tirto.id - Asal-usul “penemuan” Marhaenisme adalah salah satu cerita yang membentuk citra Sukarno sebagai pemimpin. Membicarakan Sukarno tak akan lengkap jika tak menyinggung ideologi rumusannya itu. Sepengakuannya benih-benih Marhaenisme sudah ada di kepalanya sejak umurnya 20-an tahun. Hanya saja benih itu belum bisa ia rumuskan dalam pemikiran yang padu atau gerakan kongkret.
Sebermula adalah pengamatan pada lingkungan sekelilingnya. Sebagian besar penduduk kepulauan Hindia Timur adalah para pekerja kecil. Kendati demikian, mereka memiliki alat produksi sendiri. Seorang kusir memiliki dokar dan kuda, seorang petani punya petak sawah, seperti juga nelayan punya pancing, jala, dan perahu miliknya sendiri.
Tapi alat produksi itu sedemikian kecil sehingga hanya cukup untuk sekadar menopang hidup. Terlalu kecil untuk bisa menaikkan harkat sosial, politik, atau ekonomi. Jadi, menurut Sukarno mereka bukan proletar sebagaimana sering disebut para aktivis komunis kala itu.
“Mereka memiliki ciri-ciri tersendiri. Mereka tidak termasuk dalam salah satu bentuk stereotip yang telah dikenal. Jadi, siapa mereka ini?” renung Sukarno sebagaimana ia ceritakan dalam otobiografiBung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2014, hlm. 73) yang ditulis Cindy Adams.
Pikiran itu mengendap di kepalanya sekian lama. Tapi akhirnya, pemecahan atas pertanyaan itu tidak ia dapat dari telaah ilmiah atau diskusi dengan kawan-kawan aktivisnya. Jawabannya ia dapat justru ketika bolos kuliah seraya bersepeda tak tentu arah keliling Bandung.
Usai mengayuh pedal beberapa jauh, ia sampai di suatu persawahan di selatan Bandung. Si Bung Besar berhenti mengayuh dan perhatiannya tertumbuk pada sosok petani berbaju lusuh yang sedang mencangkul sendirian di sebuah petak sawah. Setelah mengamatinya beberapa jenak, Sukarno mengajaknya baku cakap.
“Siapa pemilik tanah yang kau garap ini?” tanya Sukarno dalam bahasa Sunda.
“Saya, juragan.”
“Apakah engkau memiliki tanah ini bersama-sama dengan orang lain?”
“O, tidak, ‘gan. Saya memilikinya sendiri.”
“Apakah kau membeli tanah ini?”
“Tidak. Itu turun-temurun diwariskan dari orang tua kepada anaknya.”
Persis benar dengan angan Sukarno selama ini: seorang pekerja kecil yang memiliki alat produksi sendiri. Tak sekadar petak sawah kecil, si petani juga memiliki sendiri cangkul dan bajak untuk mengolahnya. Semua itu adalah seluruh daya yang ia punya untuk menghidupi seorang istri dan empat anaknya yang tinggal di rumah gubuk nan menyedihkan. Cukupkah?
“Bagaimana mungkin sawah yang begini sempit bisa cukup untuk memenuhi kebutuhan seorang isteri dan empat anak?” jawab si petani dengan nada kecewa.
Begitulah dan percakapan itu berakhir. Sebelum undur diri Sukarno sempat menanyai siapa namanya. Si petani menjawab singkat: Marhaen.
“Di saat itu cahaya ilham melintas di otakku. Aku akan memakai nama itu untuk menamai semua orang Indonesia yang bernasib malang seperti dia! Semenjak itu kunamakan rakyatku Marhaen,” tutur Sukarno.
Sukarno menghabiskan sisa hari itu dengan bersepeda mengitari Bandung. Sepanjang jalan ia terus berpikir menyusun keping-keping pemikiran yang selama ini tersumbat di benaknya. Hasilnya, tiada lain, adalah apa yang dengan bangga ia sebut Marhaenisme.
Marhaen dalam Berbagai Versi
Dalam versi lain, si petani yang baku cakap dengan Sukarno bukan bernama Marhaen. Sukarno adalah seorang politikus yang gandrung simbol dan dramatisasi. Soal ini disinggung oleh Historia dalam laporan bertajuk "Kisah Kang Aeng dan Bung Karno" yang kisahnya diperoleh dari penuturan wartawan Peter A. Rohi.
Ketika Peter mencoba menelusuri tokoh Marhaen di daerah Bandung selatan, tak ada seorang pun yang mengenalnya. Usut punya usut, meski tokohnya nyata dan Peter berhasil menemui salah seorang cucunya, rupanya nama Marhaen adalah kreasi Sukarno. Nama asli si petani adalah Aeng. Peter menduga Sukarno mengubah nama si petani untuk kepentingan simbol politik.
“Tepatnya saya tidak tahu, tapi untuk membuat simbol ideologi yang kuat, itu jelas,” tutur Peter sebagaima dikutip Historia.
Impresi yang muncul dari kata “Aeng” dan “Marhaen” memang berbeda. Sukarno agaknya butuh nama yang berkesan gagah dan karena itulah ia memunculkan nama Marhaen. Sukarno mungkin memang mendramatisasi pengalamannya, tapi itulah cara dia menciptakan simbol politik yang kuat. Bagaimana pun, simbol yang kuat akan sangat berpengaruh pada perjuangan politik.
Polemik soal asal-usul Marhaen jadi perhatian beberapa sejarawan yang pernah meneliti Bung Karno. Seturut penelusuran sejarawan Peter Kasenda, setidaknya ada tiga macam telaah atas asal-usul nama atau istilah Marhaen.
John D. Legge menyebut bahwa Marhaen sebenarnya istilah yang sudah lazim dipakai pada medio 1927. Itu adalah istilah bahasa Sunda yang maknanya sama dengan kata “Kromo” dalam bahasa Jawa.
Sementara itu John Ingleson menyebut pemakaian kata itu sebenarnya jauh lebih tua. Sarekat Islam pimpinan Tjokroaminoto—mentor dan induk semang Sukarno muda—sudah kerap menggunakannya untuk menyebut “petani kecil” sejak dekade 1910-an.
Pendapat yang agak berlainan datang dari Bernhard Dahm. Menurutnya istilah Marhaen baru terdengar pada 1930, ketika disebut Sukarno dalam pledoi terkenalnya Indonesia Menggugat. Sebelum itu, orang lebih jamak menggunakan istilah “kromo” yang merujuk pada rakyat kecil. Istilah ini berasosiasi dengan PKI yang juga sering memadankannya dengan istilah “proletariat”.
Peter Kasenda menengarai, Sukarno mencari istilah baru yang lebih cocok dengan kondisi riil Hindia Belanda.
“Di mata Sukarno, istilah proletariat tidak sesuai dengan situasi yang ada di Indonesia. Maka ia merasa senang menggunakan kata Marhaen. Ada kemungkinan Sukarno menggunakan istilah itu untuk menolak tuduhan bahwa PNI identik dengan Partai Komunis Indonesia,” tulis Peter Kasenda dalam Sukarno Muda: Biografi Pemikiran 1926-1933 (2010, hlm. 49-50).
Terlepas dari serbaneka versi itu, lantas bagaimana Sukarno mendefinisikan Marhaen?
“Seorang Marhaen adalah orang yang memiliki alat-alat yang sedikit, orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekedar cukup untuk dirinya sendiri. Bangsa kita yang punya puluhan juta jiwa, yang sudah dimelaratkan, bekerja bukan untuk orang lain dan tidak ada orang bekerja untuk dia. Tidak ada pengisapan tenaga seseorang oleh orang lain. Marhaenisme adalah Sosialisme Indonesia dalam praktik,” demikian Sukarno menjabarkan (hlm. 75).
Editor: Irfan Teguh