tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menggeledah rumah dinas Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Indonesia, Abdul Halim Iskandar, pada Jumat (6/9/2024). Penggeledahan ini berkaitan kasus dugaan korupsi pengurusan dana hibah untuk kelompok masyarakat (pokmas) pada APBD Provinsi Jawa Timur.
Kakak kandung dari Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar alias Cak Imin, itu sebelumnya memang sempat menjabat sebagai Ketua DPRD Jawa Timur periode 2014-2019. Sebelumnya, dia juga sempat diminta menjadi saksi kasus dugaan dana hibah di Gedung Merah Putih KPK, pada Kamis (22/8/2024)
"Penyidik KPK melakukan kegiatan penggeledahan terhadap salah satu rumah dinas penyelenggara negara berinisial AHI di wilayah Jakarta Selatan," kata Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika, dalam keterangan tertulis, Selasa (10/9/2024).
Dari hasil penggeledahan itu, KPK menyita uang tunai dan barang bukti elektronik. Namun, Tessa masih menutup rapat ihwal total uang dan jenis barang bukti elektronik yang disita oleh lembaga antirasuah tersebut.
Dalam kasus ini, KPK sebelumnya juga sudah melakukan penggeledahan di beberapa rumah yang berlokasi di Surabaya, Pasuruan, Probolinggo, Tulungagung, Gresik, Blitar, dan beberapa lokasi di Pulau Madura, yaitu di Kabupaten Bangkalan, Sampang, dan Sumenep.
Dari hasil penggeledahan tersebut disita di antaranya uang kurang lebih Rp380 juta, dokumen terkait pengurusan dana hibah, kuitansi, catatan penerimaan uang bernilai milyaran rupiah, bukti setoran uang ke bank, bukti penggunaan uang untuk pembelian rumah, dan salinan sertifikat rumah.
KPK juga telah menetapkan 21 tersangka dalam dugaan suap dana hibah untuk kelompok masyarakat atau pokmas dari APBD Provinsi Jawa Timur Tahun Anggaran 2019-2022 ini. Penetapan 21 tersangka tersebut dilakukan setelah penyidik mengembangkan kasus yang menjerat eks Wakil Ketua DPRD Jatim, Sahat Tua P Simanjuntak.
Kasus Lama & Baru Digeledah Sekarang, Rentan Politisasi
Kasus dana hibah melibatkan pria akrab disapa Gus Halim ini sebenarnya memang bukan kasus baru dan sudah terjadi pada periode rentang 2019-2022. Maka, kurang elok rasanya jika KPK kemudian baru melakukan penyidikan saat ini hingga menyasar rumah dinas dan menyita uang dari Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi tersebut.
"Terkait penyelewengan dana hibah ini, di situ kan periodisasi 2019 sampai 2022, sementara 2019-2022, Pak Halim sudah menjadi menteri Kemendes dan sudah bertugas di Jakarta. Saya kira itu perlu dipertanyakan lagi [ke KPK]," kata Ketua DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Syaiful Huda menanggapi kasus penggeledahan Gus Halim, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (11/9/2024).
Meski demikian, Huda sendiri menghormati dan mengapresiasi kinerja KPK karena sudah menjalankan tugas dan fungsinya. Namun, dia berharap penggeledahan yang dilakukan lembaga antirasuah itu dilakukan tanpa ada kepentingan tertentu di luar upaya penegakan hukum.
"Kami hormati, tetapi tentunya semangatnya, kami berharap ini murni penegakan hukum, tidak ada tendensi apapun di luar penegakan hukum," tegasnya.
KPK Tak Boleh Ceroboh
Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII), Mudzakir, menilai pada prinsipnya KPK dalam hal ini tidak boleh ceroboh. Apalagi nama baik KPK saat ini sudah mulai tercemar disebabkan karena perbuatan-perbuatan yang tidak pas yang dilakukan oleh pimpinan KPK.
“Maka saya minta KPK tidak menambah keruh dalam konteks kasusnya kakaknya Cak Imin ini,” jelas Mudzakir kepada Tirto, Rabu (11/9/2024).
Sebaiknya, kata Mudzakir, dalam kasusnya Gus Halim itu harus jelas lebih dahulu apakah memang dia melakukan perbuatan pidana atau tidak. Seharusnya juga, tambah Mudzakir, KPK bisa membuktikan terlebih dahulu perbuatan pidana yang dilakukan Gus Halim, sebelum melakukan penggeledahan dan penyitaan.
“Saya ulangi lagi, buktikan terlebih dahulu perbuatannya apa dan kemudian tiba-tiba jangan menyita lebih dahulu,” jelasnya.
Penyitaan kata dia terjadi kalau itu dibuktikan lebih dahulu bahwa ada tindak pidana. Dan jika sudah menyangkut subjek orang yang diduga sebagai pelakunya, barulah kemudian objek orang jadi pelakunya. Maka baru kemudian itu bisa dilakukan tindakan penyitaan.
“Jadi kita jangan mengubah prinsip-prinsip yang ada di dalam hukum pidana, hukum acara pidana, plus putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang terkait dengan penegakan hukum pidana. Seperti contoh misalnya itu, membawa alat bukti uang,” jelasnya.
Karena harus jelas juga, uang itu milik siapa dan dari mana. Bukan sebaliknya, justru KPK menutup rapat informasi penting tersebut. Jangan sampai justru nanti yang terpublikasi uang itu hasil tindak pidana X, Y, Z, dan di proses persidangan akhirnya dipaksa-paksakan untuk uang itu berasal dari sana.
“Pembuktian bahwa uang itu berasal dari sana belum cukup. Menurut pendapat saya belum cukup. Nah karena belum cukup itu, maka KPK harus hati-hatilah,” ujar Mudzakir.
Mudzakir justru menyarankan agar Gus Halim menggugat KPK di pra peradilan agar supaya diuji tindakan lembaga antirasuah tersebut benar atau tidak. Kalau tindakan KPK itu ternyata tidak benar karena lebih pada bermain-main politik, maka sebaiknya evaluasi KPK untuk berikutnya itu harus dilakukan.
“Jadi bukan hanya komisioner KPK, tapi juga semua yang ditugasi di KPK dievaluasi kembali, karena tidak sesuai dengan porsi tugasnya dalam konteks penegakan hukum di Indonesia,” jelasnya.
Perlunya Akuntabilitas Penyidik KPK & Fungsi Dewas
Mantan Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Yudi Purnomo, mengatakan, penggeledahan dan penyitaan dilakukan di rumah dinas kakak kandung Cak Imin tersebut memang sudah menjadi kewenangan penyidik. Artinya, ketika penyidik mempunyai informasi atau fakta keterangan sesuai KUHAP, maka mereka bisa dilakukan penggeledahan kapanpun.
Penggeledahan, sendiri kata Yudi, adalah tindakan penyidik yang dibenarkan undang-undang untuk memasuki dan melakukan pemeriksaan di rumah tempat kediaman seseorang atau untuk melakukan pemeriksaan terhadap badan dan pakaian seseorang.
Bahkan tidak hanya melakukan pemeriksaan, tapi bisa juga sekaligus untuk melakukan penangkapan dan penyitaan.
Sedangkan penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.
"Jadi tidak ada namanya kebiasaan yang terpenting semua prosedur seperti surat perintah penggeledahan penyitaan dimiliki penyidik," terang Yudi kepada Tirto, Rabu (11/9/2024).
Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman, mengamini dalam kasus Gus Halim itu memang merupakan kewenangan penyidik KPK. Penyidik dalam hal ini, bisa melakukan penggeledahan rumah, badan, pakaian dari seseorang siapapun itu, selama kebutuhan penyidikan.
"Nah konsep dasar itu memang kalau di dalam KUHP itu harus izin, tetapi khusus untuk KPK itu tidak membutuhkan izin. KPK karena bersifat spesialis itu tidak harus izin tetapi harus memberitahukan kepada dewan pengawas (dewas) apa yang dilakukan," jelas Zaenur kepada Tirto, Rabu (11/9/2024).
Menurut Zaenur, penggeledahan dilakukan KPK itu dilakukan untuk mencari bukti baik barang atau alat terkait dengan tindak pidana yang dapat digunakan untuk mendukung kebutuhan penyidikan. Maka, tidak masalah jika penyidikan itu dilakukan di rumah dinas, sekalipun kasusnya sudah terkubur lama.
"Kalau ditanya kasus penyidik menggeledah kok rumah? sah-sah saja. Sudah lama sebenarnya, tidak apa-apa menggeledah suatu tempat sudah lama dari peristiwa pidananya itu tidak apa apa. Selama memang penyidik perlu untuk menggeledah mencari satu alat bukti," jelasnya.
Jadi memang, lanjut Zaenur, dalam hal ini perlu ada akuntabilitas dari penyidik KPK. Ini bisa dilakukan melalui pengawasan dari Dewan Pengawas KPK. Karena apa saja yang menjadi kewenangan penyidik KPK termasuk melakukan penggeledahan di lapangan perlu sepengetahuan oleh Dewan Pengawas.
"Kok sita uang? Tidak apa-apa juga. Itu tidak apa-apa. Lantas untuk menjamin akuntabilitas, orang yang digeledah itu berhak untuk melakukan pra peradilan termasuk penyitaan dan itu berhak mengajukan pra peradilan karena ada penyitaan terhadap yang bersangkutan," jelasnya.
Tapi memang, kata Zaenur, idealnya penggeledahan itu dilakukan sesaat setelah terjadinya tindak pidana dan tidak berlarut-larut. Sehingga, tidak ada kecurigaan terhadap penyidikan dilakukan KPK termasuk soal unsur politisasi.
"Apakah bukan politisasi? Selama tidak ada unsur intervensi ya bukan politisasi. Tapi kalau ada unsur intervensi ya itu politisasi," kata dia.
Bagi Zaenur, selama penyidik itu bekerja sesuai kewenangan sulit untuk memperkarakan penyidik. Pun jika kemudian yang bersangkutan keberatan atas penggeledahan dilakukan di rumah dinasnya bisa mengajukan ke pra peradilan.
"Maka saran saya sih dewas lakukan pengawasan terhadap penyidik agar tidak digunakan untuk framing atau digunakan kepentingan politik. Itu dewas punya tugas pengawasan. Kalau bagi yang haknya dilanggar silakan ajukan pra peradilan hanya itu," jelas dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Bayu Septianto