Menuju konten utama
Byte

Seribu Ragam Tayangan, Sejuta Beban Tagihan

Layanan streaming makin beragam. Tapi, biaya langganannya pun makin tak terjangkau. Padahal, hanya itu hiburan yang bisa kita harapkan. Lalu, apa solusinya?

Seribu Ragam Tayangan, Sejuta Beban Tagihan
Ilustrasi Film Streaming. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Dalam beberapa tahun terakhir, layanan streaming telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan digital. Dengan opsi tayangan melimpah, harga yang harus dibayar untuk berlangganan layanan streaming sepintas tampak sangat murah. Belum lagi, dengan keberadaannya di iOS dan Android, platform-platform ini juga menawarkan kepraktisan lantaran bisa dinikmati secara mobile.

Namun, lambat laun, apa yang ditawarkan platform-platform streaming itu tak lagi terlihat menggiurkan. Alih-alih bikin aktivitas nonton jadi lebih praktis, makin banyaknya jumlah layanan streaming justru membikin ribet pengguna. Untuk menonton film tertentu, seseorang mesti berlangganan layanan streaming yang secara eksklusif menayangkannya. Ketika pelanggan itu ingin menyaksikan film yang lain, dia mesti berlangganan layanan yang lain pula.

Tak cuma jumlah layanan streaming makin banyak, harga berlangganan di tiap platformnya pun cenderung terus mengalami kenaikan.

Sebagai contoh, pada awal 2025 biaya langganan Netflix di sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat dan Argentina, mengalami kenaikan. Paket Standar tanpa iklan naik dari 15,49 dolar AS (Rp252 ribu) menjadi 17,99 dolar AS (Rp292 ribu) per bulan. Sementara itu, harga paket ad-supported naik menjadi 7,99 dolar AS (Rp130 ribu) per bulan, dari sebelumnya 6,99 dolar AS (Rp113 ribu).

Di Indonesia, harga Netflix memang masih terbilang stabil. Namun, pada 2023 lalu, Disney+ Hotstar sempat mengumumkan kenaikan harga yang cukup bikin heboh. Biaya langganan paket premium milik mereka naik empat kali lipat, dari Rp199.000 menjadi Rp799.000 per tahun.

Banyak penyedia layanan streaming menaikkan biaya langganannya dengan berbagai alasan, mulai dari peningkatan kualitas konten, ekspansi katalog film dan serial, kebutuhan untuk meningkatkan infrastruktur teknis, hingga biaya produksi yang memang melonjak.

Salah satu alasan utama di balik kenaikan harga adalah biaya produksi yang kian tinggi. Dengan meningkatnya persaingan di industri ini, platform streaming berlomba-lomba menciptakan konten orisinal yang eksklusif dan berkualitas tinggi. Produksi serial dan film orisinal membutuhkan anggaran besar, baik untuk aktor, sutradara, efek visual, hingga pemasaran. Misalnya, produksi serial Stranger Things musim keempat menelan biaya sekitar 30 juta dolar AS per episode, menjadikannya sebagai salah satu serial termahal yang pernah dibuat. Hal ini membuat penyedia streaming menaikkan harga langganannya agar dapat tetap beroperasi secara berkelanjutan.

Selain itu, ada faktor ekonomi makro yang juga memengaruhi harga langganan. Inflasi global, situasi pajak di sebuah negara, dan peningkatan biaya operasional, turut mendorong perusahaan streaming untuk menyesuaikan harga mereka.

Fragmentasi Konten dan Tantangan bagi Konsumen

Di masa lalu, pelanggan cukup berlangganan satu atau dua platform untuk mengakses sebagian besar konten yang mereka inginkan. Kini, dengan makin banyaknya layanan streaming, mulai dari Netflix, Disney+, HBO Max, Amazon Prime Video, Apple TV+, hingga layanan lokal macam Vidio dan WeTV, konsumen harus memilih dengan bijak.

Kian menjamurnya platform streaming menyebabkan terjadinya fragmentasi konten. Satu serial atau film eksklusif hanya tersedia di satu medium tertentu. Akibatnya, pelanggan yang ingin menikmati beragam tayangan harus mengeluarkan lebih banyak biaya untuk berlangganan beberapa platform sekaligus.

Fragmentasi menciptakan dilema bagi konsumen. Di satu sisi, keberagaman layanan streaming berarti lebih banyak pilihan dan variasi konten. Di sisi lain, hal ini menyebabkan kebingungan serta peningkatan pengeluaran karena harus membayar biaya langganan di lebih dari satu platform. Beberapa konsumen bahkan mengalami apa yang disebut sebagai subscription fatigue, yakni kelelahan akibat terlalu banyak langganan digital yang harus dikelola setiap bulan.

Dampak dari fragmentasi juga terasa pada industri hiburan secara keseluruhan. Studio-studio besar yang sebelumnya mendistribusikan film dan serialnya melalui satu atau dua platform, kini mulai menarik konten mereka untuk dijadikan eksklusif di layanan streaming miliknya sendiri. Lihat misalnya, Disney menarik film-film Marvel dan Pixar dari Netflix agar bisa ditayangkan eksklusif di Disney+. Hal yang sama juga dilakukan oleh Warner Bros. yang memindahkan kontennya ke HBO Max.

Jika dihitung, biaya langganan semua layanan streaming utama di Indonesia bisa dibilang cukup mahal. Misalnya, berlangganan Netflix (Rp133.000/bulan), Disney+ Hotstar (Rp65.000/bulan), HBO Max (Rp49.000/bulan), Amazon Prime Video (Rp59.000/bulan), Apple TV+ (Rp99.000/bulan), dan Vidio Diamond (Rp79.000/bulan) akan menghabiskan biaya total sekitar Rp484.000 setiap bulan. Ini belum termasuk biaya langganan internet yang tentunya dibutuhkan untuk mengakses platform-platform tersebut.

Alternatif yang Lebih Hemat

Berbagi akun telah menjadi strategi umum bagi banyak pengguna streaming. Misalnya, satu keluarga memiliki satu akun Netflix yang digunakan bersama oleh beberapa anggota keluarga. Dengan cara ini, biaya langganan bisa ditekan.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, beberapa platform mulai memberlakukan kebijakan pembatasan berbagi akun. Netflix dan Spotify, misalnya, telah menerapkan aturan yang lebih ketat terkait penggunaan akun di luar satu rumah tangga.

Alternatif lain yang makin populer adalah layanan streaming berbasis iklan atau AVOD (Advertising-Based Video On Demand). Layanan aliran video daring, seperti YouTube, Tubi, dan Pluto TV, memungkinkan pengguna menonton berbagai konten secara gratis asalkan rela menonton iklan. Model ini menawarkan solusi bagi mereka yang ingin menghemat biaya tetapi tetap menikmati berbagai tayangan hiburan.

Selain itu, ada tren yang disebut sebagai "langganan bergilir" atau subscription cycling. Dalam strategi ini, seseorang hanya berlangganan di satu medium dalam satu periode tertentu, menonton semua tayangan yang diinginkan, lalu membatalkan langganan dan beralih ke layanan lain. Dengan cara ini, mereka dapat mengakses berbagai konten tanpa harus membayar semua layanan secara bersamaan.

Ilustrasi Film Streaming

Ilustrasi Film Streaming. FOTO/iStockphoto

Imbas bagi Industri Hiburan

Perubahan tren dalam industri streaming juga berdampak pada model bisnis perusahaan hiburan. Sebelumnya, industri film dan televisi sangat bergantung pada pendapatan dari bioskop dan jaringan televisi kabel. Kini, dengan makin populernya layanan streaming, banyak studio besar beralih ke model distribusi digital langsung ke konsumen.

Hal ini turut berpengaruh pada produksi film dan serial. Karena layanan streaming mengutamakan model berlangganan dibandingkan pendapatan dari box office, mereka cenderung berinvestasi dalam produksi konten jangka panjang yang dapat menarik pelanggan dalam waktu lebih lama. Sebagai misal, Netflix dan Disney+ lebih memilih memproduksi serial yang dapat membangun loyalitas pelanggan daripada hanya mengandalkan film blockbuster.

Namun, tidak semua layanan streaming mampu bertahan dalam persaingan ini. Beberapa platform, yang tidak memiliki katalog konten cukup kuat atau kejelasan strategi, akhirnya harus tutup lapak atau melakukan merger. Salah satu contoh merger yang paling menyita perhatian adalah penggabungan antara Discovery+ dan HBO Max.

Sebenarnya, sebagai respons terhadap subscription fatigue, beberapa layanan mulai menawarkan paket bundelan (bundling) agar pelanggan bisa mendapatkan akses ke lebih banyak konten dengan harga lebih terjangkau. Sebagai contoh, Disney menawarkan bundelan yang mencakup Disney+, Hulu, dan ESPN+. Sayangnya, paket tersebut tidak tersedia di Indonesia.

Untuk contoh kasus lokal, paket biasanya dilakukan oleh penyedia seluler. Mereka turut menawarkan langganan platform tertentu dengan biaya lebih rendah dari harga normal. Namun, kelemahannya, tidak semua orang bisa mengakses paket bundelan macam ini.

Jadi, Worth It atau Tidak?

Worth it atau tidaknya platform streaming sangat bergantung pada kebutuhan dan preferensi masing-masing individu. Jika seseorang memang menikmati banyak konten eksklusif dari satu layanan dan menggunakannya secara rutin, langganan bisa tetap bernilai. Namun, bagi mereka yang merasa terbebani dengan banyaknya layanan dan harga yang terus naik, mencari alternatif atau berlangganan secara selektif bisa menjadi solusi terbaik.

Bagi konsumen, sangatlah penting untuk mempertimbangkan cara-cara yang dapat membantu menghemat biaya, seperti berbagi akun, memanfaatkan layanan gratis berbasis iklan, membeli paket bundelan, atau menerapkan strategi "langganan bergilir". Dengan pendekatan yang lebih cerdas, pelanggan tetap dapat menikmati hiburan berkualitas tanpa harus mengeluarkan biaya berlebihan.

Saat ini, solusi permanen atas masalah subscription fatigue memang belum ada, well, setidaknya secara legal. Ya, karena sesungguhnya platform ilegal yang menayangkan film dan serial secara gratis masih bertebaran di mana-mana. Namun, memang inilah realitas yang ada sekarang. Suka tidak suka, mau tidak mau, konsumen memang harus lebih selektif dan cerdas dalam menavigasi konstelasi persaingan bisnis semacam ini.

Baca juga artikel terkait LAYANAN STREAMING atau tulisan lainnya dari Yoga Cholandha

tirto.id - Mild report
Kontributor: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadli Nasrudin