Menuju konten utama

KPK Tak Senang Temuan Malaadministrasi Ombudsman soal TWK

KPK akan mengirimkan surat keberatan ke Ombudsman RI terkait penilaian malaadministrasi Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) di KPK.

KPK Tak Senang Temuan Malaadministrasi Ombudsman soal TWK
Kaus hitam bertuliskan 'Berani Jujur Pecat' dipakai oleh sejumlah perwakilan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) usai audiensi dengan Komisioner Komnas HAM di Jakarta, Senin (24/5/2021). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/foc.

tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan mengirimkan surat keberatan atas Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman RI. LAHP Ombudsman RI itu terkait penilaian malaadministrasi proses Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dalam rangka alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN).

Surat keberatan akan dikirimkan KPK ke Ombudsman RI paling cepat pada Jumat (6/8/2021) besok pagi.

"KPK menyampaikan keberatan berdasarkan landasan hukum di atas pasal 25 ayat 6b dan karenanya kami akan menyampaikan surat keberatan ini sesegera mungkin besok pagi ke Ombudsman RI," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron lewat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta pada Kamis (5/8/2021).

Ada sejumlah alasan komisi antirasuah menyampaikan keberatan. Pertama, KPK beranggapan Ombudsman banyak menyinggung soal cacat formil dalam pembentukan Peraturan KPK Nomor 1 tahun 2021 tentang Tata Cara Peralihan Pegawai KPK Menjadi ASN (Perkom 1/2021). Padahal, Perkom 1/2021 saat ini tengah disengketakan juga di Mahkamah Agung.

Menurut Ghufron, sesuai prinsip negara hukum, tidak boleh ada lembaga yang menandingi, membersamai, apalagi mendahului putusan pengadilan. Hal itu dinilai mengganggu kebebasan hakim dalam memutus perkara.

Hal itu pun sudah ditegaskan di dalam Undang-Undang 37 tahun 2008 tentang Ombudsman RI dan diturunkan ke dalam Peraturan Ombudsman Nomor 48 tahun 2020.

Karenanya, Ghufron beranggapan Ombudsman telah melanggar kewajiban hukumnya untuk menolak laporan atau tidak memeriksa perkara yang tengah berjalan di pengadilan.

"Jadi, tentang larangan itu di konstitusi, di undang-undang Ombudsman, maupun di peraturan Ombudsman-nya sendiri diatur untuk menolak laporan yang sedang diperiksa oleh mahamamah agung atau lembaga peradilan," kata Ghufron.

Selanjutnya Ghufron mengatakan, kewenangan Ombudsman terbatas pada pemeriksaan dugaan malaadministrasi pada pelayanan publik, pelapornya pun semestinya adalah masyarakat penerima layanan lembaga negara.

Dalam hal ini, urusan kepegawaian (mutasi, kenaikan pangkat, promosi, kenaikan gaji, pemberhentian) dianggap bukan pelayanan publik KPK sehingga bukan domain Ombudsman.

Selain itu, 75 pegawai KPK yang mengadukan masalah itu pun bukan penerima layanan publik KPK sehingga tidak memenuhi syarat untuk melapor ke Ombudsman.

Selanjutnya, Ghufron masuk ke poin-poin yang menjadi catatan Ombudsman terkait TWK.

Dalam LAHP, Ombudsman menilai TWK di KPK adalah aturan selundupan yang disisipkan pada akhir pembahasan Perkom 1/2021 tepatnya 5 Januari 2021. Namun, Ghufron mengatakan, kesimpulan itu tidak didasarkan bukti, sebab dalam keterangan saksi maupun ahli yang terlampir di dalam dokumen LAHP yang diterima KPK, tidak ada satupun indikasi TWK adalah ketentuan selundupan.

Ombudsman juga menyampaikan ada dugaan malaadministrasi dalam proses harmonisasi Perkom 1/2021, sebab rapat itu diikuti oleh menteri dan pimpinan lembaga padahal merujuk pada Permenkumham 23/2018 rapat itu cukup diikuti oleh pejabat setingkat direktur atau kepala biro.

Anehnya, yang menandatangani berita acara rapat harmonisasi itu justru kepala biro hukum KPK dan direktur di Kemenkumham yang tidak mengikuti rapat itu.

Menjawab hal itu, Ghufron mengatakan merujuk pada Undang-Undang 4 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan, kewenangan kepala biro hukum mengikuti rapat harmonisasi adalah delegasi dari pimpinan, sehingga tak ada yang salah jika delegasi itu ditarik kembali dan pimpinan langsung yang hadir di dalam rapat.

Ghufron juga menjawab temuan Ombudsman mengenai dokumen Nota Kesepahaman dan kontrak swakelola antara KPK dan BKN tentang tahapan pelaksanaan Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang dibuat secara backdate.

Menurut Ghufron, temuan itu tidak relevan sebab dokumen itu tidak pernah digunakan dan tidak ada konsekuensi hukumnya dengan keabsahan TWK dan hasilnya.

"Berdasarkan kesimpulan tersebut dan mengingat Tindakan Korektif yang harus dilakukan oleh terlapor didasarkan atas pemeriksaan yang melanggar hukum, melampui wewenangnya, melanggar kewajiban hukum untuk menghentikan dan tidak berdasarkan bukti serta tidak konsisten dan logis, oleh karena itu kami menyatakan keberatan untuk menindaklanjuti tindakan korektif yang disarankan Ombudsman RI," pungkas Ghufron.

Baca juga artikel terkait TWK KPK atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Bayu Septianto