Menuju konten utama

Kritik Dijamin UUD, Pemerintah Jangan Alergi Bendera One Piece

Pemerintah harusnya merespons aspirasi & kritik masyarakat secara terbuka, bukan dengan ancaman pidana.

Kritik Dijamin UUD, Pemerintah Jangan Alergi Bendera One Piece
Bendera One Piece yang lagi viral di medsos. FOTO/tangkapan layar TikTok

tirto.id - Kekuasaan barangkali memang begitu lekat dengan purbasangka dan paranoia. Di mata kekuasaan yang penuh paranoia itu sesuatu yang semestinya lumrah, seperti kritik dan kebebasan berekspresi, malih rupa jadi ancaman.

Itulah yang sedang ditampakkan pemerintah dalam merespons maraknya pengibaran bendera berlambang Bajak Laut Topi Jerami dari komik One Piece.

Bendera fiksi dari manga bajak laut karya Oda Eiichiro itu dikibarkan sebagai bentuk protes atas kondisi Indonesia jelang hari ulang tahun kemerdekaan ke-80. Alih-alih menyerap aspirasi masyarakat dengan reflektif, sejumlah pejabat pemerintahan justru meresponsnya dengan reaksioner. Mereka menuduh para pengibar bendera bajak laut itu sebagai pemecah belah bangsa dan pengganngu stabilitas nasional.

Bahkan, mereka sampai merasa perlu menggunakan ancaman pidana terhadap warganya sendiri yang tetap “bandel” mengibarkan bendera Bajak Laut Topi Jerami.

Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam), Budi Gunawan, misalnya, menegaskan bahwa pemerintah tidak segan menindak tegas dan memproses hukum warga apabila secara sengaja dan provokatif mengibarkan bendera Bajak Laut Topi Jerami.

Menurut Budi, pengibaran bendera Bajak Laut Topi Jerami merupakan upaya provokasi dari sejumlah kelompok untuk menurunkan marwah bendera Merah Putih. Oleh karena itu, dia mengajak publik menahan diri dan tidak terprovokasi oleh simbol yang disebutnya tidak relevan dengan perjuangan bangsa itu.

Budi juga mengingatkan bahwa terdapat ancaman pelanggaran pidana apabila terjadi tindakan mencederai bendera Merah Putih. Dia mengacu pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara.

"Ada konsekuensi pidana dari tindakan yang mencederai kehormatan bendera Merah Putih. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 Pasal 24 Ayat (1) menyebutkan: ‘Setiap orang dilarang mengibarkan Bendera Negara di bawah bendera atau lambang apa pun.’ Ini adalah upaya kami untuk melindungi martabat dan simbol negara," kata eks Kepala BIN itu dalam keterangan tertulis, Jumat (1/8/2025).

Pejabat Sumbu Pendek

Sejumlah pejabat publik lain juga seolah latah merespons fenomena pengibaran bendera Bajak Laut Topi Jerami. Senada dengan Budi Gunawan, mereka menganggap fenomena itu merupakan bentuk makar dan mengancam stabilitas negara.

Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Firman Soebagyo, misalnya, melarang adanya pengibaran bendera Bajak Laut Topi Jerami karena dianggap sebagai simbol perlawanan terhadap pemerintah.

"Oleh karena itu, bagian daripada makar mungkin malah itu. Nah, ini enggak boleh. Ini harus ditindak tegas," kata Firman di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (31/7/2025).

Baru-baru ini, Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai, malah menyatakan bahwa negara berhak melarang pengibaran bendera Bajak Laut Topi Jerami lantaran telah melanggar hukum sekaligus merupakan bentuk makar.

Pigai mengklaim pelarangan itu sejalan dengan aturan internasional mengenai hak negara dalam mengambil sikap atas isu-isu tertentu yang menyangkut integritas nasional dan stabilitas negara.

"Saya berharap agar masyarakat memahami bahwa pelarangan ini adalah upaya menjaga kesatuan dan integritas bangsa dalam momentum bersejarah seperti perayaan Hari Kemerdekaan,” kata Pigai dalam keterangan tertulis, Minggu (4/8/2025).

Tindakan tegas terhadap pengibar bendera Bajak Laut Topi Jerami juga tampak sudah dijalankan di lapangan oleh aparat penegak hukum.

Seturut pemberitaan Republika, Kepolisian Resor Metro Jakarta Pusat mulai melakukan pemantauan terhadap pengibaran bendera Bajak Laut Topi Jerami jelang peringatan HUT ke-80 Republik Indonesia. Pemantauan itu dilakukan dengan melibatkan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).

Kepala Seksi Hubungan Masyarakat (Kasi Humas) Polres Metro Jakarta Pusat, Iptu Ruslan Basuki, mengatakan bahwa kepolisian berkoordinasi dengan Satpol PP melakukan pemantauan di sejumlah wilayah pemukiman warga.

Selain itu, Polda Banten menyatakan akan menindak tegas warga yang sengaja mengibarkan bendera Bajak Laut Topi Jerami di momen peringatan HUT Ke-80 RI. Hal ini disampaikan oleh Wakapolda Banten, Brigjen Pol Hengki, di Tangerang, Sabtu (2/8/2025).

Menurut Polda Banten, dikutip dari pemberitaan Tempo, “gerakan” pengibaran bendera Bajak Laut Topi Jerami itu merupakan bentuk provokasi yang dapat menurunkan derajat atas bendera Merah Putih.

Di media sosial, juga viral informasi soal penghapusan mural bertema One Piece di Jalan Karangmalang, Sragen, Jawa Tengah. Personel TNI ikut terpantau mengawasi penghapusan mural tersebut.

Namun, dikonfirmasi Tirto, pihak TNI memastikan tidak ada intervensi dalam penghapusan mural One Piece di Sragen.

“Jadi, tidak ada pengawasan [intervensi] kepada pihak mana pun untuk melaksanakan kegiatan tersebut dan penghapusan mural dilakukan oleh masyarakat setempat. Jadi, tidak ada pengawasan seperti yang dinarasikan dalam video tersebut,” ujar Dandim 0725/Sragen, Letkol Inf Ricky Julianto Wuwung, kepada Tirto, Senin (4/8/2025).

Mural One Piece dihapus TNI di Sragen

Mural One Piece dihapus TNI di Sragen. x/Info Jateng

Kritik Warga Dijamin Konstitusi

Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, berpendapat bahwa reaksi berlebihan yang ditunjukkan para pejabat pemerintahan itu adalah bentuk paranoia yang tidak proporsional.

“Kekhawatiran tersebut mungkin dipicu contoh di negara lain, seperti Thailand pada 2020, ketika masyarakat menggunakan simbol salam tiga jari diadopsi dari film The Hunger Games,” ucap Ardi kepada wartawan Tirto, Senin (4/8/2025).

Menurut Ardi, ancaman pidana terhadap pengibar bendera Bajak Laut Topi Jerami itu melalui UU Nomor 24/2009 itu jelas-jelas keliru. Pasalnya, UU tersebut hanya mengatur soal penyalahgunaan lambang atau bendera negara alias Sang Saka Merah Putih, bukan lambang atau bendera lain.

“Bahkan cenderung sikap paranoid dari pihak berwenang terhadap masyarakat,” ujar Ardi.

Pemerintah, kata Ardi, harusnya menampung aspirasi dan kritik masyarakat secara terbuka, bukan menanggapinya dengan ancaman pidana. Menurutnya, kritik publik melalui simbol-simbol perlawanan adalah hak yang sah dan wajib dilindungi sebagaimana diatur dalam Pasal 28E UUD 1945.

Sebagian sopir truk, misalnya, mengibarkan bendera Bajak Laut Topi Jerami sebagai bentuk protes atas maraknya pungutan liar yang dilakukan oleh aparat maupun preman di jalanan. Ardi memandang tindakan itu adalah respons atas sebuah masalah yang tidak tegas diatasi pemerintah.

Kelompok masyarakat sipil lain pun bisa jadi memaknai pengibaran bendera Bajak Laut Topi Jerami secara berbeda, sesuai isu yang mereka soroti masing-masing. Namun, semua itu tetap merupakan unjuk rasa yang sah sebagaimana dijamin konstitusi.

“Publik akan selalu menemukan cara menyuarakan kekecewaannya, termasuk mengadopsi simbol-simbol film populer. Pemerintahan yang berintegritas tidak akan merasa terancam oleh kritik semacam ini,” ujar Ardi.

Cover Film one piece

Cover Film One Piece. FOTO/wikipedia

Sementara itu, pengajar hukum tata negara dari Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, berpendapat bahwa protes dengan mengibarkan bendera Bajak Laut Topi Jerami dari semesta manga One Piece sama sekali tidak menunjukkan niatan jahat.

Titi menjelaskan bahwa secara hukum, UU Nomor 24/2009 memang mengatur tata cara penggunaan bendera negara. Namun, penerapan sanksi pidana semestinya proporsional dan memperhatikan mens rea (niat jahat). Sementara itu, pengibaran bendera Bajak Laut Topi Jerami dinilainya tak ada indikasi sebagai bentuk penghinaan simbol negara.

Menurut Titi, langkah pemerintah mempidanakan fenomena ini justru mencederai semangat demokrasi.

“Respons pemerintah cenderung represif dan mencerminkan paranoia. Menganggap ekspresi simbolik sebagai ancaman stabilitas nasional menunjukkan ketidakmampuan membedakan kritik publik dari makar,” kata Titi kepada wartawan Tirto, Senin (4/8/2025).

Titi juga menilai narasi pecah belah yang dimunculkan oleh pemerintah itu terlalu mengada-ada. Pemerintah mestinya menanggapi ekspresi publik secara bijak dan reflektif, bukan justru bertindak represif.

“Kritik adalah bagian dari demokrasi dan menjadi indikator sehatnya partisipasi warga negara. Alih-alih menghukum, negara harus membuka ruang dialog dan introspeksi,” ujar Titi.

Ahli hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Herlambang P. Wiratraman, menilai bendera Bajak Laut Topi Jerami merupakan refleksi dari kegelisahan masyarakat atas persoalan hukum dan politik yang belakangan terlalu banyak diintervensi oleh penguasa.

Oleh karena itu, fenomena pengibaran bendera Bajak Laut Topi Jerami merupakan simbolisasi kritik dari warga yang dialamatkan kepada pemerintah.

Sikap kritis semacam ini, kata Herlambang, merupakan tindakan yang legitimate dan tidak melanggar aturan apa pun.

“Ekspresi itu banyak ragamnya, dengan bendera, dengan kaus, dengan slogan, dengan macam-macam. Termasuk, dengan kata-kata, menulis puisi, dan seterusnya. Jadi, sama ini [mengibarkan bendera Bajak Laut Topi Jerami] juga sebenarnya,” ucap Herlambang kepada wartawan Tirto, Senin (4/8/2025).

Sementara itu, pengajar hukum pidana dari Universitas Mulawarman, Orin Gusta Andini, menegaskan bahwa respons pemerintah yang menebar ancaman pidana terhadap pengibar bendera Bajak Laut Topi Jerami terlalu berlebihan. Menurutnya, seseorang hanya bisa dipidana kalau punya niat jahat (mens rea). Orin tidak melihat adanya mens rea tersebut dalam konteks pengibaran bendera Bajak Laut Topi Jerami oleh masyarakat.

Jika memakai pendekatan pidana, pemerintah justru menunjukkan ia gagal memahami makna yang ingin disampaikan oleh warganya sendiri.

“Harusnya menerima kritikan itu bentuk merawat demokrasi dan justru memperbaiki kinerja mereka sebagai pemerintah atas bobroknya nasib masyarakat sehingga muncul kekecewaan melalui cara-cara yang ada,” terang Orin kepada wartawan Tirto, Senin (4/8.2025).

Baca juga artikel terkait POLEMIK BENDERA ONE PIECE atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News Plus
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi