tirto.id - ICJR menilai debat pertama capres Pilpres 2019 yang bertajuk HAM, Korupsi, dan Terorisme, kedua paslon tidak menjawab permasalahan hukum di Indonesia saat ini, khususnya terkait dengan reformasi kebijakan pidana.
“Saat debat, isu tumpang tindih regulasi, para pasangan calon luput dalam mengangkat isu tumpang tindih peraturan perundang-undangan dalam kerangka hukum pidana. Padahal, isu ini sangat penting karena dalam hukum pidana dianut adanya prinsip lex certa, lex stricta, dan lex scripta,” tulis Anggara, Direktur Eksekutif ICJR dalam rilis kepada reporter Tirto, Jumat (18/1/2019).
Menurut Anggara, pertama, ada banyak peraturan perundang-undangan pidana yang bertentangan satu sama lain atau memuat istilah yang berbeda-beda sehingga menimbulkan ketidakpastian.
Selain itu, salah satu yang disoroti ICJR misalnya pemenuhan hak korban kejahatan. Indonesia meskipun memiliki UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Namun, hak dan mekanisme pemenuhan hak korban juga masih tersebar di berbagai undang-undang, akibatnya seringkali hak tersebut tidak terpenuhi karena aturan yang tidak sinkron dan harmonis.
“Salah satu yang menjadi soal misalnya ketika Pemerintah memutuskan tidak lagi menanggung pembiayaan korban kejahatan dengan skema BPJS, padahal di lain sisi, pemenuhan hak korban masih jauh dari kata cukup,” jelasnya.
Kedua, dalam isu penegakan hukum terhadap tindak pidana terorisme dalam kaitannya dengan HAM.
Kedua pasangan calon menyetujui bahwa deradikalisasi adalah suatu hal yang penting dalam pencegahan terorisme.
Sayangnya, kedua kubu pasangan calon tidak menawarkan bagaimana sebenarnya injustice dan inequality yang sangat kental dalam masyarakat ini bisa diatasi sehingga terorisme bisa dicegah secara bertahap.
Metode perang yang dihadirkan negara dengan melakukan serangkaian extra judicial killing dan tidak menjawab isu HAM dalam penegakan hukum menjadi acuan yang juga harus diperhatikan.
“UU Terorisme baru misalnya, masih membuka peluang incommunicado detention dengan lamanya masa penangkapan, hal ini secara jelas membuka peluang pelanggaran HAM dalam penegakan hukum terorisme yang bsia menjadi akar injustice dan menimbulkan bibit baru terorisme,” tutur Anggara.
Terakhir, terkait isu fair trial sempat mengemuka dalam sesi debat Calon Presiden dan Wakil Presiden.
Paslon Jokowi-Ma'ruf menyatakan bahwa HAM dan penindakan hukum yang sesuai bukanlah merupakan suatu pelanggaran HAM. Contohnya, mengenai penahanan yang harus dilakukan supaya tersangka tidak melarikan diri atau merusak barang bukti.
Tidak hanya itu, keberadaan lembaga pra-peradilan juga sempat dinyatakan, untuk menjadi alasan bahwa Indonesia saat ini sudah melaksanakan fair trial karena terhadap mekanisme uji terhadap upaya paksa.
ICJR memandang, jawaban ini tidak merepresentasikan masalah fair trial yang ada di Indonesia, sebab dalam isu ini, permasalahan tidak sebatas pada kerangka hukum yang tidak memadai, namun juga pada tingkatan pelaksanaannya.
Besarnya celah kuasa dan potensi kesewenang-wenangan tersebut membuka peluang korupsi yang selama ini jarang disentuh. Untuk menanggulangi korupsi maka perlu dilakukan pembenahan sistem.
“Pembenahan ini dapat dilakukan dengan melakukan perubahan KUHAP yang sangat mendasar dalam sistem peradilan pidana dari model crime control ke model due process,” pungkasnya.
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno