yang lebih jelas, kata Yusuf.

Menurut Yusuf, tidak boleh semata-mata hanya mengejar presentase realisasi angka tertentu, namun tidak memberikan penilaian terhadap output atau outcome yang muncul atau yang ingin disasar dari program belanja tertentu.

“Saya kira pekerjaan rumah yang masih harus dilakukan pemerintah di masa mendatang ialah bagaimana memastikan proses perencanaan berjalan dengan baik dan juga secara jelas dokumentasikan,” pungkas dia.

Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, melihat akan ada kecenderungan untuk berlomba membelanjakan anggaran di akhir tahun. Kondisi ini bisa berpengaruh terhadap bantuan sosial kepada masyarakat miskin maupun UMKM.

Atas dasar itu, perlu dilakukan pemerintah pusat, kata Bhima, adalah merombak sanksi kepada kepala daerah. Misalnya tunjangan perjalanan dinas disetop beberapa bulan jika performa serapan masih buruk.

“Ada juga cara menambah sanksi pemangkasan anggaran dana transfer daerah tahun berikutnya sebagai efek jera agar pemda bergerak lebih cepat,” kata Bima kepada Tirto, Kamis (30/11/2023).

Baca juga artikel terkait SERAPAN ANGGARAN atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz