Menuju konten utama

Evolusi Para Pahlawan Super: dari Jagoan Hingga Bermasalah

Superhero Amerika hidup abadi karena terus diperbarui selaras perkembangan zaman.

Evolusi Para Pahlawan Super: dari Jagoan Hingga Bermasalah
Karakter pahlawan super tampil selama acara pembukaan di Disneyland Paris, sebelah barat Paris, Sabtu, 9 Juni 2018. AP / Francois Mori

tirto.id - Tak bisa dimungkiri, wiracarita Marvel Cinematic Universe telah memacak standar tinggi bagi film superhero kontemporer. Marvel Studios meramu laga, drama, humor, dan teknologi canggih menjadi saga superhero yang sulit dicari padanannya. Film-film MCU, sejak Iron Man (2008) hingga Avengers: Endgame yang kini sedang tayang, menjadi bukti sahihnya.

Benar-tidaknya silakan diperdebatkan. Yang terang, film-film itu berhasil mendatangkan banyak penonton fanatik dan laba berlimpah selama sepuluh tahun belakangan.

Pencapaian Mavel Studios dengan MCU-nya tak ayal pula adalah satu tonggak dalam sejarah perkembangan kisah adisatria (superhero). Sebelum jadi film laris, para adisatria itu lebih dulu menggebrak kultur pop melalui komik. Bisa dikatakan, penggemar fanatik MCU—juga adisatria dari DC—mulanya adalah para pembaca komik.

Selayaknya produk kultural lainnya, para pahlawan super Amerika ini juga mengalami proses evolusi. Bagaimana cerita, konteks dan citra adisatria AS bermula hingga jadi seperti sekarang?

Komik-komik pertama, dalam bentuk komik strip di media massa AS, muncul sebagai lucu-lucuan. Ia dimaksudkan sebagai hiburan dan satir sosial. Karenanya, orang Amerika menyebutnya funnies.

Lalu muncullah komik dalam format buku pada 1933. Pertama merupakan bunga rampai komik strip. Baru pada 1935 muncul buku komik dengan cerita orisinal. Tak melulu humor, tema cerita pun berkembang mulai dari petualangan, misteri, hingga superhero.

Karakter adisatria Amerika pertama adalah Superman yang diperkenalkan dalam Action Comics #1 yang diterbitkan oleh National Periodical Publications—cikal-bakal DC Comics—pada 1938. Kisah adisatria asal Planet Krypton anggitan Jerry Siegel dan Joe Shuster itu lantas menjadi standar bagi adisatria lain setelahnya.

Ensiklopedia Britannica menulis, “Ia dengan sempurna mempersonifikasikan adisatria seperti yang secara umum dikenal hari ini: karakter heroik dengan misi altruistik, memiliki kekuatan di atas rata-rata manusia, mengenakan kostum yang khas, dan memiliki alter ego dalam kehidupan harian.”

Superman lalu menjadi penanda era Golden Age (1938 hingga akhir 1940an) dalam sejarah komik superhero Amerika. Menyusul popularitas Superman, National Periodical Publications menyusulkan beberapa karakter lain seperti Batman (1939), The Flash (1940), dan Wonder Woman (1941). Penerbit-penerbit komik lain pun tak ketinggalan menerbitkan kisah adisatrianya sendiri.

Dari Eskapisme Menjadi Citra Nasional

Pada awal kemunculannya, gagrak adisatria adalah sebentuk pelarian orang Amerika setelah Depresi Besar awal 1930an. Para adisatria pertama mengisi kebutuhan akan hiburan ketika Amerika mulai pulih dari masa krisis itu.

"Saya pikir komik superhero itu muncul dari konteks ketika realitas politik, sosial dan ekonomi dalam keadaan krisis,” kata Erin Clancy, seorang kurator di Pusat Kebudayaan Skirball, Los Angeles, sebagaimana dikutip CNN.

Di masa-masa itu orang Amerika sedang menyusun lagi apa yang dikenal sebagai American Dream—sebuah ide bersama tentang kemakmuran. Mereka tak ingin kondisi yang baik itu dikoyak lagi oleh krisis dan tangan-tangan jahat. Karenanya, mereka begitu suka pada aksi para adisatria kala menggebuk para bromocorah.

Ide-ide politik kemudian ramai mewarnai komik superhero menjelang Perang Dunia II. Elite mulai memaknai superhero tak hanya sebagai hiburan belaka karena kini mereka memiliki peran yang lebih besar: patriot negara. Era ini ditandai dengan munculnya adisatria patriotik yang memerangi Nazi dan berpropaganda untuk Amerika.

Ide patriotik macam ini paling kentara pada karakter Captain America. Dalam komik orisinalnya yang terbit pada 1941, Captain America digambarkan benar-benar memukul Adolf Hitler. Ia serta superhero lainnya lalu jadi metafora kekuatan Amerika selama Perang Dunia II dan setelahnya.

“Mereka bicara lugas kepada pembaca soal perang, pertarungan dengan Nazi, [...] Superman mengarahkan jarinya keluar dari bingkai buku komik dan berkata: Anda harus membeli obligasi perang! Propaganda terbuka semacam itu selalu ada tempatnya,” ujar sejarawan komik T. Andrew Wahl dalam wawancaranya untuk Humanities.

Era Baru

Komik pahlawan super memasuki era baru sejak dekade 1960an. Stan Lee dari Atlas Publications—cikal-bakal Marvel Comics—layak disebut sebagai pionir dari era yang disebut sebagai Silver Age ini. Ketika orang sudah jenuh dengan formula usang “baik versus jahat”, ia menawarkan ide “superhero bermasalah” kepada penghikmat komik.

Stan Lee memulainya dengan grup adisatria Fantastic Four pada 1961. Selain harus bergelut dengan kejahatan, anggota grup superhero ini juga sering dihadapkan pada pertikaian di antara sesamanya. Mereka pun sering dikisahkan mengalami konflik batin karena kekuatannya yang lebih terasa sebagai beban dan ingin kembali normal.

Infografik Evolusi Imajinasi Superhero Amerika

undefined

Gaya Fantastic Four ini lantas diterapkan pada adisatria Marvel lain yang lahir kemudian. Sebutlah misalnya, Hulk yang harus berhadapan dengan stigma monster, Spider-Man yang dihadapkan pada tekanan ekonomi dan sekolah, juga para mutan X-Men yang dikucilkan karena dianggap berbahaya.

Era ini juga dapat ditengarai dari munculnya adisatria yang berasal dari golongan minoritas. Lagi-lagi, Stan Lee-lah pemula dari gelombang ini. Resep ini tak hanya memperkuat karakterisasi superhero Marvel, tapi juga membuatnya mampu bersaing dengan dominasi DC Comics.

“Ketika gerakan hak-hak sipil mulai meningkat pada tahun 60-an, ia menyadari bahwa ia dapat mulai memasukkan unsur-unsur itu ke dalam buku komik. [...] Lihatlah metafora yang mendasari X-Men. Stan Lee menciptakan X-Men untuk memanfaatkan zeitgeist di sekitar gerakan hak-hak sipil itu,” ujar Wahl.

Perlahan ide multikultural ini membesar. Beberapa golongan minoritas mendapat tempatnya di jagad superhero Amerika. Sebutlah misalnya Falcon dan Black Panther dari golongan kulit hitam, Miss Marvel yang muslim, Thunderbird yang seorang Indian, atau Shang-Chi yang berdarah Tionghoa.

Perkembangan dari 1970-an hingga kini lantas memberikan konteks baru untuk kisah-kisah superhero lawas. Prinsipnya, peran klasik adisatria umumnya tak berubah, tapi mereka mendapat tantangan-tantangan baru sesuai perkembangan zaman.

Contoh paling gamblang adalah cara Marvel Studios membuat ulang Iron Man, dari konteks Perang Dingin menjadi “perang” kontemporer Amerika melawan terorisme. Atau simaklah bagaimana wacana energi bersih masuk dalam plot The Dark Night Rises.[]

Baca juga artikel terkait FILM AVENGERS ENDGAME atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Nuran Wibisono