tirto.id - Pada 28 Oktober 2020, sebuah surat dikirimkan Istana Negara, Jakarta, ditujukan langsung kepada Presiden Joko Widodo. Surat itu datang dari Dewan Eksekutif Mahasiswa Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (Dema PTKIN) se-Indonesia.
Koordinator Pusat DEMA PTKIN Se-Indonesia, Onky Fachrur Rozie, mengatakan kepada wartawan Tirto, Senin (9/11/2020) siang, surat tersebut adalah “surat tantangan dialog” untuk Jokowi terkait UU Cipta Kerja.
Mereka menilai UU yang disusun dengan metode omnibus ini tak memiliki urgensi apalagi relevan dengan kesejahteraan warga. Selain itu juga dibahas secara tertutup dan tanpa partisipasi publik yang luas. Poin terakhir yang membuat mereka mendesak Jokowi membuka dialog.
Surat itu lantas menjadi landasan Staf Khusus Presiden atau staf khusus milenial Aminuddin Ma’ruf menerbitkan ‘surat perintah’ pemanggilan sembilan mahasiswa lintas kampus PTKIN pada 5 November, termasuk Onky. Di dalam surat itu, para mahasiswa diminta datang ke Gedung Wisma Negara, Istana Negara, pada 6 November pukul 1 siang.
Mereka adalah: Onky Fachrur Rozie (Koordinator Pusat DEMA PTKIN Se-Indonesia), Aden Farikh (Presiden Mahasiswa DEMA UIN Malang), Ahmad Rifaldi (Presiden Mahasiswa DEMA UIN Yogyakarta), Rubaith Burhan (Presiden Mahasiswa DEMA UIN Semarang), Fauzan Ardiansyah (Presiden Mahasiswa DEMA UIN Banten), Munif Jazuli (Presiden Mahasiswa DEMA IAIN Metro Lampung), Ahmad Aidil Fah (Presiden Mahasiswa DEMA UIN Makassar), Mahfudz (Presiden Mahasiswa DEMA IAIN Jayapura Papua), dan Fatimah Assegaf (Presiden Mahasiswa DEMA IAIN Samarinda).
Usai pertemuan, Onky menegaskan bahwa “omnibus [law] ini cacat secara formil dan materiil.”
Isu pertemuan tersebut tidak menguap begitu saja karena Ombudsman RI menyimpulkan ‘surat perintah’ yang dikeluarkan oleh Aminuddin menyalahi administrasi ketatanegaraan. Staf khusus tidak bisa menerbitkan surat perintah karena bertanggung jawab kepada Sekretariat Kabinet. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 17 tahun 2012 yang telah diubah dalam Peraturan Presiden Nomor 39 tahun 2018.
“Staf khusus bisa saja menerima dan berdialog dengan pengurus DEMA PTKIN, namun tidak bisa menerbitkan surat yang isinya perintah. Surat yang sifatnya berisi perintah itu lazimnya diterbitkan dalam hubungan koordinasi atasan dan bawahan. Sementara hubungan Staf Khusus dengan DEMA PTKIN ini kan setara,” kata anggota Ombudsman RI Adrianus Meliala lewat keterangan tertulis, Senin (9/11/2020) pagi.
Adrianus lantas mengaitkan ‘surat perintah’ Aminuddin dengan surat staf khusus lain, Andi Taufan. Ia mengirimkan surat dengan kop Istana meminta daerah mendukung program Desa Lawan COVID-19 dengan melibatkan perusahaannya, PT Amartha. Surat itu lantas ditarik dan Andi mengundurkan diri.
Bukan Hanya Masalah Surat
Selain potensi malaadministrasi, hal lain yang disorot publik adalah daftar nama-nama yang dipanggil. Enam dari sembilan mahasiswa yang dipanggil adalah pengurus—atau minimal kader—Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Latar belakang organisasi ini jadi sorotan karena Aminuddin adalah Ketua Umum PMII periode 2014-2016.
Onky adalah kader PMII Jawa Timur. Begitu juga dengan Ade Farikh yang merupakan kader PMII Rayon Kawah Chondrodimuko Malang, Jawa Timur. Ahmad Rifaldi merupakan kader PMII Rayon Ekuilibrium UIN Yogyakarta. Fauzan Ardiansyah berstatus kader PMII di Banten. Munif Jazuli juga kader PMII di Lampung. Pun dengan Fatimah Assegaf di Samarinda.
Hanya satu yang berlatar belakang Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yaitu Fahri Aidil. Sedangkan Rubaith Burhan dari Semarang dan Mahfudz dari Papua tak diketahui.
Secara organisasi PMII sebenarnya menolak total peraturan ini. Ketua Umum PMII Agus Mulyono Herlambang sempat mengatakan organisasinya “menolak keras UU Cipta Kerja” dan bahkan “menginstruksikan PMII se-Indonesia untuk melakukan aksi penolakan” serta bersiap melakukan uji materi.
Namun DEMA PTKIN berbeda. Onky bilang DEMA PTKIN “tidak menolak keseluruhan undang-undang ini.” “Namun ada sejumlah pasal dan klaster yang perlu kami kritisi,” salah satunya terkait kewenangan pusat-daerah. “[Di] klaster administrasi pemerintah ada sentralisasi kebijakan. Ini bertentangan UU Otonomi Daerah. Harusnya desentralisasi. Harusnya pemda mempunyai hak dan wewenang untuk buat kebijakan di rumah sendiri.”
Kelompok-kelompok mahasiswa lain yang sikapnya lebih tegas, seperti BEM Seluruh Indonesia (BEM SI), sepanjang penelusuran media, tak pernah diundang meski meminta Jokowi menemuinya.
Aminuddin sendiri sebelumnya pernah bersinggungan dengan mahasiswa terkait UU Cipta Kerja. Bedanya, dalam pertemuan terdahulu yang dihadapi adalah kelompok yang menolak total peraturan ini. Lalu ia pun tidak mengundang mereka khusus masuk, tapi mendatangi ketika sedang demonstrasi. Ia diperintahkan pun hanya karena kebetulan ada di Istana, menurut penuturannya sendiri.
Semua ini lantas mengerucut ke isu konflik kepentingan.
Terkait latar belakang ini, Aminuddin mengatakan bukan dia yang memilih siapa yang dipanggil, tapi Onky. “Tanya sama koordinatornya,” katanya saat dikonfirmasi wartawan Tirto, Senin siang. Sementara Onky bilang kalau pihak Istana memang membatasi jumlah peserta. Sembilan nama ia pilih karena dianggap mewakili tiap daerah. “Kami berangkatkan sesuai perwakilan daerah dan koordinator tim.”
Aminuddin tak lagi merespons saat ditanya soal isu konflik kepentingan hingga naskah ini rampung dikerjakan pada Senin malam. Sementara Onky menepisnya. “Saya rasa jauh dari dari konflik kepentingan, karena kami tidak pernah membicarakan bendera tertentu di internal aliansi kami,” katanya.
Penulis: Haris Prabowo & Andrian Pratama Taher
Editor: Rio Apinino