Menuju konten utama

Mengapa Krisis Iklim Bisa Menurunkan Kualitas Hidup?

Eksploitasi sumber daya alam dan kenaikan suhu bumi berdampak langsung terhadap pembangunan ekonomi

Mengapa Krisis Iklim Bisa Menurunkan Kualitas Hidup?
Ilustrasi demonstasi perubahan iklim. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Dalam Divina Commedia, puisi naratif terbesar Italia, Dante Alighieri memberi gambaran soal lanskap dan situasi yang katastrofik alias penuh bencana—di luar dan di dalam diri manusia. Vergilius, salah satu tokoh ciptaan Dante, berkata: “Rawa-rawa yang menguarkan gas busuk ini menyebar ke seluruh penjuru kota yang muram.”

Meski ditulis sekira 7 abad silam, kondisi penuh bencana yang dibayangkan Dante barangkali masih relevan hingga saat ini. Sebab itu, dalam salah satu esai di Electric Literature, Jeffrey Arlo Brown menggunakan ungkapan Vergilius di atas untuk mengkritisi keadaan bumi.

“Ganti ‘rawa-rawa’ dengan ‘pabrik’, dan kita akan memperoleh deskripsi begitu nyata tentang Beijing hari ini,” katanya.

Jika Beijing terlalu jauh, kita bisa melihat contoh kasus di Semarang. Tambaklorok, salah satu daerah pantai, terkena banjir pasang surut, kenaikan permukaan laut, dan penurunan permukaan tanah. Sedangkan Deliksari, sebuah daerah di kawasan Gunung Pati, berada di bawah bayang-bayang tanah longsor dan kekeringan.

Akibat perubahan iklim, dua daerah tersebut mengalami peningkatan suhu, naiknya permukaan laut, hingga tertimpa beberapa kali hujan deras selama 10 tahun terakhir. Akibatnya, kesehatan dan produktivitas warga pun terganggu. Demikianlah ancaman nyata terhadap kondisi pembangunan Indonesia.

Kasus-kasus tersebut adalah potret nyata perubahan iklim: berubahnya sistem yang mengatur bumi akibat terlalu banyak gas rumah kaca di atmosfer. Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change menyebut manusia dan makhluk hidup lainnya akan terdampak krisis dan bencana besar jika suhu bumi meningkat lebih dari 1,5 derajat Celsius. Dampaknya: suhu panas ekstrem, daratan tenggelam akibat naiknya permukaan air laut, dan hasil panen menurun drastis. Tragisnya, dunia hanya memiliki waktu kurang dari 11 tahun untuk mencegah kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celsius.

Untuk mengantisipasi krisis iklim, sebagaimana dituangkan dalam laporan Pembangunan Rendah Karbon alias PRK (2017), Kementerian PPN/Bappenas menyebut pemerintah Indonesia telah mencanangkan target untuk mengintegrasikan aksi iklim ke dalam rencana pembangunan nasional. Inisiatif PRK yang diluncurkan Bappenas bertujuan menciptakan pertumbuhan ekonomi Indonesia seraya meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta melestarikan dan memulihkan sumber daya alam.

Sepanjang tahun 2000-2018, Indonesia tercatat mengalami pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 5,6% per tahun, menurunkan separuh dari tingkat kemiskinan ekstrem, serta meningkatkan pendapatan per kapita menjadi dua kali lipat. Namun demikian, di saat bersamaan, tindakan eksploitasi sumber daya alam dan penggunaan energi yang menghasilkan karbon tinggi juga turut mengancam keberlangsungan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan masyarakat serta kelestarian lingkungan di masa mendatang.

Publik tahu, eksploitasi sumber daya alam, termasuk hutan dan lahan gambut, telah menyebabkan lepasnya karbon dalam jumlah besar ke atmosfer. Sebab lain yang tak kalah signifikan adalah penggunaan energi dari bahan bakar yang tidak ramah lingkungan seperti batu bara. Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia menyebut emisi GRK nasional pada 2012 adalah 1,453 GtCO2e atau setara dengan karbon dioksida yang dilepaskan dari 338.592 PLTU dalam setahun! Adapun sektor utama yang berkontribusi memasok emisi tersebut adalah sektor perubahan tata guna lahan dan kehutanan (47,8%) dan sektor enegi (34,9%). Dengan prediksi suhu bumi akan semakin panas, pemerintah pun menargetkan penurunan emisi GRK 29-41% pada 2030.

Seiring meningkatnya kesadaran masyarakat global terhadap bahaya krisis iklim, akhirnya, jika pendekatan ekstraktif—yakni pendekatan yang bertumpu pada pemanfaatan minyak, gas, minerba, dan kehutanan secara luas—terus dijadikan acuan pembangunan, kerusakan alam akan beririsan dengan dampak negatif lainnya: pertumbuhan ekonomi melambat, kesempatan penciptaan lapangan kerja tertutup, dan upaya pengentasan kemiskinan tersumbat.

Kondisi di atas menunjukkan: kita perlu pendekatan baru untuk mengatasi persoalan lingkungan di satu sisi dan memenuhi kesejahteraan masyarakat di sisi lainnya. Untuk itulah pemerintah menawarkan PRK sebagai jawaban.

Infografik Advertorial WRI 2

Infografik Advertorial Krisis Iklim, Krisis Kehidupan. tirto.id/Mojo

Ragam Manfaat

PRK adalah pendekatan pembangunan yang tidak hanya menciptakan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, tetapi juga berpihak pada efisiensi sumber daya dan kelestarian lingkungan.

“PRK adalah serangkaian kebijakan pembangunan yang mempertahankan pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan, dan membantu pencapaian target pembangunan di berbagai sektor, serta pada saat yang bersamaan membantu Indonesia mencapai tujuan penanganan perubahan iklim, melestarikan dan meningkatkan sumber daya alam,” terang Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro.

Melihat masifnya dampak perubahan iklim seperti bencana dan kerusakan alam yang disebabkan oleh faktor-faktor hidrometeorologis (angin kencang, hujan lebat, dan gelombang tinggi) di berbagai tempat, PRK jadi mendesak untuk diterapkan. Tanpa menerapkan kebijakan tersebut, seperti disampaikan dalam laporan Bappenas, pertumbuhan ekonomi akan mulai menurun sejak tahun 2019. Penyebabnya adalah penurunan kualitas lingkungan hidup, polusi, dan meningkatnya kelangkaan sumber daya.

Tekanan kebutuhan energi yang menimbulkan kenaikan harga dan penurunan produktivitas adalah efek lain dari rantai masalah ini. “Puncaknya, laju pertumbuhan ekonomi diproyeksikan semakin menurun secara progresif, hingga mencapai sekitar 4,3% pada tahun 2045,” terang tim Bappenas.

Laporan Bappenas menyebut PRK dapat meningkatkan PDB rata-rata sebesar 6% per tahun hingga 2045, menurunkan emisi gas rumah kaca sekitar 43% pada 2030, menurunkan kemiskinan ekstrem dari 9,8% dari total populasi 2018 menjadi 4,2% dari total populasi pada 2045.

Dari segi perbaikan lingkungan, PRK diproyeksikan akan memperbaiki kualitas udara dan air sehingga mencegah 40.000 kematian setiap tahun, mencegah hilangnya 16 juta hektar kawasan hutan, serta menutup kesenjangan kesempatan dari sisi gender dan wilayah. Dengan pendekatan PRK, total nilai tambah PDB diperkirakan mencapai USD 5,4 triliun—namun dengan investasi lebih rendah dibandingkan dengan pendekatan biasa.

Lantas bagaimana upaya strategis agar PRK tepat sasaran?

Bappenas menyebut PRK bisa ditempuh dengan mengambil sejumlah kebijakan, misalnya: meningkatkan bauran energi terbarukan hingga setidaknya 30% pada tahun 2045; menegakkan aturan penuh terhadap moratorium hutan, kelapa sawit, pertambangan dan lahan gambut; meningkatkan target reboisasi lebih dari tiga kali lipat; memenuhi target yang berkaitan dengan air, perikanan, dan keanekaragaman hayati; dan meningkatkan produktivitas lahan sebesar 4% per tahun.

Di atas aneka macam kalkulasi, kita percaya, aspek paling penting dari segala rencana dan perubahan angka-angka adalah membaiknya kualitas hidup manusia. PRK berusaha membawa kita ke arah sana.

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis