Menuju konten utama
30 Juni 1908

Ledakan Tunguska di Siberia, Satu Misteri Terbesar Abad ke-20

Para ilmuwan terus mengkaji sebuah ledakan bola api di langit Tunguska, 114 tahun silam. Ia masih menimbulkan misteri hingga kini.

Ledakan Tunguska di Siberia, Satu Misteri Terbesar Abad ke-20
Header Mozaik Ledakan dari Luar Angkasa. tirto.id/Tino

tirto.id - Desa Kezhemskoe. 109 tahun silam. Satu peristiwa misterius terjadi di atmosfer. Pukul 7.43, terdengar suara bak angin kencang. Segera setelahnya dentuman mengerikan terdengar, lalu gempa mengguncang bangunan, seolah-olah kayu atau batu raksasa menumbuk bumi.

Dentuman pertama diikuti dentuman kedua dan ketiga. Jeda antara dentuman pertama dan ketiga diisi suara dari bawah tanah yang aneh, mirip derum rombongan kereta api yang lewat secara bersamaan. Setelah itu, selama 5 hingga 6 menit, terdengar suara bak tembakan artileri, makin lama makin melemah.

Langit pada pandangan pertama masih tampak jelas. Tiada angin berembus. Tiada awan yang menggantung. Setelah melihat lebih dekat ke utara di pusat gemuruh, sejenis awan pucat terlihat di dekat cakrawala; ia makin mengecil dan lebih transparan. Sekitar jam 2 sampai 3 siang, segumpalan awan itu menghilang. Lalu 1,5 menit hingga 2 menit usai rentetan suara itu, enam pukulan nyaring disertai getaran terdengar bak tembakan meriam.

Deskripsi atas peristiwa misterius itu dikutip dari koran Krasnoyaretz pada 13 Juli 1908, yang melaporkan kejadian fenomena alam di sekitar Sungai Podkamennaya Tunguska, 30 Juni 1908 silam. Disebut-sebut, sebuah bola api yang kemungkinan besar adalah meteor, atau sebuah komet besar, meledak dengan dahsyat di langit, disusul serentetan ledakan hingga beberapa menit.

Kuatnya ledakan itu mengakibatkan gempa. Pelbagai stasiun meteorologi di Eropa mencatat gelombang tekanan seismik. Beberapa surat kabar daerah, seperti dilansirForbes, mengira telah terjadi aktivitas vulkanik dari sebuah gunung berapi. Bagaimanapun umat manusia masih terkenang atas letusan Krakatau di Hindia Belanda pada Agustus 1883, memancarkan hujan abu panas, memicu tsunami, meluluhlantakkan kota-kota di sepanjang pesisir, mengubah suhu global, menewaskan ratusan ribu jiwa; pendeknya, umat manusia saat itu mengira dunia tengah kiamat.

Segera setelah apa yang kemudian dikenal sebagai "Ledakan Tunguska", daerah di kawasan sekitarnya mengalami goncangan hebat. Tidak ada korban jiwa lantaran kawasan di sekitar ledakan masih hutan raya meski meratakan sekitar 2.000 kilometer persegi hutan.

Tiga belas tahun setelah peristiwa tersebut, Leonid Alexejewitsch Kulik, seorang ahli mineral Rusia, tertarik untuk mengunjungi lokasi yang diyakini menjadi area terdampak dari ledakan tersebut. Berbekal sejumlah laporan mengenai ledakan yang dibarengi benda bercahaya besar itu, ia berharap bahwa ekspedisinya mampu menemukan kawah sekaligus beberapa logam luar angkasa berharga yang dapat diteliti dan menguak tabir baru.

Sekira 13 April 1927, Kulik menemukan area seluas sekitar 830 mil persegi tertutup kayu membusuk di hutan Tunguska. Bersama timnya, Kulik tidak menemukan satu kawah besar yang ia harapkan sejak awal penjelajahannya. Sebaliknya, ia menemukan beberapa lubang melingkar yang ditaksir sebagai dampak dari pecahan ledakan. Ia juga tidak menemukan materi meteorid.

Dari ekspedisi ini, Kulik merumuskan hipotesis yang menjelaskan ledakan benda padat ini terjadi di atmosfer. Sementara partikel-partikel dari ledakan itu, yang jatuh ke tanah berawa, memungkinkan lekas lenyap.

Ada pula hipotesis lain dari ilmuwan Soviet pada 1934. Ia menyebut benda luar angkasa yang meledak itu adalah komet, bukan meteorid. Karena unsur komet adalah es dan debu, partikel itu benar-benar menguap tanpa jejak.

Infografik Mozaik Ledakan dari Luar Angkasa

Infografik Mozaik Ledakan dari Luar Angkasa. tirto.id/Tino

Surendra Verma dalam The Tunguska Fireball: Solving One of the Great Mysteries of the 20th Century (2005) menulis bahwa energi ledakan ditaksir sebesar 15 megaton atau sekitar 1.000 kali lebih besar dari bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima, Jepang. Ia sepadan dengan ledakan termonuklir Jepang di Castle Bravo (15,2 megaton) pada 1 Maret 1954.

Sementara Giuseppe Longo dalam "The Tunguska Event" menyatakan bahwa ledakan Tunguska ditaksir meruntuhkan sekitar 80 juta pohon di area seluas 2.150 kilometer persegi. Ia menghasilkan gelombang kejut sekitar 5.0 Skala Richter.

Pada 30 Juni 2008 menandakan 100 tahun Ledakan Tunguska. Ada pelbagai penelitian yang mengungkap lebih dalam musabab peristiwa dan dari mana benda luar angkasa itu berasal. Sejumlah kendala seperti jejak susunan materi ledakan yang minim, plus situasi politik saat peristiwa itu berlangsung, membuat sulit para ilmuwan menelitinya secara mendalam.

Rilis artikel NASA, badan luar angkasa Amerika Serikat, menyebut bahwa Ledakan Tunguska ditaksir sebuah asteroid yang memasuki atmosfer Bumi dengan laju kecepatan sekira 33.500 mil per jam. Selama terjun itu, batu seberat 22 miliar kilogram tersebut memanaskan udara di sekelilingnya menjadi 24.705 derajat Celsius. Hingga pukul 7.17 pagi, 114 tahun silam waktu Siberia, di ketinggian 8,5 kilometer, asteroid itu terpecah dan musnah menjadi ledakan dahsyat, lalu melepaskan energi yang meluluhlantakkan daratan Bumi.

Danau Cheko, terletak di sekitar Sungai Podkamennaya Tunguska, pernah disebut-sebut sebagai kawah hasil ledakan tersebut. Namun, perdebatan dan bantahan muncul terutama dari penelitian yang mencocokkan bahwa tanggal pembentukan danau lebih tua dari peristiwa Ledakan Tunguska.

Ledakan Tunguska hingga saat ini masih menjadi misteri. Jejaknya adalah reruntuhan pepohonan hutan yang hangus. Minimnya bukti-bukti lain, seperti kawah atau serpihan luar angkasa, memancing para ilmuwan terus mendalami dan mengulik peristiwa tersebut.

==========

Artikel ini terbit pertama kali pada 30 Juni 2017. Redaksi melakukan penyuntingan ulang dan menayangkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait LEDAKAN atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Humaniora
Penulis: Tony Firman
Editor: Fahri Salam & Irfan Teguh Pribadi