Menuju konten utama

KRKP Desak Pemerintah Ubah Harga Pembelian Gabah Petani

Said menjelaskan, apabila harga pembelian pemerintah dipatok sekitar Rp4.700 per Kg, maka petani dapat mengantongi keuntungan sekitar Rp500 per Kg.

KRKP Desak Pemerintah Ubah Harga Pembelian Gabah Petani
Buruh tani memanggul padi saat panen raya di areal persawahan Desa Kedungori, Dempet, Demak, Jawa Tengah, Jumat (26/1/2018). ANTARA FOTO/Aji Styawan

tirto.id - Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) mendesak pemerintah menaikan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah petani. Pasalnya, HPP Gabah Kering Panen (GKP) dipatok sekitar Rp3.700 per kilogram (Kg), sementara biaya produksi mencapai Rp 4.200 per Kg.

"Menurut saya memang sudah saatnya untuk menaikkan HPP sekarang, karena rugi. Biaya produksi enggak seimbang dengan harga yang didapat petani karena HPP-nya kan belum banyak berubah dari sejak 2015," ujar Koordinasi KRKP, Said Abdullah, kepada Tirto, Jumat (23/2/2018).

Said menilai, nominal harga pembelian pemerintah membuat Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (BULOG) tidak memiliki daya saing dengan pedagang lainnya. Ia mencontohkan, tengkulak di beberapa daerah seperti Karawang, Indramayu, Subang, bahkan berani membeli gabah petani sebesar Rp5ribu per Kg, sedangkan BULOG hanya mampu membeli Rp4 ribu per Kg.

"Enggak akan kekejar ke mana-mana, terlalu jauh jaraknya. Masak petani enggak boleh sih dapat untung?" kata Said.

Ia mengatakan, seharusnya harga pembelian pemerintah dipatok sekitar Rp4.700 per Kg, dengan asumsi biaya produksi sebesar Rp4.200 per Kg. Dengan begitu, petani dapat mengantongi keuntungan sekitar Rp500 per Kg. Bahkan, ia berharap petani dapat mengantongi keuntungan hingga Rp1000 per Kg.

"Menurut saya kalau pedagang kampung, pedagang kecamatan itu dapat Rp150-300 per Kg keuntungannya, maka petani harusnya bisa dapat minimal Rp500 per Kg. Lucu, petani yang produksi tapi keuntungannya lebih kecil dari pada yang jual," terangnya.

Selain itu, rendahnya harga pembelian pemerintah juga menyebabkan rendahnya kemampuan BULOG dalam menyerap gabah petani. Berdasarkan data pada 2017, BULOG hanya mampu menyerap 2,16 juta ton gabah setara beras atau 56,7 persen dari target serapan sebesar 3,7 juta ton.

Said menjelaskan, rendahnya daya serap BULOG terhadap gabah petani juga memicu impor. "Kalau BULOG serapannya rendah, sudah bisa dipastikan cadangan pangan pemerintah rendah. Kalau rendah biasanya, harga beras di pasar naik dan sudah dipastikan akan terjadi impor," ungkapnya.

Selain itu, rendahnya daya serap gabah petani juga bisa menjadi pembenaran untuk impor sebagai solusi stabilisasi harga beras. Dan hal itu berpengaruh besar terhadap inflasi. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), beras menyumbang inflasi 0,24 persen di awal tahun ini, tertinggi dari komoditas lainnya.

"Kalau mau antisipasi yang baik ya beri keleluasaan BULOG untuk pemenuhan target itu (penyerapan) tercapai dengan mengubah [harga] HPP, memberikan keleluasaan pengenaan HPP agar bisa bersaing," ujarnya.

Pemerintah Naikan Tingkat Fleksibilitas Harga Gabah

Pemerintah menaikkan tingkat fleksibilitas harga serapan gabah Perum Bulog sebesar 20 persen dari harga pembelian pemerintah yang ditetapkan dalam Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah atau Beras dan Penyaluran Beras Oleh Pemerintah. Sebelumnya, fleksibilitas pembeliannya hanya 10 persen.

Kebijakan baru tersebut hasil dari rapat koordinasi terbatas (Rakortas) pada Kamis (8/2/2018). Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyatakan, langkah tersebut diambil karena harga beras belum turun signifikan.

Aturan fleksibilitas dari harga pembelian pemerintah memungkinkan BULOG membeli gabah petani di kisaran harga Rp4.440 per kilogram (Kg), dari HPP Gabah Kering Panen (GKP) Rp3.700 per Kg. Namun, kebijakan fleksibilitas 20 persen HPP ini akan dikaji ulang pada April 2018 atau hingga masa panen raya berakhir.

"Walaupun Kemendag ngomong BULOG boleh diberi fleksibilitas lebih tinggi mengikuti harga pasar. Tapi, rasanya enggak cukup juga," ucap Said Abdullah.

Baca juga artikel terkait BERAS atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Alexander Haryanto