tirto.id - Kritik dan masukan terus berdatangan di tengah pencarian sosok pimpinan baru Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2024-2029.
Salah satu masukan soal pimpinan KPK justru datang dari pimpinan lembaga tersebut saat ini, Alexander Marwata. Wakil Ketua KPK periode 2015-2019 dan 2019-2024 itu menyatakan, idealnya pimpinan KPK harus berani mengambil sikap oposisi. Alex beralasan, KPK bukan sebuah lembaga yang berada di bawah presiden meskipun revisi UU KPK menempatkan KPK berada di ranah eksekutif.
“Presiden itu tidak bisa memberhentikan atau mengganti pimpinan KPK, jadi, mestinya sih pimpinan KPK itu siap menjadi oposisi pemerintah ketika kebijakan-kebijakan itu tidak pro-pemberantasan korupsi,” kata Alex dalam acara Media Gathering bertajuk 'Bertahan Arungi Gelombang', di Tandur Tandur Kian Mas Hotel, Bogor, Kamis (12/9/2024).
Alex bertutur, KPK saat ini kesulitan memberantas korupsi sebab para pejabat kini semakin berani korupsi. Hal itu disampaikan Alex sebagai respons tudingan bahwa KPK periode 2019-2024 tidak bekerja dengan baik.
"Saya kan juga banyak menerima informasi dan mendengar cerita dari para penyelenggara negara pejabat-pejabat 'Sekarang orang enggak takut lagi pak untuk korupsi, korupsi itu di Indonesia itu risikonya rendah, berbeda dengan investasi yang high risk," kata Alex.
Ucapan Alexander Marwata sekilas tampak gagah seolah menantang calon pimpinan KPK selanjutnya untuk berani bersikap oposisi. Namun, sejumlah pegiat antikorupsi justru menilai pernyataan tersebut keliru dan membahayakan independensi KPK ke depan.
Ketua Indonesia Memanggil Lima Tujuh (IM57+ Institute), M. Praswad Nugraha, memandang ucapan Alex seolah-olah seperti orang bangun tidur. Abung, sapaan akrabnya, justru menilai bahwa situasi bobrok KPK saat ini muncul ketika terjadi revisi UU KPK dan lembaga antirasuah itu dipimpin oleh para komisioner yang cacat etik.
Ia menyinggung kehadiran Firli Bahuri, mantan Ketua KPK yang mengundurkan diri karena tersandung kasus gratifikasi. Alex pun sempat dilaporkan ke Dewan Pengawas KPK karena terlibat upaya penanganan perkara di kasus Kementerian Pertanian (Kementan). Namun, Alex tidak terbukti melakukan pelanggaran etik.
“Insyaf di masa-masa akhir jabatannya. Selamat datang pak Alex di dunia waras dan akal sehat,” kata Abung dihubungi reporter Tirto, Jumat (13/9/2024).
Abung menegaskan bahwa KPK memang lahir sebagai anak kandung reformasi. Lembaga antikorupsi itu didesain oleh para tokoh reformasi untuk melawan pemerintahan yang korup.
Sayangnya, KPK sudah rusak independensinya karena masuk sebagai jajaran eksekutif di era presiden Joko Widodo. Kinerja KPK semenjak itu dinilai semakin kedodoran dan seolah kehilangan taji dalam memberantas korupsi. Hal ini diperburuk dengan pimpinan lembaga antirasuah justru terlibat pelanggaran etik, bahkan tersandung kasus dugaan tindak pidana korupsi.
“Dimasukkan ke dalam ranah kekuasaan eksekutif, dijadikan ASN para pegawainya, dan dibunuh independensinya,” ucap Abung.
Ketua Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) Fakultas Hukum UGM, Herlambang P Wiratraman, menilai, perkataan Alexander Marwata menantang pimpinan KPK masa depan berani menjadi oposisi sebagai suatu pemahaman yang keliru. KPK, kata dia, bukan lembaga politik di mana mereka harus menentukan sikap sebagai oposisi atau pro-pemerintah.
Menurut Herlambang, KPK merupakan lembaga penegak hukum yang seharusnya bekerja sesuai UU KPK dan tidak pandang bulu dalam memberantas korupsi.
“Jadi sebagai penegak hukum, seharusnya bekerja secara profesional menjunjung tinggi integritas dan penuh kesadaran membawa mandat pemberantasan korupsi,” kata Herlambang kepada reporter Tirto, Jumat (13/9/2024).
Herlambang justru menilai pernyataan Alexander Marwata justru merusak KPK. Pasalnya, hal tersebut menandakan bahwa KPK dengan mudah bisa dipolitisasi. Idealnya, KPK harus bekerja secara profesional dan menjaga independensi dari pihak manapun.
“Justru problem KPK hari ini adalah independensi. KPK terlalu gampang dipolitisasi, terlalu mudah ditebak, dan memberi corak kepentingan politik rezim ketimbang melakukan penegakan hukum berintegritas,” ujar Herlambang.
Sayangnya, Herlambang menilai marwah KPK memang mengalami erosi dalam lima tahun terakhir. KPK dinilai tidak memperlihatkan profesionalisme, integritas, dan upaya hukum luar biasa dalam memberantas korupsi.
Deputi Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia, Wawan Suyatmiko, turut menilai pandangan Alexander Marwata salah kaprah jika meminta calon pimpinan KPK harus bisa bersikap oposisi. Wawan juga berujar, KPK bukan bagian institusi dari politik elektoral yang perlu menyatakan dukungan atau tidak kepada pemerintahan.
KPK, menurut Wawan, adalah lembaga negara yang seharusnya bebas dari kepentingan politik dan melakukan tugas fungsinya secara transparan, akuntabel, imparsial, serta taat pada prinsip-prinsip penegakan hukum. Pimpinan KPK selanjutnya punya pekerjaan rumah untuk membuktikan bahwa lembaga antirasuah itu independen dan bebas intervensi.
“Caranya? Lakukan penegakan hukum yang tidak pandang bulu. Mau itu berasal dari parpol bagian kekuasaan atau oposisi, jadi semuanya sama di hadapan hukum,” tegas Wawan, Jumat (13/9/2024).
Seleksi Rasa Akomodasi
Wawan turut menyoroti proses seleksi calon pimpinan dan Dewas KPK periode 2024-2029. Menurutnya, hasil pengumuman terbaru dari Panitia Seleksi (Pansel) KPK menggambarkan aroma representasi atau bagi-bagi jatah yang kental dalam seleksi capim KPK. Pansel memang sudah mengumumkan 20 nama yang lolos tahap tes asesmen, Rabu (11/9/2024) lalu.
Aroma representasi memang terlihat dari komposisi nama-nama yang diumumkan lolos ke tahap selanjutnya, yang terdiri dari figur-figur kepolisian, kejaksaan, auditor, kehakiman, dan akademisi. Padahal, seleksi KPK tidak pernah mensyaratkan harus ada asas representasi dalam seleksi calon pimpinan, apalagi KPK adalah lembaga yang independen.
“Kenapa selalu diwarnai perdebatan keterwakilan lembaga penegak hukum? Ini saya kira keliru dilakukan Pansel KPK dan dimaknai pemerintah saat ini bahwa harus selalu ada perwakilan,” kata Wawan.
Wawan menambahkan, unsur penegak hukum – dari kepolisian dan kejaksaan – mendominasi daftar peserta yang lolos tes asesmen seleksi capim KPK. Dengan mendominasinya unsur dari kepolisian dan kejaksaan, Wawan khawatir terjadi loyalitas ganda saat mereka bekerja di KPK. Bukan tidak mungkin figur capim KPK dari kepolisian dan kejaksaan bersikap resisten saat ada kasus dugaan korupsi yang menyasar lembaga lamanya. Ia khawatir, risiko konflik kepentingan akan mudah terjadi dengan mendominasinya unsur penegak hukum.
“Jika nanti diisi perwakilan lembaga penegak hukum apa nanti tidak menimbulkan double loyalty, yakni loyal pada lembaga asal dan KPK,” ujar Wawan.
Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW), Diky Anandya, menyatakan bahwa dari 20 nama kandidat calon pimpinan KPK, masih ada sejumlah nama yang pernah dilaporkan atas dugaan pelanggaran kode etik. Mereka adalah figur pimpinan KPK saat ini yang ikut seleksi pimpinan periode selanjutnya, Johanis Tanak dan Pahala Nainggolan.
“Berkenaan dengan hal tersebut, proses seleksi kali ini menggambarkan bahwa Pansel belum maksimal menggali rekam jejak mereka,” ujar Diky lewat keterangannya kepada Tirto, Jumat.
Selain itu, ICW mencatat, dari total 20 orang kandidat yang lolos tersebut, 45 persen atau sekitar 9 orang di antaranya berasal dari klaster penegak hukum, baik yang masih aktif maupun sudah purna tugas. Dari situasi ini, kata Diky, timbul pertanyaan sebagai berikut: Apakah Pansel sedari awal memang mengharapkan KPK diisi oleh aparat penegak hukum?
“Bila itu benar, maka ada sejumlah potensi pelanggaran dan kesesatan berpikir pada cara pandang tersebut,” ujar Diky.
Jika demikian, ICW menilai Pansel jelas abai terhadap Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 terkait kesamaan setiap orang di mata hukum. Mestinya proses seleksi capim KPK dapat mengikuti perintah UU KPK yang memberikan keleluasaan setiap orang sepanjang memenuhi syarat, agar bisa mendapatkan kesempatan menjadi Komisioner atau Dewan Pengawas KPK.
“Dominasi aparat penegak hukum dalam hasil seleksi kali ini mengundang persepsi di tengah masyarakat terkait adanya dugaan intervensi pihak lain kepada Pansel. Adapun intervensi yang dimaksud dapat berasal dari pihak manapun,” jelas Diky.
Sembilan peserta seleksi capim KPK yang berasal dari unsur penegak hukum adalah: Didik Agung Widjanarko, Djoko Poerwanto, Fitroh Rohcahyanto, Harli Siregar, Johanis Tanak, Muhammad Yusuf, Sang Made Mahendra Jaya, Setyo Budianto, dan Sugeng Purnomo.
Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman, menilai hasil 20 nama yang lolos seleksi tahap asesmen menunjukkan Pansel KPK seperti menerapkan sistem kuota. Padahal, tidak ada aturan demikian dalam UU KPK.
Zaenur menilai hal ini sebagai suatu proses seleksi yang mengecewakan. Imbasnya, kata dia, bukan tak mungkin pimpinan KPK selanjutnya justru diisi oleh figur yang lebih buruk dari yang ada saat ini.
“Menurut saya ini adalah jalan pikiran yang sangat tidak tepat. Kenapa? Karena justru seharusnya KPK itu independen. Proses seleksi harusnya bisa berlangsung dengan fair tanpa adanya sistem kuota,” kata Zaenur kepada reporter Tirto, Jumat (13/9/2024.
Pansel diminta untuk menggali lebih dalam latar belakang capim KPK yang memiliki catatan etik dan sikap yang bermasalah. Pansel juga jangan memberikan perlakuan khusus pada peserta dengan latar belakang penegak hukum.
Zaenur memandang, pansel perlu mendengarkan saran dari masyarakat sipil untuk tahapan selanjutnya, yakni tes wawancara. Sebelum akhirnya memilih capim KPK yang berintegritas, maka pansel sendiri seharusnya bisa bersikap independen. Terlebih, di akhir tahapan pansel harus menyetor 10 nama capim KPK kepada presiden Jokowi, yang kemudian diserahkan ke DPR.
“Sepuluh besar nanti harus membuang nama-nama yang bermasalah, nama-nama yang tidak independen, nama-nama yang punya cacat etik dan bermasalah secara hukum,” tegas Zaenur.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Andrian Pratama Taher