tirto.id - Sudah tak terhitung berapa kali Wandi mengeluh atas situasi yang dihadapinya: banjir. Lebih dari dua dekade ia menetap di Muara Baru, Jakarta Utara, dan selama itu pula masalah ini tak pernah terurai.
Banjir di wilayah Wandi, juga di banyak tempat lain, berakar dari masalah yang kompleks. Persoalannya bukan sebatas curah hujan yang tinggi, melainkan juga penurunan tanah (land subsidence) yang timbul dari—setidaknya—empat hal: pembangunan kota, populasi, kegiatan ekonomi maupun industri, hingga ekstraksi air tanah.
Laju penurunan tanah berada di angka 3 hingga 5 sentimeter setiap tahun dari 1925 sampai 2015, menurut Balai Konservasi Air Tanah Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Di kawasan Utara, angkanya bahkan menyentuh 12 cm.
Wandi bukannya berdiam diri. Ia berkali-kali meninggikan rumah namun menjumpai hasil yang tak jauh berbeda. Rencana untuk pindah tempat tinggal pun sempat mengemuka, akan tetapi terbentur sumber daya. “Saya cuma [kerja] cari rongsok[an]. Enggak punya duit untuk pindah. Untuk makan sehari-hari aja kerepotan, apalagi keadaan seperti sekarang ini,” kata lelaki 60 tahun ini kepada saya.
Di luar banjir, Wandi mesti menghadapi kesusahan lain. Ekstraksi air tanah besar-besaran yang dilakukan oleh pabrik sampai hotel membuatnya tak memperoleh pasokan air bersih yang memadai. Tak jarang, ia mesti membeli air yang harganya antara Rp30 sampai Rp50 ribu per jeriken.
“Kalau punya duit enggak masalah, ya. Masalahnya, uang segitu lebih baik buat makan. Kalau dipakai buat beli air terus, lalu makannya kapan?” Getir dan kecewa tak mampu pergi dari raut wajahnya saat bicara dengan saya.
Krisis iklim, yang termanifestasi melalui kenaikan permukaan air laut di pesisir utara Jakarta, membuat masa depan Wandi, juga masyarakat Muara Baru, diselimuti ketidakpastian. Mengutip riset Climate Central, air laut diperkirakan bakal meninggi sekitar 20 sampai 30 sentimeter pada 2050 mendatang, menyebabkan permukiman-permukiman yang dihuni sekitar 23 juta penduduk di kawasan pesisir Indonesia—termasuk DKI Jakarta—tenggelam. Ancaman ini merupakan efek parah dari emisi karbon.
“Saya enggak bisa bayangin kalau hal itu beneran terjadi,” katanya, pelan. “Gimana dengan anak dan cucu saya nanti?”
Kelas yang Terpinggirkan
Sekjen PBB Antonio Guterres pernah berujar bahwa tidak ada satu pun negara yang dapat kebal efek krisis iklim. Ia menambahkan: meski demikian, yang miskin dan rentan adalah kelompok yang paling menderita.
Pernyataan tersebut tak keliru. Benar bahwa orang-orang semakin terpinggirkan, dari mulai warga utara Jakarta, pesisir pantai utara Jawa, hingga Amazon. Tapi pernyataan tersebut kurang lengkap. Semestinya juga disebutkan siapa yang menyebabkan ini semua terjadi.
Dalam hal ini pendekatan kritis tentang kelas sosial membantu. Alih-alih menunjuk seluruh umat manusia sebagai pelaku seperti yang muncul dari pendekatan ala malthusian, kelas pemilik modallah yang berkontribusi membawa bumi ke kekacauan.
Sebagian besar masyarakat, kelas yang secara kuantitas paling banyak, tak bertanggung jawab atas emisi karbon. Mereka bukan pemilik modal, dan mereka tidak bertindak eksploitatif terhadap sumber daya yang ada.
Faktanya penyumbang emisi terbesar yang jadi pangkal memburuknya krisis iklim ialah perusahaan ekstraktif skala besar serta negara-negara utara. Di bawah gelembung kapitalisme, mereka senantiasa bergerak mencari keuntungan.
Riset yang dipublikasikan di jurnal The Lancet Planetary Health (2020) menyebutkan negara-negara utara bumi, termasuk AS dan Uni Eropa, menyumbang 92 persen emisi gas karbon global. Laporan The Guardian (2019) turut menunjukkan temuan yang tak kalah mengenaskan. Hanya 20 perusahaan dapat berkontribusi terhadap 35 persen emisi gas karbon di dunia sejak 1965. Perusahaan-perusahaan tersebut antara lain Chevron, Aramco, Shell, sampai Gazprom.
Sementara Indonesia, menurut riset WRI, menyumbang kenaikan emisi gas rumah kaca sebesar 1,88 persen. Selama satu dekade, 2007 sampai 2016, emisi karbon yang dihasilkan selalu mengalami peningkatan, dari yang semula 398 juta ton (2007) menjadi 530 juta ton (2016). Sektor listrik dan panas menghasilkan emisi paling besar (0,45 persen dari emisi global), disusul pertanian (0,41 persen), transportasi (0,29 persen), serta manufaktur dan konstruksi (0,18 persen).
Sumbangsih emisi karbon tersebut tak dapat dilepaskan dari keberadaan batu bara. Indonesia merupakan produsen batu bara terbesar kelima di dunia, serta merupakan rumah bagi cadangan batu bara terbesar ke-10 di dunia. Sekira 80 persen batu bara di Indonesia diekspor. Sejak 2000 hingga 2014, misalnya, ekspor batu bara Indonesia meningkat empat kali lipat. Data terbaru menunjukkan bahwa kontribusi Indonesia untuk ekspor batu bara dalam level global mencapai 26 persen, unggul dari Cina, Rusia, AS, dan hanya kalah dari Australia (27,5 persen).
Pada 2017, Indonesia menggeser Australia sebagai pengekspor batu bara termal terbesar di dunia, yang digunakan untuk pembangkit listrik. Indonesia juga menempati posisi 10 dunia untuk total kapasitas batu bara (29.307 megawatt), dan kelima untuk kapasitas yang direncanakan (24.691 megawatt). Di dalam negeri sendiri, 58 persen pasokan listrik dihasilkan dari batu bara (2017).
Kebutuhan akan batu bara makin masif kala Presiden Joko Widodo meluncurkan rencana ambisius mengembangkan 35 ribu megawatt pembangkit listrik baru pada 2015—yang lantas direvisi jadi 2024—dengan tujuan mengurangi kesenjangan elektrifikasi antara pulau-pulau besar dan kecil.
Sejauh ini perkembangan pembangunan 35 ribu megawatt pembangkit listrik baru sebanyak 284 unit sudah beroperasi/mengantongi sertifikat kelayakan operasi (COD/SLO) (menyumbang 10 ribu megawatt), 91 unit masuk tahap konstruksi (17 ribu megawatt), 43 unit kontrak belum konstruksi (sekitar 6 ribu megawatt), 25 unit di tahap pengadaan (800 lebih megawatt), dan 29 unit di fase perencanaan (700-an megawatt).
Sumber listrik Indonesia mayoritas masih ditopang oleh PLTU, yang notabene menggunakan batu bara. PLTU diperkirakan memasok hampir lebih dari 30 ribu megawatt untuk kebutuhan listrik nasional. Persentasenya mencapai 48 persen. Ini sekaligus memperlihatkan bahwa realisasi bauran energi Indonesia masih dikuasai batu bara (63,52 persen).
“Emisi yang dihasilkan PLTU itu masih. Efeknya besar bagi kesehatan dan lingkungan. Padahal, seperti kita tahu, batu bara berada pada tren yang mulai ditinggalkan oleh banyak negara,” kata Andri Prasetyo, Manajer Program Trend Asia, LSM yang fokus pada isu lingkungan.
Catatan End Coal menyebut sejak 2006 sampai 2020 setidaknya terdapat 171 PLTU batu bara yang beroperasi di Indonesia, dengan total kapasitas sebesar 32.373 megawatt. Pembangkit-pembangkit ini ikut menyumbang karbon dioksida yang dihasilkan oleh seluruh PLTU di dunia, taksirannya mencapai 258.394 juta ton dengan rata-rata emisi tahunan sekitar 6.463 juta ton.
Siapa yang berdiri di belakang industri batu bara ini mempertebal analisis bahwa krisis iklim merupakan ulah kelas pemilik modal. Penelitian IESR (2019) menjelaskan kurang lebih ada 10 produsen batu bara terbesar di Indonesia. eberapa pihak yang terafiliasi langsung dengan perusahaan batu bara dalam daftar 10 besar mungkin tidak kelewat asing untuk pembaca.
“Industri batu bara disubsidi besar-besaran baik subsidi langsung lewat jaminan pinjaman, pembebasan pajak, royalti dan tarif pajak, maupun subsidi tidak langsung lewat penetapan batas harga batu bara,” tulis EISR dalam laporannya.
Temuan baru Indonesia Corruption Watch (ICW) menambah panjang daftar persekutuan penguasa-pengusaha dalam gelembung industri batu bara. Hasil penelusuran mereka atas 20 PLTU memperlihatkan sekitar 10 orang terkaya se-Indonesia, 12 orang terafiliasi dengan perusahaan di negara surga pajak (offshore leaks), dan 3 pejabat publik berada di balik proyek tersebut. Detail laporan dapat dibaca di sini.
Ketika industri batu bara, penghasil emisi gas rumah kaca, jadi bancakan elite dan pengusaha, mereka yang hidup dengan pilihan terbatas seperti Edi Suriana, yang tinggal di dekat PLTU Suralaya, jadi pihak yang terdampak. Edi telah mengalami berbagai kepiluan akibat kehadiran PLTU Suralaya: kehilangan anggota keluarga lantaran terserang ISPA hingga terkikisnya mata pencaharian sebab lahan pertanian tak lagi produktif akibat digebuk muntahan abu.
“Aktivitas PLTU bikin semuanya kayak gini, termasuk adanya ISPA,” katanya kepada saya. “Munculnya ISPA karena debu batu bara yang dihasilkan dari PLTU. Bayangkan debu-debu itu muncul secara konsisten selama 30 tahun lebih. Dampaknya ke warga sini yang paling kentara, ya, ISPA.”
Jika apa yang terjadi di Suralaya tak cukup memberikan gambaran, kita dapat bergeser ke Kalimantan Selatan. Pada awal 2021 kemarin, krisis iklim melahirkan hujan dengan curah tinggi selama 10 hari berturut dan menyebabkan beberapa wilayah tersapu air bah. Puluhan ribu rumah tenggelam, belasan orang meninggal, dan puluhan ribu lain terpaksa mengungsi.
Krisis iklim adalah faktor yang tak bisa ditepikan saat membicarakan bencana di Kalsel. Tapi itu juga diperparah dengan perubahan kawasan. Sebesar 1,2 juta hektare, dari total 3,7 juta, menurut Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), telah dieksploitasi untuk tambang batu bara. Hasilnya: bencana berskala besar.
Menyelipkan persoalan kelas dalam membaca krisis iklim bertambah relevan kala menyaksikan bagaimana produk undang-undang yang selama ini dihasilkan pemangku kebijakan nyatanya cenderung condong ke para pemilik modal. Dalam perspektif kelas, negara adalah kepanjangan tangan pemilik modal.
Di UU Cipta Kerja, yang sejak awal memantik kontroversi serta direspons dengan protes besar-besaran, krisis iklim seolah lenyap dari fokus kebijakan lantaran pemerintah menghapus, misalnya, pasal yang mengandung prinsip tanggung jawab mutlak—strictliability—bagi korporasi ketika terjadi kebakaran hutan. Selain itu, rezim turut mengerdilkan peran analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) dan menghapus Izin Lingkungan.
Tak cuma UU Cipta Kerja, produk hukum yang dinilai bakal menjauhkan upaya pemerintah dalam menangani krisis iklim secara adil ialah UU Minerba. Dalam beleid tersebut, pengusaha batu bara disediakan insentif fiskal dan nonfiskal dengan syarat tertentu seperti hilirisasi. Tak ketinggalan: pemerintah menetapkan perpanjangan otomatis bagi pemegang izin PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) tanpa pengurangan luas wilayah plus lelang, perluasan definisi wilayah pertambangan sampai lautan dan pulau kecil, peluang tak menjalankan reklamasi pascatambang, pemindahtanganan IUP maupun IUPK, sampai menghapuskan pasal 165 tentang sanksi pidana bagi pelanggaran penerbitan izin.
Membumikan Isu Krisis Iklim
Menempatkan krisis iklim sebagai prioritas utama pembangunan adalah memutus ekonomi sebuah negara agar tidak terlalu bergantung pada batu bara, tambang, industri perkebunan, maupun properti skala besar. Industri-industri ini dinilai telah mengubah alih fungsi lahan dan kawasan secara besar-besaran, dari pegunungan hingga laut, dari sungai, hutan, hingga teluk.
Masalahnya, menjadikan krisis iklim sebagai isu arus utama yang perlu diperjuangkan tidak semudah membalik telapak tangan. Di kalangan masyarakat, terutama kelompok kelas pekerja, isu krisis iklim terasa berjarak. Ada yang tidak percaya, menyebutnya konspirasi, serta menganggap aktivitas manusia tak berkorelasi dengan lahirnya krisis.
Iqra Anugrah, doktor Ilmu Politik dan Kajian Asia Tenggara di Northern Illinois University yang saat ini meneliti untuk Center for Southeast Asian Studies (CSEAS) Kyoto University, mengungkapkan setidaknya ada dua hal yang membikin isu krisis iklim tidak diterima masyarakat secara penuh. “Ide [dari] krisis iklim ini, kan, cenderung teknokratis dan hanya didasarkan pada perilaku individu. Selain itu, narasinya tak jarang malah terjebak pada bias kelas menengah,” jelasnya saat saya hubungi via sambungan telepon. “Tak heran, dari situ, tidak banyak [masyarakat] yang menaruh perhatian lebih kepada isu ini.”
Karena itu, bagi Iqra, isu krisis iklim harus “dibumikan”. Artinya, harus dikemas secara populis—dekat dengan keseharian—agar lebih punya resonansi.
“Kemudian, menerjemahkan apa yang sedang ramai di luar [negeri] dengan konteks Indonesia. Misalnya, bagaimana menerjemahkan energi terbarukan dalam lingkup Indonesia?” tuturnya. “Kita harus bertumpu pada tiga hal, dari konten, narasi, sampai pembacaan ketika berbicara soal krisis iklim. Dan semua ini mesti sesuai dengan kontekstualisasi Indonesia.”
Senada dengan Iqra, Manajer Kampanye Keadilan Iklim Wahana Lingkungan Hidup Indonesi (Walhi) Yuyun Harmono mengatakan bahwa perlu ada transformasi gagasan perihal distribusi informasi isu krisis iklim. Tak cukup mengemas konten sesuai dengan realitas masyarakat lokal, tapi perlu pula memasukkannya ke dalam buku panduan resmi semacam kurikulum sekolah.
“Cara supaya [isu krisis iklim] sampai ke publik tergantung tiga faktor: pendekatan, medium, dan pihak yang menyampaikannya. Saya pikir, menyelipkannya ke dalam bahan ajar pendidikan kita bisa membantu banyak mengatasi persoalan tersebut karena informasi soal krisis iklim sudah dikembangkan sejak tingkatan paling awal,” jelasnya.
Perlahan ada perubahan meski belum terlalu signifikan, demikian ujar Tata Mustasya, Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara. Isu krisis iklim mulai jadi perbincangan utama dengan motor penggerak anak-anak muda. Dalam beberapa momen krusial, seperti aksi Reformasi Dikorupsi maupun demonstrasi tolak UU Cipta Kerja, isu krisis iklim turut mengambil panggung, bersanding bersama tuntutan lain.
“Sudah membaik dibanding beberapa tahun lalu. Sebelum-sebelumnya tidak banyak yang concern sama isu krisis iklim,” ucapnya. “Tapi, jalannya masih panjang.”
Jalannya memang panjang. Iqra memberi penjelasan bahwa setelah kesadaran terbetuk, yang patut diperhatikan selanjutnya adalah bagaimana mengubahnya menjadi gerakan yang berdampak. Ini bukan pekerjaan mudah karena sejak PKI diberangus Orde Baru, politik kelas nyaris lenyap, digantikan masyarakat sipil—yang serba abu-abu dan kerap tak menyasar serangan ke sistem ekonomi yang ada.
Meski demikian, peluang terbentuknya politik—dan perjuangan—kelas dalam isu krisis iklim tidak serta merta tertutup, Iqra menegaskan. Ini bisa terjadi lantaran krisis iklim berkorelasi erat dengan krisis sosial-ekologis, berdampak luas, serta menggambarkan betapa brutalnya eksploitasi di bawah bendera kapitalisme.
“Selalu ada perlawanan dari sebuah masalah yang kompleks dan besar, tak terkecuali krisis iklim,” ucapnya. “Dan saya pikir itu sudah mulai terbentuk di masyarakat sekarang.”
Krisis iklim pada akhirnya hanya kian melebarkan jurang antara kelas atas dan bawah, antara kapitalis dan pekerja, antara borjuis dan proletariat. Yang kaya makin foya-foya, yang miskin makin merana.
Di Indonesia, telunjuk patut diarahkan ke persekutuan negara-pengusaha yang terbungkus dalam oligarki, yang akar kemunculannya—menurut analisis Richard Robinson dan Vedi Hadiz dalam Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets (2014)—bisa ditarik sejak Orde Baru berkuasa. Jaringan ini menguasai banyak sektor ekstraktif, seperti tambang batu bara sampai sawit, yang pada akhirnya membikin upaya penanggulangan krisis iklim tersendat sekaligus menjauhkan realisasi atas pemenuhan keadilan iklim (climate justice).
Menaruh perhatian lebih terhadap gerak oligarki, mungkin, menjadi salah satu syarat dalam membangun perlawanan berlandaskan kelas sehubungan dengan krisis iklim. Tidak mudah, memang, lantaran cengkeraman para oligark diprediksi masih bercokol sampai tahun-tahun mendatang, didasarkan pada—contohnya—karpet merah berbentuk regulasi yang dibikin rezim saat ini.
Mencari Harap
Jam memperlihatkan pukul tiga sore ketika Wandi tengah merapikan sekaligus membersihkan ikan hasil tangkapannya. Kebanyakan yang ditangkap adalah bawal, jumlahnya kurang lebih delapan ekor. Rencananya, ikan itu akan dimasak untuk kemudian dijual ke tetangga sekitar sebagai menu makan malam.
Tangannya masih cekatan membereskan ikan yang ada di depannya. Sesekali ia menyeka keringat yang mengucur di wajahnya yang mulai ditelan usia. Selebihnya ia berusaha menyembunyikan gelisah.
“Saya cuma kepikiran anak sama cucu nanti. Kalau kondisi masih kayak begini terus, gimana mereka nanti?”
Hampir setengah jam kami bersua, sudah lebih dari sekali Wandi mengungkapkan “soal anak cucu nanti”. Rasanya, itu benar-benar membebani senjakala umurnya.
“Sekarang Corona, masa beberapa tahun lagi mesti tenggelem?” ia kembali bertanya, sedikit retoris. Saya tak menjawab.
“Siapa pun yang jabat nanti, saya cuma pesen jangan sampai orang-orang di sini hidupnya makin susah. Kita udah banyak susah,” ia menambahkan.
Wandi tak mengenal, juga tak tahu pasti, apa itu krisis iklim. Yang ia mengerti, ada ancaman nyata sejak Masjid Waladuna, yang letaknya tak jauh dari tempat ia tinggal, dilumat gelombang air. Sejak itu ia tahu, masa depan dipastikan tak berjalan mudah, bencana mungkin datang silih berganti, namun satu hal pasti: orang-orang sepertinya bakal kena dampak di urutan pertama.
“Mau berdoa, kok, rasanya berdoa saja enggak cukup,” ia berkata lirih. “Harus gimana lagi?”
=========
Laporan ini terselenggara berkat beasiswa liputan dari SIEJ Indonesia dan WRI Indonesia.
Editor: Rio Apinino