tirto.id - Pengaruh afiliasi organisasi keagamaan ternyata cukup signifikan terhadap keputusan masyarakat dalam memilih calon presiden dan wakil presiden di Pemilu 2024.
Hal ini terekam dalam survei yang dilakukan Tirto bekerja sama dengan layanan penyedia survei Jakpat, yang memiliki lebih dari 1,3 juta responden.
Survei ini dilangsungkan pada 23 Agustus 2023 dan melibatkan 1.500 responden berusia 17 tahun ke atas, yang artinya seluruh responden berhak berpartisipasi di Pemilu 2024. Responden berasal dari seluruh daerah di Indonesia, meskipun kebanyakan berasal dari Pulau Jawa, dan dipilih dengan metode acak (random sampling).
Jenis kelamin responden terbagi rata antara perempuan dan laki-laki, masing-masing 50 persen. Responden juga mayoritas beragama Islam (86,3 persen) dan kebanyakan berusia 20-25 tahun (26,87 persen) serta 30-35 tahun (21,73 persen).
Hasil survei mengungkap bahwa sebesar 40,40 persen responden mengaku bergabung di satu atau lebih organisasi keagamaan di Indonesia seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dan lainnya.
Lebih lanjut, ketika responden yang bergabung dengan organisasi keagamaan di Indonesia ditanya seberapa penting afiliasi organisasi keagamaan dari calon presiden (capres) maupun calon wakil presiden (cawapres) dalam mempengaruhi pilihan mereka di Pemilu 2024, sebanyak 33,17 persen responden menyebut bahwa aspek ini penting.
Sementara, 28,38 menganggap sangat penting dan 26,90 persen menganggap cukup penting. Tercatat, hanya 11,65 persen responden yang menjawab tidak penting dan sangat tidak penting. Artinya, secara umum, lebih dari 88 persen responden survei menganggap bahwa afiliasi organisasi keagamaan penting dalam memilih kandidat capres-cawapres.
Kemudian, mayoritas responden (70,62 persen) mengaku akan lebih memilih capres-cawapres yang berasal dari organisasi yang sama. Dengan rincian sebanyak 44,55 persen responden mengaku mungkin akan memilih pasangan capres-cawapres yang cawapresnya berasal dari organisasi yang sama dan sebanyak 26,07 persen mengaku lebih mungkin memilih cawapres yang berasal dari organisasi yang sama.
Sementara, 29,37 responden mengaku netral/tidak berpengaruh dengan pilihan capres-cawapres yang cawapresnya berasal dari organisasi yang sama dengan mereka.
Survei ini juga merekam alasan mereka memilih capres-cawapres yang cawapresnya berasal dari organisasi keagamaan yang sama. Sebanyak 52,80 persen mengaku lebih yakin dengan kualitas calon dari organisasi keagamaan yang sama. Lalu, 50,47 persen mengaku lebih yakin dengan sisi religiusitasnya.
Sementara itu, sebanyak 49,77 persen mengaku milih capres-cawapres yang cawapresnya berasal dari organisasi yang sama karena solidaritas sebagai orang yang berasal dari organisasi keagamaan yang sama.
Terakhir, mayoritas responden (76,57 persen) mengaku pilihan capres-cawapres yang didukung oleh organisasi keagamaan mereka akan mempengaruhi pilihan mereka dalam Pilpres 2024. Sementara, hanya 23,44 persen responden yang menyatakan tidak berpengaruh.
Hasil survei ini mengilustrasikan betapa pentingnya organisasi keagamaan dalam peta percaturan politik Indonesia, terutama terkait Pemilu 2024. Seperti apa preferensi pemilih ini ditranslasikan oleh partai politik dalam memilih figur capres-cawapres, serta kemana kecenderungan arah suara dari anggota dari organisasi-organisasi keagamaan terbesar di Indonesia berdasarkan survei-survei terkini?Ganjar dan Prabowo Bersaing di NU, Anies Kuat di Muhammadiyah
Di Indonesia, terdapat dua organisasi keagamaan terbesar yang namanya seringkali dikaitkan dalam setiap kontestasi politik elektoral, yakni NU dan Muhammadiyah.
Lantas, kemana suara NU dan Muhammadiyah akan berlabuh di Pilpres 2024?
Survei yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) merekam mayoritas pemilih dari anggota NU memilih Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo sebagai calon presiden. Survei yang dilakukan pada 3-11 Desember 2022 dengan melibatkan 1.029 responden ini menunjukkan sekitar 20 persen responden mengaku sebagai warga NU.
Dalam survei ini, distribusi suara massa NU (anggota aktif maupun anggota tapi tidak aktif) lebih dominan ke Ganjar. Ada 47 persen anggota NU aktif yang memilih Ganjar, disusul Menteri Pertahanan Prabowo Subianto 24 persen, dan mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan 18 persen. Sementara responden yang mengaku anggota NU tapi tidak aktif, 46 persen memilih Ganjar, 27 persen mendukung Prabowo, sementara 23 persen memilih Anies.
Pendiri SMRC Saiful Mujani memberi catatan bahwa data ini menarik karena memperlihatkan bagaimana warga NU lebih memilih Ganjar yang nasionalis dibanding Anies yang lebih dekat ke kelompok Islam.
Menurut Saiful, hal ini disebabkan Anies, yang meskipun selama ini dekat dengan kelompok Islam, tidak didefinisikan sebagai warga NU. Oleh karena itu, cukup masuk akal jika selama ini ada upaya dari partai pengusung Anies untuk menarik tokoh NU seperti Khofifah untuk dijadikan cawapres.
"Ganjar yang populer. Lalu, Anies yang meskipun santri, tidak didefinisikan sebagai orang NU. Apalagi Prabowo. Jadi ketiga tokoh ini tidak punya latar belakang NU yang kental," jelas Saiful Mujani secara daring pada program "Bedah Politik bersama Saiful Mujani" yang disiarkan melalui kanal YouTube SMRC TV (16/2/2023).
Terkait mayoritas warga NU yang memilih Ganjar, Saiful menjelaskan hal ini disebabkan adanya sentimen dan kedekatan kultural antara NU dan kekuatan politik nasionalis. Sejarah mencatat, sejak awal, NU lebih dekat dengan Partai Nasionalis Indonesia (PNI), dibanding dengan partai Islam seperti Masyumi, bahkan dengan sesama organisasi Islam seperti Muhammadiyah.
Lebih lanjut, Saiful menegaskan bahwa tipologi santri tradisionalis dan modernis cukup kuat. Dua kecenderungan ini, menurut dia, tidak mudah bersama-sama. Ini salah satu penjelasan mengapa orang NU cenderung memilih Ganjar yang nasionalis dibanding Anies yang dekat dengan kelompok santri modernis.
“Kita melihat orang NU, secara politik, lebih bisa bekerja sama dengan orang nasionalis ketimbang dengan orang modernis,” ungkap Saiful dalam rilis survei resmi SMRC (23/2/2023)
Dalam survei yang sama, SMRC juga memotret arah dukungan politik dari responden yang merupakan anggota Muhammadiyah. Jumlah responden yang mengaku anggota Muhammadiyah dalam survei ini sebesar 3,1 persen.
Hasil survei mengungkap anggota aktif Muhammadiyah juga cenderung memilih Ganjar 46 persen, disusul Anies 33 persen, dan Prabowo 14 persen. Berbeda dengan NU, pada anggota Muhammadiyah, pemilih Anies lebih banyak dibanding Prabowo Subianto.
Sementara itu, survei Litbang Kompas yang dilaksanakan pada Mei 2023 mengungkap bahwa basis pemilih dari kalangan NU diyakini cukup besar di Indonesia. Hasil survei menyebutkan, 61,7 persen responden mengaku sebagai warga Nahdliyyin.
Berbeda dengan SMRC, Litbang Kompas mencatat, di survei Mei 2023, nama Prabowo meraih elektabilitas paling tinggi di antara kelompok pemilih NU. Prabowo meraih 25,8 persen suara responden, naik sekitar 7 persen dibandingkan survei Januari 2023.
Sebaliknya, jumlah responden yang memilih Ganjar, yang di survei Litbang Kompas pada Januari 2023 menduduki posisi paling atas, menurun di survei Mei 2023 ini menjadi 24,7 persen, turun 3 persen dari survei Januari 2023.
Sementara itu, Anies Baswedan, meskipun berada di tiga besar, tingkat keterpilihannya relatif agak berjarak dibandingkan Prabowo dan Ganjar. Anies rata-rata hanya meraih elektabilitas kurang dari 15 persen dalam empat kali survei terakhir yang digelar Litbang Kompas.
Temuan menarik dari survei ini adalah meskipun posisinya tergeser oleh Prabowo dalam raihan elektabilitas di kelompok pemilih NU, dominasi pemilih Ganjar di kelompok pemilihnya masih lebih banyak warga NU.Sebanyak 66,9 persen dari responden pemilih Ganjar berasal dari warga NU. Sementara di kelompok pemilih Prabowo, angkanya sedikit di bawahnya, yakni 65,3 persen. Pada kelompok pemilih Anies Baswedan, sebanyak 56,4 persen berasal dari dukungan warga NU.
NU Penentu Kemenangan?
Meskipun PBNU telah menyatakan sikap untuk tidak terlibat langsung dalam politik praktis di 2024, namun, beberapa pihak tetap menganggap NU tetap akan memegang peranan penting dalam Pemilu 2024.
Litbang Kompas misalnya, memberikan catatan bahwa siapapun yang berkontestasi di pemilu, terutama di pemilihan presiden, suara pemilih NU akan jadi penentu. Selain karena jumlahnya besar, distribusi pilihan dari warga NU yang menyebar menjadi potensi bagi siapa pun untuk berebut dukungan dari pemilih kalangan Islam tradisional ini.
“Tidak berlebihan kiranya jika siapapun yang berkontestasi di pemilu, terutama di pemilihan presiden, suara pemilih NU akan jadi penentu. Setidaknya ini tergambar dari konfigurasi pasangan calon presiden dan wakil presiden," tulis Litbang Kompas dalam rilis survei yang dikutip dari Kompas.id (31/5/2023).
Hal serupa diungkap Saiful Mujani. Menurut Saiful, daya tarik utama NU adalah pada jumlah massa yang dimilikinya. Maka dari itu, tokoh yang akan berkontestasi di Pemilu sangat memperhitungkan NU bahkan ingin dianggap sebagai “orang NU”.
“Dilihat dari sisi jumlah, NU sangat penting secara elektoral. Ini yang menjelaskan mengapa banyak partai dan tokoh-tokoh politik Indonesia menghitung NU. Semuanya bahkan ingin merasa dekat dan sebagai orang NU,” kata Saiful (16/2/2023).
Sebelumnya, Litbang Kompas juga sempat memperkirakan bahwa jumlah warga NU di Indonesia sebesar 150 juta orang, sekitar 59,2 persen dari total penduduk Muslim Indonesia.
Selain itu, berbeda dengan Muhammadiyah yang mengedepankan pendekatan seperti rasionalitas dan modernitas, warga NU umumnya lebih mendengar para kiainya masing-masing daripada arahan kepengurusan pusat (PBNU). Situasi ini tentu lebih memudahkan dalam hal distribusi dan mobilisasi suara.
Hal ini diungkap Greg Fealy dari Australian National University dalam tulisannya yang berjudul “Nahdlatul Ulama and The Political Trap” yang dipublikasikan oleh New Mandala, yang menyebut pondasi NU adalah ribuan pesantren dan para kiai yang memimpinnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan kaum kiai secara tradisional merupakan pemimpin agama, sosial, dan politik yang dihormati komunitas mereka. Hal inilah yang sangat mempengaruhi perilaku elektoral para pengikut mereka (warga NU) meskipun dalam beberapa tahun terakhir pengaruh ini agak berkurang.
Lalu, bagaimana cara figur politik mendulang suara NU untuk Pemilu 2024?
Wapres “NU” Diincar
Temuan SMRC mengungkap ketiga capres yang saat ini telah dideklarasikan masing-masing koalisi untuk maju dalam Pilpres 2024, yaitu Anies, Ganjar dan Prabowo secara kultural dianggap bukan orang NU.
Dalam situasi ini, berkaca dari Pilpres 2019, salah satu cara untuk menarik suara NU adalah dengan memilih cawapres yang berasal dari kalangan NU.
Terkait hal ini, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanudin Muhtadi mengungkap, dipilihnya Rais Aam PBNU K.H. Ma’ruf Amin sebagai cawapres Jokowi pada Pilpres 2019 dinilai menjadi salah satu faktor utama meningkatnya dukungan warga NU terhadap Jokowi.
Temuan yang sama diungkap Noshahril Saat dan Aninda Dewayanti, dalam artikel “Jokowi's Management of Nahdlatul Ulama (NU): A New Order Approach? (2020)” menyimpulkan bahwa memberikan Ma’ruf tiket ke pilpres menjadi faktor penting kemenangan Jokowi di Pilpres 2019.
“Meskipun tidak serta-merta basis suara Prabowo menurun, tetapi itu berhasil menaikkan suara Jokowi di sebagian daerah Jawa yang mayoritas adalah warga NU,” catat Noshahril dan Aninda.
Terbaru, survei yang dilakukan Lembaga Arus Survei Indonesia (ASI) mengungkap sebanyak 64,4 persen warga Provinsi Jawa Timur setuju tokoh NU sangat menentukan kemenangan dalam Pilpres 2024 mendatang jika dijadikan sebagai cawapres.
Dalam konteks Pilpres 2024, beberapa nama yang memiliki latar belakang NU, diantaranya Muhaimin Iskandar, Khofifah Indar Parawansa, serta Yenny Wahid, belakangan kerap dikaitkan akan mengisi posisi cawapres.
Muhaimin misalnya, cicit dari salah satu pendiri NU, KH Bisri Syansuri, yang saat ini memimpin Partai Kebangkitan Bangsa--partai yang lahir dari rahim NU, sejak jauh hari dirumorkan kuat akan mendampingi Prabowo.
Sementara itu, Khofifah, yang telah selama 20 tahun menjabat Ketua Umum PP Muslimat Nahdlatul Ulama – organisasi perempuan NU, yang ditaksir memiliki 32 juta anggota di seluruh Indonesia, santer dirumorkan akan menjadi cawapres Anies.
Terakhir, nama yang baru muncul di bursa cawapres adalah Yenny Wahid, anak dari K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Presiden Indonesia ke-4 sekaligus tokoh senior NU. Nama Yenny sendiri pernah diusulkan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) untuk menjadi pendamping Ganjar. Belakangan, Yenny juga dikaitkan dengan posisi cawapres Anies.
Di luar ketiga nama yang memiliki sejarah keturunan dan latar belakang struktural NU tersebut, terdapat juga beberapa nama cawapres yang coba “mengasosiasikan” diri dengan NU.
Erick Thohir misalnya, kandidat cawapres yang meraih elektabilitas tertinggi dalam survei terbaru Indikator Juli 2023 ini, resmi menjadi anggota NU setelah dilantik menjadi menjadi anggota kehormatan Barisan Ansor Serbaguna (Banser) NU. Erick bahkan langsung ditunjuk menjadi ketua pelaksana hari lahir (harlah) ke-100 NU pada tahun 2022 lalu.
Sama seperti Erick, nama Sandiaga Uno yang telah diajukan PPP untuk menjadi cawapres Ganjar juga juga mendeklarasikan dirinya sebagai anggota NU. Ia bahkan mengaku memiliki kartu anggota NU dan pernah aktif bertugas di Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU).
Jika NU dianggap menjadi salah satu faktor penentu kemenangan dalam Pemilu. Lalu, bagaimana dengan posisi Muhammadiyah?
Menerka Arah Muhammadiyah di Pemilu 2024
Sebagai organisasi keagamaan terbesar kedua di Indonesia, eksistensi Muhammadiyah sendiri seringkali terabaikan jika dibandingkan dengan NU dalam kancah politik praktis di Indonesia.
Dalam bursa cawapres misalnya, praktis hanya terdapat nama Muhadjir Efendy – tokoh senior Muhammadiyah yang belakangan diusulkan oleh PAN sebagai “cawapres alternatif”. Baru-baru ini, ia pun telah menyatakan tidak tertarik untuk menjadi cawapres, seperti dilansir dari Metro TV.
Sebagai informasi, meski tak sebanyak NU, Litbang Kompas pada tahun 2022 mencatat Muhammadiyah memiliki 65 juta anggota di dalam negeri dan 1,5 juta anggota di luar negeri. Mereka juga punya sistem yang tersusun rapi seperti di sektor pendidikan dan kesehatan. Hal itu membuat Muhammadiyah seharusnya tetap mempunyai pengaruh besar.
Terkait hal ini, Peneliti Pusat Riset Politik - Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRP-BRIN), Wasisto Raharjo Jati, menyebut ini disebabkan karena Muhammadiyah saat ini memosisikan diri sebagai gerakan masyarakat sipil secara organisasi dan bukan kelompok kepentingan politik praktis.
Dikutip dari laporan Tirto, Wasisto menyebut Muhammadiyah sudah menyepakati hasil Muktamar Denpasar 2002 dengan kembali ke khittah bahwa mereka akan memposisikan diri sebagai gerakan masyarakat sipil.
“Secara organisasi, Muhammadiyah netral dari urusan ‘low politics’ macam perebutan kekuasaan, namun Muhammadiyah peduli soal ‘high politics’ macam urusan kebangsaan yang itu juga bagian perjuangan Muhammadiyah untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara yang makmur dan damai,” kata Wasisto saat dihubungi reporter Tirto, (18/11/2022).
Muhammadiyah sendiri secara resmi melalui pernyataan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir telah menegaskan posisi Muhammadiyah tetap teguh, tidak terlibat dalam politik praktis.
“Muhammadiyah mampu bertahan 106 tahun karena berdiri tegak sebagai organisasi kemasyarakatan yang non-politik praktis. Karenanya Muhammadiyah dalam situasi apapun harus tetap istikamah di atas Khittah sebagaimana dikuatkan dalam Muktamar Makassar 2015. Khittah Denpasar 2002 sebagai persambungan Khittah 1971,” ungkap Haedar dikutip dari laman resmi Muhammadiyah (6/5/2023).
Sikap PP Muhammadiyah ini secara langsung telah menjawab pernyataan terkait “absennya” organisasi yang didirikan KH. Ahmad Dahlan ini dalam kancah politik praktis. Ditambah, berbeda dengan NU, Muhammadiyah lebih condong sebagai organisasi top-down. Warga Muhammadiyah cenderung taat pada keputusan kepengurusan pusat.
Pemerhati politik dari Universitas Padjajaran, Kunto Adi Wibowo, juga mengingatkan bahwa Muhammadiyah berbeda dengan NU. Mengutip dari laporan Tirto, Kunto mengungkap warga Muhammadiyah tidak sepenuhnya patuh pada ustadz sebagaimana warga NU. Menurutnya, Muhammadiyah mengedepankan pendekatan seperti rasionalitas dan modernitas. Oleh karena itu, kata dia, upaya memobilisasi suara demi kepentingan politik berbeda dengan kultur di NU.
Lebih lanjut, Kunto menilai Muhammadiyah akan sedikit lebih sulit untuk berpolitik karena posisi mereka yang tidak masuk dalam pemerintahan. Namun posisi Muhammadiyah dinilai tetap penting untuk menyeimbangkan narasi agama agar tidak satu warna.
==
Bila pembaca memiliki saran, ide, tanggapan, maupun bantahan terhadap klaim Periksa Fakta dan Periksa Data, pembaca dapat mengirimkannya ke email factcheck@tirto.id.
Editor: Farida Susanty