Menuju konten utama

Sawit, Tambang, dan Penggundulan Hutan Biang Bencana di Kalsel

Banjir di Kalimantan, kata Jokowi, akibat curah hujan tinggi sehingga tak mampu menampung air. Tapi aktivis lingkungan bilang penyebabnya lebih struktural.

Sawit, Tambang, dan Penggundulan Hutan Biang Bencana di Kalsel
Warga melintasi banjir di Desa Sungai Raya, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Selasa (12/1/2021). Ribuan rumah di enam desa Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Banjar terendam banjir setinggi 50 cm hingga dua meter akibat intensitas curah hujan yang tinggi sehingga mengakibatkan Sungai Riam Kiwa meluap. Foto Antaranews Kalsel/Bayu Pratama S.

tirto.id - Curah hujan yang tinggi disebut-sebut sebagai penyebab banjir di Kalimantan Selatan pada awal tahun ini. Salah satu yang mengatakan demikian adalah Presiden Joko Widodo saat meninjau lokasi, Senin (18/1/2020) lalu.

“Curah hujan sangat tinggi hampir 10 hari berturut-turut. Daya tampung Sungai Barito yang biasanya 230 juta meter kubik sekarang ini masuk air sebesar 2,1 miliar kubik air sehingga memang meluap,” katanya.

Namun, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) berpendapat bahwa banjir terjadi karena eksploitasi berlebihan perusahaan sehingga alam rusak.

“Ekosistemnya memang dirusak oleh perizinan tambang dan sawit. Kawasan-kawasan yang punya fungsi ekologi terganggu, semisal kawasan gambut, hulu, badan sungai, dan kawasan karst,” ujar Koordinator Jatam Merah Johansyah kepada reporter Tirto, Senin (18/1/2021).

Luas wilayah Kalsel 3,7 hektare. Catatan Jatam, 33 persen dari itu, setara 1,2 juta hektare, dikuasai pertambangan batu bara, dengan total perizinan mencapai 553 IUP Non-CnC (Izin Usaha Pertambangan non-Clean and Clear) dan 236 IUP CnC (Clean and Clear). Sementara luas perkebunan sawit mencapai 618 ribu hektare atau setara 17 persen luas wilayah.

IUP CnC sendiri merupakan IUP yang memenuhi persyaratan administratif dan kewilayahan, sementara Non-CnC sebaliknya.

Merah menilai komitmen pemerintah mengantisipasi bencana nihil. “Tidak ada itu. Rakyat sudah jatuh tertimpa tangga, kena pandemi dan banjir.”

Karena banjir disebabkan intervensi manusia/perusahaan, maka menurut Merah Kementerian ESDM harus menghentikan pemberian izin tambang dan perkebunan sawit dan melakukan audit terhadap masing-masing perusahaan yang terlibat, ketimbang buang-buang anggaran penanggulangan setiap kali bencana tiba.

Dirjen Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin tidak merespons pesan singkat dan telepon Tirto terkait dugaan ini.

Banjir awal tahun ini merendam sepuluh dari 14 kabupaten kota. Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat per Minggu (17/1/2021) sebanyak 24.379 rumah terendam, 39.549 warga mengungsi, dan 15 orang meninggal dunia. Dampak paling signifikan terjadi di Kabupaten Batola dengan 28.400 jiwa terdampak. Pemerintah provinsi telah menetapkan status tanggap darurat bencana per 14 Januari 2021.

Hutan Menyempit, Kebun Meluas

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel Kisworo Dwi Cahyono sepakat bahwa tambang batu bara dan perkebunan sawit menyebabkan banjir. Menurutnya banjir tak bakal terjadi jika hutan sekunder dan hutan primer yang fungsinya menyerap air tidak tergusur tambang dan perkebunan.

Walhi Kalsel mencatat sebanyak 234 ribu hektare atau 15 persen dari luas Kalsel sudah berisi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA) dan 567 ribu hektare atau 6 persen berisi izin IUPHHK Hutan Tanaman.

Ia menilai pemerintah abai terhadap status Kalsel adalah wilayah darurat ruang dan bencana ekologis.

Ia pun mendesak pemerintah memeriksa ulang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan mengaudit seluruh perizinan industri ekstraktif dan menyusun skema pembangunan yang mengedepankan keselamatan warga, serta tidak gagap dalam melakukan mitigasi bencana. “Saya mendesak agar pemerintah baik Presiden, Gubernur, Bupati dan Wali Kota untuk segera turun tangan dan segera bertindak,” ujarnya kepada reporter Tirto, Senin.

Pernyataan Kisworo tentang alih fungsi hutan diperkuat dengan analisis perubahan penutup lahan di DAS Barito yang dilakukan oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan). Lembaga negara ini menyimpulkan hutan primer, hutan sekunder, sawah, dan semak belukar menyempit dalam kurun waktu 2010-2020.

“Masing-masing menurun sebesar 13 ribu hektare, 116 ribu hektare, 146 ribu hektare dan 47 ribu hektare,” ujar Kepala LAPAN Thomas Djamaluddin kepada reporter Tirto, Senin.

Berbanding terbalik dengan itu, perkebunan meluas signifikan sebesar 219 ribu hektare. Menurutnya, perubahan penutup lahan ini “memberikan gambaran kemungkinan terjadinya banjir di DAS Barito.” “[Gambaran ini] dapat digunakan sebagai salah satu masukan untuk mendukung upaya mitigasi bencana banjir di kemudian hari,” imbuhnya.

Lapan juga menganalisis luas genangan banjir di masing-masing kabupaten kota. Hasilnya: Kabupaten Barito Kuala dengan luas sekitar 60 ribu hektare; Kabupaten Banjar sekitar 40 ribu hektare; Kabupaten Tanah Laut sekitar 29 ribu hektare; Kabupaten Hulu Sungai Tengah sekitar 12 ribu hektare; Kabupaten Hulu Sungai Selatan sekitar 11 ribu hektare, Kabupaten Tapin sekitar 11 ribu hektare, dan Kabupaten Tabalong sekitar 10rb hektare.

Sementara Kabupaten Balangan, Barito Selatan, Barito Timur, Barito Utara, Hulu Sungai Utara, Banjarmasin, dan Kabupaten Murung Raya antara 8– 10 ribu hektare.

Sekretaris Daerah Provinsi Kalsel Roy Rizali Anwar mengatakan pemerintah masih meneliti penyebab banjir besar kali ini. “Mudah-mudahan [selesai] dalam 2 atau 3 hari. Nanti kami rilis,” ujarnya kepada reporter Tirto, Senin.

Baca juga artikel terkait BANJIR KALIMANTAN SELATAN atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - News
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino