tirto.id - Di saat semua mata tertuju kepada penanganan COVID-19, dunia seakan memandang perubahan iklim sebelah mata. Padahal, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa perubahan iklim merupakan ancaman global yang dampaknya akan dirasakan seluruh dunia tanpa terkecuali, seperti pandemi COVID-19, mengutip siaran pers.
“Perubahan iklim adalah ancaman global yang nyata dan sudah dipelajari oleh berbagai ilmuwan yang menggambarkan bahwa dunia ini mengalami pemanasan global,” ujar Menteri Keuangan secara daring dalam ESG Capital Market Summit 2021 pada 27 Juli 2021.
Sri Mulyani menjelaskan, seluruh kegiatan manusia semakin menghasilkan emisi karbon yang mengancam dunia dalam bentuk kenaikan suhu. Oleh karena itu, dunia saat ini sedang berlomba-lomba untuk menghindari kenaikan suhu sebesar 1,5 derajat agar implikasi katastrofe tidak terjadi, lanjutnya.
Bencana akibat perubahan iklim telah berakibat fatal. Pada 2018 saja, ada 2.426 kejadian bencana yang mengakibatkan korban jiwa hingga 4.231 orang meninggal dan 6.948 orang dinyatakan hilang, mengutip Kompas. Jika dibandingkan dengan negara lain, Indonesia menempati posisi kelima dengan jumlah kejadian bencana tertinggi dari 2000 hingga 2019, menurut data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dilaporkan Reuters.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Chemonics International, yang dipublikasikan oleh weADAPT pada Februari 2018, juga menemukan bahwa jumlah biaya yang harus ditanggung Indonesia pada tahun 2050 karena perubahan iklim di area pertanian, kesehatan, dan kenaikan tinggi permukaan laut, diperkirakan sebesar Rp132 triliun, sekitar 1,4 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun tersebut.
Oleh karena itu, berbagai negara kini mengupayakan pemulihan hijau (green recovery). Secara umum, pemulihan hijau ini adalah upaya pemulihan ekonomi dan sosial atas COVID-19 yang tak memperparah krisis lingkungan dan justru mempercepat transisi pembangunan rendah karbon. Pasalnya, pemulihan pasca pandemi yang hijau dan rendah karbon dapat mengurangi 25 persen dari emisi rumah kaca yang diproyeksikan pada tahun 2030, menurut kajian Program Lingkungan PBB (UNEP).Di Indonesia, pemulihan hijau menjadi penting sebab pemulihan aktivitas ekonomi dan sosial pada 2021 diperkirakan akan meningkatkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), menurut salinan rancangan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) untuk 2022. Perubahan iklim sendiri terjadi karena meningkatnya konsentrasi gas karbon dioksida dan gas-gas lainnya di atmosfer yang menyebabkan efek gas rumah kaca, mengutip Knowledge Centre Perubahan Iklim.
Menimbang misi pemulihan hijau, bagaimana kemajuan pengurangan emisi GRK selama ini? Apa upaya pemerintah untuk mencegah kenaikan GRK guna merealisasikan pemulihan hijau, dan apa saja tantangan ke depan?
Emisi GRK Naik?
Pada 2016, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meratifikasi Persetujuan Paris (Paris Agreement) untuk mengurangi emisi GRK. Pada pidatonya tanggal 1 Desember 2015, ia berjanji untuk mengurangi emisi GRK sebesar 29 persen melalui usaha sendiri di bawah pola biasa (business as usual) atau 41 persen dengan dukungan internasional pada 2030. Komitmen penanganan perubahan iklim pemerintah tertuang pula pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 - 2024.
Kendati komitmen ini, emisi karbon cenderung naik pada 2000-2019, meskipun cukup fluktuatif dari tahun ke tahun, menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Secara rata-rata, emisi karbon di Indonesia naik 1,16 juga gigagram setara karbon (Gg CO2e) per tahun. Data tahun 2020 masih belum tersedia per 5 Agustus 2021.
Jika dilihat dari komposisinya, sektor energi paling banyak berkontribusi emisi GRK dibandingkan sektor lainnya selama 2000-2019. Pada 2019, sektor energi berkontribusi sekitar 34 persen dari emisi GRK di Indonesia, diikuti dengan Kehutanan dan Penggunaan Lahan (25,1 persen) dan Kebakaran Gambut (24,45 persen).
Secara global, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengungkap bahwa lima tahun sejak Perjanjian Paris disepakati, konsentrasi gas rumah kaca, terutama dari penggunaan energi fosil, belum menunjukkan tren mencapai puncaknya dan kemudian menurun, dikutip dari keterangan tertulisnya pada 12 Desember 2020.
WALHI mengungkap bahwa dari tahun 1990-2019 emisi dari penggunaan energi fosil mencapai 38 Gigaton CO2, dengan kenaikan rata-rata 0,9 persen per tahun antara tahun 2010-2019. Mengutip Global Carbon Project, emisi karbon pada 2020 diperkirakan turun hingga 7 persen dari jumlah emisi tahun 2019 karena faktor pandemi dan perlambatan ekonomi global.
“Di sisi lain, komitmen dari para pihak melalui Komitmen Kontribusi Nasional atau Nationally Determined Contribution (NDC) belum cukup ambisius menahan suhu bumi dibawah 1,5 derajat Celcius, justru NDC dari seluruh negara termasuk Indonesia akan mengarah pada meningkatnya suhu bumi mencapai 3-4 derajat Celcius,” tulis WALHI.
Upaya Pemerintah
Guna memenuhi janji Jokowi untuk menurunkan GRK, pemerintah rata-rata mengalokasikan Rp86,7 triliun per tahun selama 5 tahun terakhir untuk program-program terkait perubahan iklim, menurut paparan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) yang diterima Tirto pada 26 Juli 2020. Mayoritas (88,1 persen) dari anggaran tersebut merupakan belanja untuk infrastruktur hijau (green infrastructure).
Indonesia juga telah menerbitkan green sukuk bond atau sukuk hijau dan pemungutan pajak karbon untuk mendukung pembiayaan proyek mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Sukuk hijau sendiri adalah Surat Berharga Negara (SBN) syariah yang mengedepankan konsep program pembiayaan untuk proyek-proyek ramah lingkungan.Pemerintah juga menyediakan berbagai fasilitas perpajakan untuk mendukung pengembangan energi baru terbarukan (EBT), sebut paparan yang sama.
Sebagian program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sudah mendukung pencapaian pembangunan hijau, menurut paparan Climate Policy Initiative (CPI) yang diterima Tirto pada 26 Juli 2021. Program tersebut antara lain pembiayaan Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk proyek EBT, subsidi biodiesel, dan pembiayaan untuk PT Kereta Api Indonesia (PT KAI),
Namun, upaya ini bukan tanpa hambatan. Dilansir CNBC Indonesia, realisasi belanja pemerintah untuk perubahan iklim sebesar Rp86,7 triliun masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan pendanaan sebesar Rp343,7 triliun per tahun atau kebutuhan total sebesar Rp3.779 triliun hingga 2030 untuk mencapai target NDC, menurut estimasi BKF terbaru dalam artikel yang sama.
CPI dan Vivid Economics pun dalam studinya menemukan bahwa hanya 6,3 miliar dolar AS, atau 8,4 persen dari 74,7 miliar dolar AS yang digelontorkan untuk stimulus fiskal pandemi, relevan dengan program lingkungan. Dari 6,3 miliar dolar ini, hanya 4 persen yang masuk dalam kategori “hijau”, sedangkan sisanya masuk dalam kategori “kotor” atau berdampak negatif terhadap lingkungan. Capaian ini lebih rendah dari beberapa negara lain, seperti Korea Selatan dan Singapura.
Selain itu, meskipun adanya berbagai fasilitas perpajakan, porsi EBT masih rendah dalam bauran energi primer nasional pada medio 2014-2020. Pada 2020, Kementerian ESDM mencatat porsi EBT dalam bauran energi nasional baru mencapai 11,2 persen, sedangkan sisa bauran energi pada tahun 2020 masih didominasi oleh batubara (38,04 persen), kemudian minyak bumi (31,60 persen) dan gas bumi (19,16 persen).
Padahal, Angka EBT pada 2020 ini masih di bawah target Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sebesar 13,4 persen pada 2020 dan jauh dari target 23 persen pada 2025. Mengutip Rencana Strategis 2020-2024 Kementerian ESDM, kendala dalam implementasi EBT antara lain masih mahalnya investasi pembangkit EBT dan terbatasnya insentif untuk konservasi energi.
Catatan ke Depan
Ekonom Lingkungan Andhyta Firselly Utami mengatakan kepada Tirto, Rabu (4/8/2021), bahwa paradigma pemangku kepentingan yang belum mengintegrasikan pemulihan hijau sebagai suatu hal yang mendasar dalam pemulihan ekonomi menjadi salah satu tantangan terbesar ke depannya dalam menerapkan pemulihan hijau.
"Karena setelah COVID, krisis iklim ini berkali-kali lipat dampaknya dan krisis ini memberikan kita momentum untuk merubah arah pertumbuhan kita," jelas Andhyta.
Perubahan paradigma ini sepatutnya datang dari komitmen politik dan kepemimpinan, lanjutnya. Ia mengharapkan bahwa agenda Koalisi Menteri Keuangan Dunia untuk Aksi Perubahan Iklim tak hanya dijalankan Kementerian Keuangan, namun juga dibawa ke kementerian teknis lainnya.
Mengutip siaran pers, Menteri Keuangan Sri Mulyani terpilih pada 10 Februari 2021 sebagai Co-Chair dari Koalisi Menteri Keuangan Dunia untuk Aksi Perubahan Iklim periode 2021-2023 bersama dengan Finlandia. Menurut artikel tersebut, terpilihnya Menteri Keuangan Sri Mulyani menambahkan exposure (paparan), posisi strategis, dan peran Indonesia yang kian penting di dunia internasional.
Lebih lanjut, Andhyta menjelaskan bahwa kelangkaan sumber daya menjadi tantangan lain di saat ingin meluncurkan program pemulihan hijau, termasuk kendala terbatasnya Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Untuk mengatasi hal ini, ia mengusulkan pemerintah untuk menggali potensi subsidi dan insentif yang ada untuk mendorong pembangunan rendah karbon.
Kalaupun arah kebijakan sudah belok ke pemulihan hijau, tantangan ke depannya ialah untuk mempertahankan program-program tersebut dalam jangka panjang dan mengarahkan pemulihan hijau pasca pandemi untuk mencapai target netralitas karbon, tutur Andhyta. Ia juga mendorong target netralitas karbon yang lebih ambisius.
"Supaya tidak cuma menjadi target saja, tapi benar-benar bisa dicapai," ucap Andhyta.
Indonesia saat ini telah menargetkan mencapai netralitas karbon pada tahun 2060, menurut dokumenLong-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050 yang dipublikasikan pada tahun 2021.
Editor: Farida Susanty