Menuju konten utama

Macan Tutul Kabur, Pemerintah Harus Ikut Tanggung Jawab

Pemerintah perlu melihat apa sebuah lembaga memiliki animal escape protocol yang siap dijalankan bila terjadi situasi darurat.

Macan Tutul Kabur, Pemerintah Harus Ikut Tanggung Jawab
Petugas gabungan saat berhasil mengevakuasi satu macan tutul jantan dari balai desa di Kuningan, Jawa Barat, Senin (25/8/2025). ANTARA/HO-BPBD Kuningan

tirto.id - Seekor macan tutul hasil penyelamatan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) dilaporkan kabur dan belum ditemukan. Macan berusia sekira tiga tahun itu sedianya dititipkan ke Lembang Park & Zoo, di Kabupaten Bandung Barat.

Setelah dititip pada Selasa (26/8/2025) malam untuk menjalani masa karantina dan observasi selama tiga hari, pada hari ketiga, satwa tersebut justru menjebol kandang dan melarikan diri. Hewan itu diperkirakan meninggalkan kebun binatang pada pukul 05.30 WIB.

Humas Lembang Park and Zoo, Miftah Setiawan, mengatakan macan ini sebelumnya ditemukan turun ke pemukiman dan masuk ke Balai Desa Kutamandarakan, Kecamatan Maleber, Kabupaten Kuningan.

“Macan tutul itu diduga stres karena adaptasi di lingkungan baru, sehingga menjebol bagian atas kandang karantina,” ujarnya, seperti dikutip dari Antara.

Miftah mengungkap, pada Kamis pagi macan tutul itu akan menjalani observasi terakhir sebelum dilepasliarkan kembali ke kawasan Gunung Ciremai, Kuningan. “Jadi sembari menunggu pelepasliaran, dilakukan observasi dan assessment lingkungan di sini. Namun ternyata stres, sehingga kabur,” katanya.

Miftah bilang pihaknya telah berkoordinasi dengan berbagai pihak pasca kaburnya macan tersebut. Pihak-pihak yang dilibatkan yakni Polsek Cisarua, Polsek Lembang, Koramil Lembang, Koramil Cisarua, Polres Cimahi, dan Balai BKSDA Jawa Barat.

Tiga tim akhirnya dibentuk untuk menangani macan tutul kabur tersebut. Mereka terdiri dari dokter hewan, penembak jitu, penembak bius, dan tim bius menggunakan tulup untuk menangkap macan hidup-hidup.

Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat sendiri mengungkap adanya beberapa pertimbangan dalam memilih Lembang Park Zoo sebagai tempat observasi. Kepala BBKSDA Jawa Barat, Agus Arianto, menjelaskan hal itu lantaran Lembang Park Zoo memiliki fasilitas karantina serta dokter hewan yang memadai.

“Awalnya mau dititip di Lembaga Konservasi Cikembulan, Garut. Namun karena fasilitas kesehatan hewan di sana belum lengkap, maka diputuskan dibawa ke Lembang,” kata Agus, masih dari Antara.

Kombinasi Insting Alami dan Stres Bisa Jadi Faktor

Macan tutul merupakan satwa liar dengan naluri eksplorasi dan wilayah jelajah yang luas. Di habitat aslinya, hewan ini biasanya bergerak dalam home range puluhan hingga ratusan kilometer.

Pemerhati satwa dari The Wildlife Whisperer of Sumatra, Arisa Mukharliza, menjelaskan, ketika satwa ini ditangkap dari pemukiman, ia akan mengalami beberapa perubahan perilaku. Hal itu seperti stres tinggi akibat interaksi dengan manusia, faktor suara, atau keterbatasan ruang.

Macan Tutul Jawa

Macan Tutul Jawa. FOTO/iStockphoto

Usai dititipkan oleh pihak BBKSDA ke kebutuhan binatang, otomatis satwa akan mengalami peningkatan dalam level stres. Kondisi yang asing bagi satwa, mulai dari kandang, adanya suara satwa lain, kontak dengan manusia, juga bisa memicu tingkat stres satwa menjadi lebih tinggi.

“Nah, dalam situasi stres ini, biasanya satwa itu berusaha untuk mencari jalan keluar. Atau dalam kata lain, satwa bisa saja panik ketika satwa tersebut berada di lokasi yang baru dan ditambah dengan sifat alaminya yang muncul, dimana macan tutul ini memiliki sifat alami yang oportunis dan juga sangat agresif,” ujar Arisa saat dihubungi jurnalis Tirto, Jumat (29/8/2025).

Dia menerangkan, kombinasi antara insting alami dan kondisi stres bisa menjadi faktor teknis bagaimana macan tutul itu bisa kabur. Itu mengapa kandang punya peran besar dalam rehabilitasi satwa.

“Jadi, ia bisa menggunakan kelemahan dari struktur kandang atau bagaimana landscape dari kandang tersebut, seperti besi atau mungkin atap, dan juga memiliki insting bagaimana ia dapat kabur dari ruang tersebut,” lanjutnya.

Langkah standar sebelum satwa-satwa dilepasliarkan ke alam memang harus mendapatkan treatment observasi, terutama dari sisi medis. Kendati bersifat “titipan”, Arisa menekankan, Lembang Park and Zoo tetap punya tanggung jawab dalam hal keamanan satwa. Selain kebun binatang, penting digarisbawahi: pemerintah juga punya peran.

MACAN TUTUL DITANGKAP WARGA

Seekor Macan Tutul (Panthera pardus) yang telah dipasangi radio collar berhasil ditangkap warga di Desa Cikupa, Kecamatan Lumbung, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Kamis (25/6/2020). ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/aww.

Singkatnya, pihak kebun binatang bertanggung jawab dari sisi teknis lapangan dan BKSDA berperan dalam aspek regulasi dan pengawasan. Apalagi, secara prinsip hukum dan kelembagaan, satwa liar dilindungi, termasuk macan tutul ada di bawah tanggung jawab negara atau milik negara di bawah kewenangan kementerian Kehutanan melalui BKSDA.

Jadi, Arisa mengungkap, ketika satwa dititipkan ke lembaga konservasi atau kebun binatang, maka selama masa penitipan pengelolaan keseharian, mulai dari perawatan, kandang, keamanan, itu menjadi tanggung jawab pihak lembaga konservasi tersebut.

"Namun, karena penempatan satwa adalah hasil keputusan BKSDA, maka pemerintah tetap memiliki tanggung jawab supervisi, artinya pengawasan teknis dan assessment kelayakan kandang mestinya dilakukan sebelum satwa ditempatkan. Nah, dalam kasus kaburnya macan tutul ini kebun binatang bertanggung jawab langsung atas keamanan fasilitas dan protokol darurat, karena satwa kabur dari kandangnya di sana,” ujarnya.

Hal yang bisa dilakukan ketika satwa kabur salah satunya adalah animal escape protocol atau protokol tanggap darurat satwa lepas. Beberapa di antaranya seperti respon cepat, di mana team keeper, terutama dapat mengamankan area dan melaporkan ke manajemen.

Lalu ada juga melakukan activation emergency team, yang mana ini biasanya tim khusus dengan peralatan seperti senapan bios, atau mungkin dengan tulup, jaring, atau dengan kandang transportasi.

Tidak Bisa Berhenti pada Siapa Mau Tampung

Kasus ini mengingatkan bahwa setiap keputusan menitipkan satwa liar hasil rescue ke lembaga konservasi tidak hanya berhenti pada siapa yang mau menampung. Sebab, Arisa mengatakan, di level pemerintah masih sering menggunakan kacamata tersebut.

“Ketika mereka menyelamatkan atau melakukan rescue satwa dari alamnya dan notabene satwa ini adalah satwa liar kacamatanya itu hanya melihat siapa yang mau menampung, siapa yang bisa menerima, tetapi ada hal yang perlu dicermati oleh pemerintah khususnya, lebih dari itu begitu,” kata Arisa.

Alih-alih, pertama pemerintah harus melakukan assessment kelayakan kandang dan juga fasilitas dari lembaga konservasi yang bersangkutan. Misalnya, melakukan beberapa penilaian seperti apakah kandang penangkaran atau kandang untuk satwa direhab sudah sesuai standar keamanan untuk spesies tertentu, terutama untuk jenis kucing besar, di mana mereka memiliki perilaku yang cukup agresif, teritorial, dan mudah stres.

Bandung Zoological Garden

Seekor macan tutul jawa (Panthera pardus melas) beristirahat di dalam kandang di Kebun Binatang Bandung, Jawa Barat. ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/wsj.

“Lalu apakah material kandang mampu menahan kekuatan satwa yang masih dalam kondisi liar dan juga stres, apakah fasilitas pendukung seperti CCTV tim medis itu tersedia untuk mengurangi resiko stres satwa dan potensi kabur misalnya, lalu apakah lembaga tersebut memiliki animal escape protocol yang siap dijalankan bila terjadi situasi darurat? Jadi hal penting yang wajib untuk dicermati dan dilakukan oleh pemerintah,” ujar Arisa.

Satwa hasil rescue disebut punya perilaku berbeda dibanding yang sudah ada di lembaga konservasi, seperti kebun binatang sejak lahir. Dengan kata lain, satwa rescue biasanya masih membawa mentalitas alam atau masih terhubung dengan insting alaminya.

“Dengan dilakukan assessment, diharapkan penempatan satwa itu bisa jadi lebih aman dengan tujuan akhir yang mungkin diharapkan kita me-rescue satwa untuk dapat melepasliarkan satwa tersebut kembali ke habitat yang lebih sesuai dan juga tercapai tanpa adanya insiden yang berisiko, baik itu pada satwa maupun kepada kita manusia atau masyarakat di sekitar kawasan tersebut,” tambah Arisa.

Sebab, bagaimanapun, pertemuan satwa kabur dengan manusia juga punya risiko. Nur Purba Priambada, salah satu dokter hewan satwa liar mengungkap, setiap pertemuan dengan satwa liar dengan kondisi stres tinggi besar risikonya terhadap manusia karena satwa liar yang stres dan merasa terancam akan cenderung agresif dan menyerang untuk mempertahankan dirinya.

“Akan tetapi menurut panduan mitigasi interaksi negatif manusia dan macan tutul, sebaiknya kita tetap tenang, tidak melakukan kontak mata, mundur perlahan untuk membuat jarak yang aman bagi kita dan macan tutul, dan jangan berlari, karena ini dapat memantik insting predator ketika memangsa buruannya,” ujar dr. Purba kepada jurnalis Tirto, Jumat (29/8/2025).

Pria yang juga ketua Asosiasi Dokter Hewan Satwa Liar, Akuatik, dan Hewan Eksotik Indonesia (ASLIQEWAN) tersebut menggarisbawahi soal prosedur medis ketika macan ditemukan kembali, di mana hewan tersebut akan dilakukan pemeriksaan kesehatan baik secara singkat ataupun menyeluruh, mulai dari kondisi tubuh apakah terlihat ada perlukaan, apakah ada gangguan nutrisi (apakah satwa kurus atau tidak), serta kondisi kelainan lainnya.

“Bahkan bila diperlukan, dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan yang menyeluruh. Terlebih saat ini di spesies kucing besar liar sedang gencar penularan penyakit virus Canine Distemper Virus (CDV), yang dapat menyebabkan gangguan syaraf hingga kematian pada kucing besar dalam waktu singkat,” kata dr. Purba.

Apabila memang ditemui kelainan tersebut dan memerlukan perawatan medis, tentunya harus dirawat dulu untuk memulihkan kondisinya sampai benar-benar siap dilepasliarkan kembali ke habitat yang lebih aman.

Baca juga artikel terkait HEWAN atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - News Plus
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Farida Susanty