tirto.id - Muhammadiyah memiliki beberapa pedoman dalam menjalankan organisasinya. Salah satunya khittah. Sejak berdiri pada 1912, Muhammadiyah telah menetapkan macam-macam khittah.
Namun, sebelum mengenal lebih jauh tentang khittahperjuangan Muhammadiyah, ada baiknya mengetahui apa itu khittah terlebih dahulu.
Menurut Ridho Al-Hamdi, dkk., dalam Politik Inklusif Muhammadiyah (2019), khittah adalah landasan Muhammadiyah dalam bertindak. Khittah Muhammadiyah memuat rumusan, teori, metode, strategi, serta pemikiran Muhammadiyah dalam berjuang.
Khittah sifatnya dinamis. Khittah dapat terus diperbarui dan berkembang agar senantiasa sesuai dengan perkembangan zaman. Khittah Muhammadiyah juga disebut sebagai teori perjuangan.
Fungsi khittah Muhammadiyah adalah sebagai landasan atau pegangan bagi para kader dalam bertindak, berpikir, memahami, dan memecahkan masalah sesuai tujuan organisasi.
Khittah Perjuangan Muhammadiyah dari Masa ke Masa
Khittah perjuangan Muhammadiyah mulai ditetapkan setelah beberapa dekade organisasi tersebut berdiri. Dikutip dari Suara Muhammadiyah,khittah perjuangan Muhammadiyah yang pertama kali dirumuskan adalah Khittah 12 Tafsir Langkah Muhammadiyah.
Khittah pertama ini dicetuskan pada 1938 dan berlaku selama dua tahun, hingga 1940. Sesuai namanya, Khittah 12 Tafsir Langkah Muhammadiyah memuat 12 poin tentang meningkatkan keimanan, budi pekerti, rasa persatuan, hingga pemahaman agama.
Setelah tahun 1940, terdapat macam-macam khittah Muhammadiyah lainnya. Di antara khittah yang ditetapkan itu yakni Khittah Palembang, Khittah Ponorogo, Khittah Ujung Pandang, Khittah Surabaya, dan Khittah Denpasar.
Berikut macam-macam khittah perjuangan Muhammadiyah dari masa ke masa:
1. Khittah Palembang 1956-1959
Berdasarkan buku 1 Abad Muhammadiyah (2010), Khittah Palembang dicetuskan pada 1959 sebagai respons atas konteks sosial politik Indonesia pada masa itu.Banyak terjadi pergolakan hampir di seluruh wilayah Indonesia karena pembangunan yang tidak merata pada periode '50-an. Ditambah lagi, kondisi politik sedang tidak stabil karena adanya perpecahan internal dan menguatnya ideologi komunisme.
Oleh karena itu, dicetuskan Khittah Palembang 1956-1959 yang memuat 7 poin, meliputi:
- Menjiwai pribadi anggota dan pimpinan Muhammadiyah dengan memperdalam dan mempertebal tauhid, menyempurnakan ibadah dengan khusyu’ dan tawadu’, mempertinggi akhlak, memperluas ilmu pengetahuan, dan menggerakkan Muhammadiyah dengan penuh keyakinan dan rasa tanggung jawab.
- Melaksanakan uswatun hasanah.
- Mengutuhkan organisasi dan merapikan administrasi.
- Memperbanyak dan mempertinggi mutu anak.
- Mempertinggi mutu anggota dan membentuk kader.
- Memperoleh ukhuwah sesama muslim dengan mengadakan badan ishlah untuk mengantisipasi bila terjadi keretakan dan perselisihan.
- Menuntun penghidupan anggota.
2. Khittah Ponorogo 1969
Khittah Ponorogo dicetuskan pada 1969 di Jawa Timur. Sama seperti Khittah Palembang, Khittah Ponorogo juga dicetuskan seiring dengan kondisi sosial politik yang kurang stabil saat itu.Menurut Wakil Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Metro, Mukhtar Hadi, Khittah Ponorogo ditetapkan seiring dengan kelahiran Parmusi. Parmusi adalah partai politik pertama yang didirikan oleh Muhammadiyah. Khittah ini bisa dibilang sebagai salah satu langkah perjuangan Muhammadiyah di bidang politik.
Khittah Ponorogo memuat rumusan dakwah Islam yang disebut amar ma’ruf nahi munkar. Strategi perjuangan Muhammadiyah yang termuat dalam khittah ini dilaksanakan melalui dua saluran, yaitu politik kenegaraan dan kemasyarakatan.
Namun, alih-alih berpartisipasi di bidang politik, Muhammadiyah justru lebih condong di bidang lainnya.
"Muhammadiyah sendiri memposisikan diri sebagai gerakan Islam amar ma’ruf nahi munkar dalam bidang kemasyarakatan," Mukhtar Hadi, dikutip dari situs Universitas Muhammadiyah Metro.
Hal inilah yang menyebabkan pendirian Parmusi tidak berjalan lancar.
3. Khittah Ujung Pandang 1971
Khittah Ujung Pandang dikeluarkan pada 1971. Khittah perjuangan Muhammadiyah yang satu ini ditetapkan sebagai respons atas kegagalan Parmusi yang diatur dalam Khittah Ponorogo.Melalui Khittah Ujung Pandang, Muhammadiyah menegaskan posisinya sebagai organisasi keagamaan yang netral dan tidak terikat partai politik manapun.
Meskipun bersikap netral, Muhammadiyah memberi kebebasan bagi anggotanya untuk bergabung dengan partai politik. Setidaknya ada empat poin yang diatur dalam Khittah Ujung Pandang, yaitu:
- Muhammadiyah adalah gerakan dakwah Islam yang beramal dalam segala bidang kehidupan manusia dan masyarakat.
- Setiap anggota Muhammadiyah sesuai dengan hak asasinya dapat tidak memasuki atau memasuki organisasi lain, sepanjang tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Persyarikatan Muhammadiyah.
- Untuk lebih memantapkan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam setelah pemilu tahun 1971, Muhammadiyah melakukan amar ma’ruf nahi munkar secara konstruktif dan positif terhadap Partai Muslimin Indonesia.
- Untuk lebih meningkatkan partisipasi Muhammadiyah dalam pelaksanaan pembangunan nasional.
4. Khittah Surabaya 1978
Khittah selanjutnya yang ditetapkan oleh Muhammadiyah adalah Khittah Surabaya 1978. Khittah Surabaya merupakan penyempurna Khittah Ponorogo.Menurut Haedar Nashir dalam Understanding the Ideology of Muhammadiyah (2015) Khittah Surabaya membatasi Muhammadiyah agar tidak berafiliasi dan terlibat dalam partai politik apapun.
Khittah Surabaya 1978 mengatur dua hal, yaitu:
- Muhammadiyah adalah gerakan dakwah Islam yang beramal dalam segala bidang kehidupan manusia dan masyarakat, tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan dan tidak merupakan afiliasi dari sesuatu partai politik atau organisasi apapun.
- Setiap anggota Muhammadiyah sesuai dengan hak asasinya dapat tidak memasuki atau memasuki organisasi lain, sepanjang tidak menyimpang dari Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), dan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Persyarikatan Muhammadiyah.
5. Khittah Denpasar 2002
Khittah Denpasar dicetuskan pada 2002. Khittah ini adalah penyempurnaan dari Khittah Surabaya. Masih menurut Haedar Nashir, khittah yang terdiri atas sembilan poin ini disebut juga dengan "Khittah Muhammadiyah dalam Berbangsa dan Bernegara."Melalui khittah ini, Muhammadiyah menegaskan posisinya dalam berpartisipasi dalam urusan kebangsaan tanpa harus terlibat dalam politik praktis.
Alih-alih bergerak lewat politik praktis, strategi perjuangan Muhammadiyah lebih condong di bidang pemberdayaan masyarakat untuk mewujudkan masyarakat madani, yang lebih maju, demokratis, dan beradab.
Selama menjalankan perjuangannya, Muhammadiyah tidak akan meninggalkan nilai-nilai keagamaan dan prinsip berbangsa bernegara yang demokratis.
Meskipun Muhammadiyah tidak akan terlibat dalam politik praktis, namun organisasi ini menegaskan untuk tidak bersikap apatis maupun alergi politik.
Penulis: Yonada Nancy
Editor: Fadli Nasrudin